Sukacita Hidup Ini

Kesana Kemari



Kesana Kemari

0"Mengapa kamu tertawa, Tuan Fan?"     

Inilah pertanyaan yang dia harapkan akan ditanyakan oleh Haitang. Fan Xian berdeham dan berseri-seri. "Aku suka caramu berjalan, Nona."     

Haitang terkejut, dan tanda-tanda amarah terlintas di matanya.     

"Jika aku berbohong, biarlah Surga menyambarku," kata Fan Xian dengan segera.     

Haitang tidak bisa untuk tidak meragukan sumpahnya, tapi dia masih tidak bisa memahaminya. Caranya berjalan telah diejek terus-menerus oleh orang-orang di istana selama bertahun-tahun; mengapa sekarang tiba-tiba ada pemuda dan terlebih lagi Fan Xian menyukainya? Dia lalu teringat dengan tipu muslihat Fan Xian di tepi laut utara, dan menjadi tambah bingung.     

Mereka berdua terdiam sembari mereka berjalan menuju istana di bawah bayangan pepohonan gunung. Haitang sangat dihormati di Qi Utara, saat para kasim dan pelayan istana mendengar suara langkah sepatu kainnya, mereka segera menepi dan membungkuk dengan hormat kepada gadis desa ini, dan tidak berani menatap langsung ke wajahnya.     

"Yang Mulia sepertinya menyukaiku. Harus kuakui aku justru merasa takut dengan hal itu." Fan Xian akhirnya berbicara, dia dengan hati-hati menjaga ucapannya sambil mengira-ngira respon Haitang.     

"Anda tidak perlu berendah hati, Tuan Fan," jawab Haitang, wajahnya tetap tenang. "Yang Mulia adalah penggemar berat puisi, dan ketika Antologi Puisi Banxianzhai telah keluar, semua sarjana di daratan ini masing-masing memilikinya. Termasuk Yang Mulia. Ketika Zhuang Mohan kembali dari Qing dan memberi tahu Yang Mulia tentang pengalamannya di selama di Qi, sejak hari itu Yang Mulia sangat penasaran terhadapmu dan sering membicarakanmu. Adalah hal yang baik jika seandainya Qi Utara memiliki orang dengan bakat puitis seperti dirimu. Kami merasa sedih karena kami belum dapat menemukan orang yang berbakat seperti itu di negara kami. Sekarang kamu telah berhasil mengembalikan Xiao En ke ibu kota kami dan kedua negara kita sedang saling bersitegang, tentu Yang Mulia mengkhawatirkan keselamatanmu. "     

Fan Xian tidak mengatakan apa-apa. Tampaknya sang Kaisar Muda telah menjalin hubungan yang cukup baik dengan seseorang - dirinya sendiri - yang belum pernah dia temui. Namun kerutan di wajah sang Kaisar Muda sebelumnya menunjukkan bahwa ada hal-hal lain yang ingin dia sampaikan kepada Fan Xian, tetapi tidak tersampaikan karena tembok-tembok di istana memiliki telinga, dan sang Kaisar Muda sepertinya juga tidak ingin membicarakannya di depan Haitang – Fan Xian tidak tahu apa yang ingin sang Kaisar Muda sampaikan kepadanya.     

"Begitukah? Benar-benar tidak terduga." Fan Xian mengerutkan kening, tampaknya dia tidak percaya dengan ucapan Haitang.     

"Hari ini kamu telah melihat pemandangan gunung di dekat istana dan berkata tentang manusia merupakan bagian dari alam. Aku sangat mengagumi kalimat itu. Begitu misi diplomasimu telah selesai, jika kamu punya waktu luang, aku harap kamu mau berbagi ilmu. Setelah guruku membaca Antologi Puisi Banxianzhai, dia terdiam untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya menghela napas dengan kagum kepadamu, Tuan Fan. Awalnya aku terkejut, tetapi setelah mengobrol denganmu hari ini, aku sadar bahwa reputasi milik Penyair Abadi bukanlah sekedar rumor belaka. "     

"Kata-katamu terlalu baik." Haitang berbicara dengan tulus, maka Fan Xian menanggapinya juga dengan tulus. "Aku harap kamu mau membantuku mengenai pembebasan Yan Bingyun."     

"Aku tidak melibatkan diriku dengan urusan politik," jawab Haitang dengan tenang.     

Fan Xian mengerutkan kening. "Lalu mengapa kamu pergi ke laut utara untuk membunuh Xiao En? Jangan bilang bahwa kamu tidak tahu efek besar dari kematian Xiao En di dalam perjanjian ini."     

Haitang tersenyum. "Sebelum aku menunjukkan diriku saat itu, Tuan Fan, sepertinya kamu sendiri hendak membunuh Xiao En. Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?"     

"Karena aku tertarik dengan rahasia yang dia simpan." Fan Xian menggosok tangannya yang agak basah dan memutar kepalanya untuk mengamati kompleks istana yang luas.     

"Aku mencoba untuk membunuh Xiao En karena rahasia yang dia simpan itu dapat menyebabkan banyak masalah bagi banyak orang," jawab Haitang dengan tenang.     

Mereka berdiri diam di bawah pohon besar. Dedaunan hijau yang ada di atas mereka menghalangi sinar matahari, membuat udara di sekitar mereka terasa sejuk. Fan Xian mengalihkan pandangannya ke bahu Haitang yang tampaknya keras dan mengatakan. "Di dunia ini, tidak ada yang bisa menjaga sebuah rahasia selamanya."     

"Selama Xiao En masih hidup, bukan tidak mungkin banyak orang yang akan mati karenanya."     

Fan Xian mengangkat alisnya. Dia tahu bahwa sifat melankolis yang dimiliki Haitang dalam berbagai hal tidak dapat dibelokkan, kata-kata milik Fan Xian tidak akan cukup untuk mengubahnya.     

"Sepertinya Yang Mulia ingin menanyakan sesuatu kepadamu," kata Haitang.     

Fan Xian terkejut. Ternyata gadis itu juga menyadarinya. Dia terdiam sejenak untuk berpikir. "Apakah kamu tahu apa itu?" dia bertanya dengan sungguh-sungguh.     

"Sayangnya aku juga tidak tahu," jawab Haitang. "Tapi jika itu ada hubungannya dengan Si Lili, aku mohon agar kamu memberitahuku, Tuan Fan."     

Fan Xian tidak langsung menjawabnya. Dia sedang terganggu oleh pikirannya. Bantuan seperti apa yang dibutuhkan oleh seorang penguasa negara? Mungkinkah ada hubungannya dengan Si Lili? Gadis itu tidak memiliki kekuatan di Qi Utara. Apa yang bisa dilakukan oleh Fan Xian?     

"Lili yang malang. Dia adalah orang yang baik." Tangan Haitang masih berada di dalam sakunya. "Mohon bantuannya jika Anda berkenan, Tuan Fan."     

Banyak hal yang dipikirkan oleh Fan Xian dalam perjalanannya menuju utara ini. Untuk sesaat, dia merasa bimbang, tidak yakin bagaimana harus merespons permintaan Haitang. Mereka berdua terdiam sekali lagi. Mereka berjalan perlahan ke depan, membiarkan dedaunan yang berada di atas kepala mereka dan sinar matahari yang berada lebih jauh di atas untuk saling berinteraksi masuk dan keluar, menyinari tubuh mereka, dimana mereka menyinari jubah hijau milik Fan Xian dan pakaian bermotif bunga Haitang yang sederhana.     

Fan Xian tiba-tiba mempercepat langkahnya dan berjalan berdampingan dengan Haitang. Haitang menoleh dan menatapnya dengan santai, tetapi tidak mengatakan apa-apa.     

Fan Xian perlahan mulai tenang, dia meniru cara berjalan wanita muda itu. Dia sedikit mengangkat dagunya, dan matanya terlihat malas sekaligus santai sambil melihat sekelilingnya. Jubah hijau yang dikenakannya tidak memiliki saku, jadi dia hanya bisa melipat tangannya ke belakang seperti seorang sarjana tua. Dia menggerakkan pinggulnya ke depan dan mengendurkan semua otot di tubuhnya, membiarkan kakinya menyeret tubuhnya yang kelelahan, dan berjalan dengan malas.     

Haitang melihat kelakuannya, tampaknya dia bertanya-tanya mengapa Fan Xian memutuskan untuk meniru caranya berjalan yang dianggap aneh ini. Dia terlihat kebingungan.     

Fan Xian tersenyum hangat, seolah-olah tidak menyadari bahwa Haitang sedang menatapnya dan tetap meneruskan cara berjalan milik Haitang. Haitang berhenti menatapnya, dia memalingkan wajahnya. Dia tampak berjalan dengan santai. Fan Xian juga meregangkan tubuhnya dan menguap.     

Pada saat itu matahari berada tepat di atas langit, menyinari istana dengan sinarnya yang hangat.     

Suara langkah kaki mereka perlahan-lahan menyatu menjadi satu, membuat mereka mulai merasa mengantuk. Mereka mempercepat langkah kaki mereka menuju ke istana, tampak seperti sepasang petani yang sedang berjalan dari ladang pulang ke rumah untuk beristirahat.     

Setetes keringat menetes dari hidung Haitang. Wajahnya yang biasa saja sedang memancarkan pesona yang aneh.     

"Obat penawar yang kau berikan padaku ... kulit jeruknya terlalu kuat sehingga rasanya pahit." Haitang tampak lebih terbuka saat berada di bawah sinar matahari.     

Fan Xian tertawa saat mengetahui bahwa Haitang sudah mengetahui tipu muslihatnya. "Aku adalah seorang komisaris Dewan Pengawas, bukan orang bijak yang mencari keselarasan dengan alam. Itulah mengapa cara bertarungku terkesan licik. Kuharap kamu tidak keberatan. Tentu saja, jika kamu keberatan, kamu bisa memberikanku ... obat itu . "     

Ucapannya sedikit ambigu, tetapi wajah Haitang tidak memerah seperti gadis pada biasanya. "Jika aku punya kesempatan, aku akan menggunakan obat itu," jawabnya dengan santai.     

Fan Xian berkeringat. "Kamu adalah komisaris Dewan Pengawas," lanjut Haitang, "Seseorang yang berjalan di dalam kegelapan. Mengapa kamu menarik banyak perhatian orang setelah meninggalkan Danzhou dan tiba di ibukota? Tampaknya kamu sekarang berjalan di tempat yang terang."     

"Malam yang gelap telah memberiku mata hitam, tapi aku menggunakannya untuk mencari cahaya." Kutipan dari "A Generation" karya milik penyair modern Gu Cheng (1956-1993). Gu bunuh diri setelah membunuh istrinya dengan kapak.[1][1]     

Fan Xian terus menggunakan kata-kata indah milik penyair dari dunia lampaunya, meskipun sebenarnya di dunia lampaunya itu dia telah meninggal dengan cara yang bodoh dan pengecut. Haitang terkejut, saat mendengar ucapannya. Dia menoleh dan menatap Fan Xian. Ada sesuatu yang berubah di dalam pandangannya terhadap Fan Xian.     

Fan Xian tertawa dan melanjutkan. "Malam yang gelap telah memberiku mata hitam, dan dengan begitu aku akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakannya ... untuk melihat dunia ini."     

Haitang akhirnya tertawa. Dia benar-benar sedang "tersenyum manis di antara pagar bambu". Sikap Haitang selalu tampak tidak sopan selama di perjalanan di tepi gunung . Jika dinding istana adalah pagar bambu, lalu buat apa dia takut dengan pikiran vulgar orang lain? [2][2]     

Setelah meninggalkan istana, Fan Xian mengatakan beberapa patah kata kepada Wang Qinian dan para Pengawal Macan yang mengkhawatirkan dirinya. Dengan dikawal oleh Penjaga Istana Qi Utara, Fan Xian duduk di keretanya dan kembali ke penginapan. Saat turun dari kereta, dia terkejut ketika mendapati pemandangan yang kacau.     

Setelah maju beberapa langkah, dia dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi disana.     

Di depan gerbang masuk terdapat sejumlah pejabat dan penjaga Qi Utara yang sedang berjongkok dengan membawa karung sambil memungut barang-barang di tanah. Dari cara mereka membawanya, tampaknya benda-benda itu berat. Fan Xian penasaran. "Apa yang telah terjadi?" dia bertanya pada Wang Qinian, yang berada di sebelahnya.     

Wang Qinian juga kebingungan.     

Saat mereka berjalan lebih jauh, mereka menyadari bahwa di atas sebidang tanah di depan gerbang halaman terdapat berbagai macam pedang. Beberapa memiliki sarung yang dihiasi beril, ada yang polos dan tanpa hiasan, beberapa tampak modern, dan yang paling banyak adalah pedang berbentuk melengkung yang disukai oleh orang-orang Qi Utara.     

Fan Xian menghirup udara dingin. "Pergi dan ambil sarung-sarung itu. Karena mereka telah terjatuh di depan pintu mereka sendiri, meskipun pedang-pedang itu adalah barang bekas, sebagian adalah milik kita." Setelah menikmati pemandangan di istana, mengobrol, dan meniru cara berjalan Haitang, dia merasa sangat tenang, sampai-sampai dia tersenyum ketika berbicara, sekilas mirip dengan Fan Sizhe.     

Wang Qinian memaksakan diri untuk tersenyum. "Anda pasti sedang bersemangat, Tuan, sampai-sampai membuat lelucon seperti itu."     

Fan Xian tidak bisa menahan tawa. "Memangnya kenapa kalau tidak? Jangan bilang kalau kita akan mengambil semua pedang tersebut?" Sejak saat wajahnya hampir terkena pisau milik Ye Ling'er di ibukota, Fan Xian memahami tradisi berduel di dunia ini dengan jelas – lemparkan pedangmu ke kaki lawan, dan jika lawan menerima tantanganmu, maka ambil kembali pedangmu dan angkatlah pedangmu. Jadi bisa dikatakan bahwa semua sarung pedang yang ada di depan adalah tantangan berduel yang ditujukan oleh Fan Xian.     

"Tapi mereka sudah memunguti pedang-pedang itu disana seharian. Apa yang menyebabkan semua ini?" dia bertanya dengan cemberut.     

[1] Kutipan dari "A Generation" karya milik penyair modern Gu Cheng (1956-1993). Gu bunuh diri setelah membunuh istrinya dengan kapak.     

[2] Referensi dari puisi karya penyair Song Su Shi; "Penginapan Timur di Halaman Dinghui, Banyak Bunga-bunga yang Menutupi Gunung, Dan Ada Pohon Apel Berbunga Yang Tidak Diketahui Warga Lokal". Salah satu baris dalam puisi itu adalah "tersenyum manis di antara pagar bambu, pohon persik dan prem menutupi gunung secara tidak karuan".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.