Sukacita Hidup Ini

Gadis Kecil yang Melarikan Diri dari Kuil



Gadis Kecil yang Melarikan Diri dari Kuil

0Di sepanjang jalan yang bersalju, Ku He dan Xiao En yang putus asa mulai mendaki ke gunung es. Wajah Xiao En yang tadinya beku mulai menghangat, memungkinkannya untuk mengekspresikan emosinya sekali lagi, mulai dari kegembiraan, kegelisahan, hingga ketakutan.     

Ku He tidak mengenal rasa takut; dia hanya memiliki rasa fanatisme yang kuat. Dia adalah seorang biksu, dan dia telah menetapkan tujuan hidupnya untuk menyentuh pintu kuil dan berlutut di atas tangga tempat suci itu untuk berdoa.     

Selagi mereka berusaha mendaki gunung bersalju yang penuh resiko ini, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di dekat kuil itu. Namun, mereka terkejut saat melihat kuil itu sekali lagi. Setiap kali mereka berhasil mendekat, kuil itu akan lenyap dari pandangan dan muncul kembali di kejauhan. Setelah setengah hari mendaki dengan intens ke kuil itu, hal ini terus terulang, bahkan lama kelamaan jarak mereka dengan kuil tampak semakin jauh. Dinding kuil yang berwarna hitam tampak seperti bayangan yang berkedip-kedip.     

Menurut legenda, dikatakan bahwa kuil itu hanya akan muncul dua kali dalam setahun. Ku He dan Xiao En tidak mau kehilangan kesempatan ini, sehingga mereka mengerahkan setiap tenaga mereka untuk terus mendaki. Mereka memanjat dan merangkak sampai mereka tidak tahu lagi sudah berapa lama mereka mendaki. Selama pengejaran mereka, luka goresan dan lebam, akibat dari batu dan es-es runcing, di tubuh mereka semakin bertambah banyak. Dan saat mereka menahannya, dua genangan darah tercecer seakan-akan darah tersebut menandai rute yang telah mereka tempuh selama mendaki.     

...     

...     

Plak! Tangan Ku He meraih sebuah batu yang permukaannya datar - dia telah mencapai tangga kuil. Biksu muda itu, dengan lega, memukul tangga batu itu dua kali dengan keras. Dirinya dipenuhi dengan sukacita yang tak terbayangkan dan hatinya melompat kegirangan.     

Xiao En sedikit lebih lambat dari Ku He ketika berusaha mencapai puncak. Ketika dia mulai melihat ujung pintu kuil itu, dia mencengkeram senjata yang dia sembunyikan di balik lengan bajunya. Dan saat dia melihat pintu setinggi tujuh meter itu, Xiao En terkesima atas keberadaan kuil itu, dia merasa seolah-olah dewa telah menjatuhkan sebuah buku ke bumi. Meskipun pintu itu tidak semewah pintu besar yang ada di dalam Istana Kerajaan Wei, pintu itu memiliki ukuran yang jauh lebih besar. Kuil itu seakan-akan datang dari dunia lain, yang dibangun bukan untuk makhluk hidup fana seperti manusia.     

Dinding kuil itu penuh dengan debu, pasti sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali tempat ini dikunjungi seseorang.     

Xiao En menelan ludahnya, dan menegaskan dirinya untuk mencari jalan masuk. sang Kaisar telah memerintahkan Xiao En untuk menemukan kunci untuk mencapai keabadian. Dia percaya bahwa akhir dari pencariannya sudah dekat. Namun, Ku He, merasa berbeda. Sujudnya di depan pintu kuil semakin tidak wajar, dia bersujud dengan sangat keras sampai-sampai dahinya mulai berdarah.     

Xiao En mendekati pintu kuil itu dan mencoba untuk menyentuhnya, namun kuil itu seakan-akan menjauh darinya.     

Kuil itu begitu dekat, namun begitu jauh.     

30 tahun kemudian, di dalam gua. Wajah pucat Xiao En tampak sedih.     

"Aku tidak bisa masuk."     

Fan Xian melepaskan tangan Xiao En dan berkata padanya, "Seperti yang kuduga. Jika kau berhasil menyentuhnya, akan ada lima Guru Agung, bukan empat."     

"Ku He lebih kuat dariku. Bahkan jika aku seberuntung dia, aku tidak mungkin bisa menjadi seorang Guru Agung." Mendengar ini, Fan Xian menggelengkan kepalanya. "Tapi, Ku He juga tidak bisa masuk. Kuil itu memiliki semacam aura, dan dilindungi oleh kekuatan mistik. Kembali pada hari itu, Ku He dan aku adalah pejuang terkuat di muka bumi, tetapi bahkan kami pun tidak mampu masuk ke tempat itu"     

Fan Xian menegakkan kepalanya. Dongeng yang diceritakan oleh mentornya Fei Jie waktu itu merinci pada kekuatan Ku He yang luar biasa, yang berasal dari waktu yang dihabiskannya selama bersujud di depan pintu kuil. Tampaknya dongeng ini merupakan salah satu dari dongeng yang nyata. Fan Xian mengerutkan kening dan bertanya, "Apa yang ada di kuil itu?"     

Xiao En bersusah payah untuk menjawab pertanyaan itu, bagaimanapun juga dia sedang sekarat. "Di depan pintu kuil, ada sebuah plakat besar. Selama ribuan tahun, permukaan plakat itu telah lapuk dan tulisannya telah memudar. Menurut tebakan terliarku, apa yang tertulis di plakat itu adalah sajak, yang ditujukan untuk kita manusia oleh para dewa itu sendiri! "     

Hati Fan Xian mulai berdebar dan dia dengan serius bertanya; "Sajak macam apa?"     

Xiao En menaikkan alisnya, dia dapat merasakan rasa keingintahuan di hati Fan Xian yang semakin membesar. Dalam hatinya, dia merasa kagum terhadap pemuda yang ada di depannya ini, yang masih dipenuhi dengan rasa keingintahuannya terhadap misteri dunia mereka.     

"Jangan ..." Dengan susah payah, pria tua itu mengangkat jarinya untuk menggambarkan sajak yang dia pernah lihat di udara.     

Fan Xian langsung mengerti. "Naga itu bersembunyi di air yang dalam?" [1][1] Fan Xian berkata pada dirinya sendiri. Setelah dia mengatakan ini, dia tertawa.     

"Lalu, ada tiga sajak yang isinya sama persis," kata Xiao En. Dengan bersusah payah, Xiao En berhasil mengangkat jarinya di udara dan menggambar dua busur melingkar, memberikan sensasi mistik.     

Fan Xian mulai sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk mendapatkan sesuatu dari sajak ini. Apakah reinkarnasiku di dunia ini, ada hubungannya dengan kuil ini? Apakah kuil ini memiliki hubungan dengan ibuku? Sepertinya aku harus mencari tahu sendiri. Tapi aku tidak yakin bahwa aku memiliki kekuatan dan keberuntungan seperti Ku He dan Xiao En yang dengan gagah berani melewati malam-malam dingin saat melakukan perjalanan ke tempat itu.     

"Aku tidak mengira cerita ini memiliki akhir yang sederhana."     

Xiao En terbatuk dan mengatakan, "Kamu benar. Ketika kamu telah menghabiskan begitu banyak waktu dan upaya untuk meraih tujuan hidupmu, dan gagal menjangkaunya, kamu mungkin tidak akan rela untuk menyerah."     

"DI saat Ku He terus bersujud di tangga di depan kuil, aku berjalan ke sisi lereng gunung."     

Malam telah tiba, dan tanpa adanya api unggun, kegelapan membutakan mata mereka berdua. Xiao En, dengan suara lembutnya, mulai melanjutkan ceritanya mengenai peristiwa yang terjadi beberapa dekade yang lalu. Setelah beberapa saat Fan Xian mengatakan, "Kamu sedang mencari saluran pembuangan?"     

Xiao En memperhatikan sosok bayangan pemuda itu yang terlukis di mulut gua. "Kamu memiliki profesi yang sama denganku," katanya. "Itu sebabnya kamu tahu apa yang akan kulakukan pada waktu itu."     

"Kamu tidak bisa mendekati dinding kuil, jadi bagaimana mungkin kamu bisa masuk melalui saluran pembuangan?" Setelah mengatakan ini, alis Fan Xian bergerak naik, dia tampaknya sedang kebingungan. Kemudian, dia bertanya, "Di tempat seperti itu, tempat peninggalan para dewa, bagaimana mungkin ada saluran pembuangan?"     

"Tentu saja aku gagal menemukannya." Xiao En mengatakan hal ini dengan tergesa-gesa. "Setelah kupikir-pikir, aku memiliki banyak keberanian di masa mudaku. Bisa-bisanya aku berpikir untuk mencari saluran pembuangan di kuil itu."     

"Lalu?"     

"Lalu ..." Ekspresi Xiao En berubah. "Lalu aku kembali ke depan kuil. Dan ketika aku sampai di sana, aku mendapati Ku He sedang memegang sesuatu di tangannya. Karena penasaran, aku mendekat untuk bertanya kepadanya tentang apa yang dia pegang dan kemudian ..."     

Ucapan pria tua itu tergagap dan melambat, dan pada saat itu juga, perasaan Fan Xian semakin menegang.     

"Pintu kuil terbuka."     

"Apa!?" Tanpa sadar Fan Xian bergerak mendekat ke arah Xiao En, seakan-akan dia ingin melindungi pria tua itu.     

Mata Xiao En berbinar dan mulutnya tersenyum. Dia berkata, "Pintu kuil terbuka dengan pelan dan tanpa mengeluarkan suara. Itu adalah adegan yang menarik untuk dilihat. Ketika aku mendekat untuk melihat apa yang ada di dalamnya, tiba-tiba seorang yang cantik melangkah keluar. "     

"Orang yang cantik?"     

"Benar, dia adalah seorang peri."     

Xiao En berdiri di depan pintu kuil seperti orang bodoh ketika seorang gadis kecil berlari ke pelukannya. Tubuhnya yang babak belur dan kelelahan hampir saja mengeluarkan darah dari mulutnya. Di tengah-tengah cahaya putih, Xiao En melirik ke arah Ku ​​He, yang tampak seperti harimau ganas. Ku He bergegas berlari menuju pintu kuil dan mulai bertarung dengan entitas hitam.     

Ku He adalah petarung berperingkat sembilan termuda saat itu, tetapi dirinya sama sekali tidak tahu apa yang sedang dia hadapi. Dia mengerahkan semua kekuatannya untuk menghadapi entitas yang telah muncul dari kuil ini. Seluruh adegan itu dengan cepat berubah menjadi kekacauan.     

Beberapa saat kemudian, Xiao En tersadar bahwa ada seorang gadis muda di dalam pelukannya. Namun, sebelum dia bereaksi, gadis muda itu berteriak pada Ku He, "Mundur!"     

Itu adalah sebuah kata sederhana yang keluar dari mulut gadis muda yang lemah, tetapi nadanya seperti perintah yang keluar dari mulut seorang Kaisar. Kerasnya suara gadis itu membuat Xiao En merinding. Dan kemudian, tiba-tiba, gadis itu berbalik.     

"Kau juga!"     

Ku He melangkah mundur dengan perlahan, tetapi Xiao En, sambil mencengkeram gadis muda itu, dengan cerobohnya jatuh ke belakang dan berguling-guling di sepanjang tangga kuil.     

Untungnya, entitas hitam itu kembali ke dalam kuil, tidak mengejar mereka. Xiao En, dengan kaget, menoleh untuk melihat ke arah pintu kuil. Untuk sesaat dia beranggapan bahwa bentuk dari entitas hitam tersebut menyerupai seorang pria. Ketakutan menyelimuti perasaan Xiao En saat dia melihat Ku He yang baru saja menghadapi entitas hitam itu batuk berdarah. Bahkan seorang Ku He bukan tandingan entitas hitam itu. Hal ini adalah bukti bahwa apa pun yang ada di dalam kuil itu bukan berasal dari dunia ini.     

Xiao En langsung menyadari bahwa ketika dia pergi mencari saluran pembuangan, Ku He pasti telah melakukan tawar-menawar dengan gadis kecil yang lari kepelukannya tadi. Sebuah tawaran yang akan membebaskan gadis itu dari kuil.     

Tapi siapa gadis kecil ini?     

"Gendong aku dan seret dia, kita pergi dari sini."     

Gadis kecil itu tampak sangat kedinginan sampai-sampai dia membenamkan kepalanya di dada Xiao En, sebelum memberi isyarat untuknya bergerak. Xiao En tidak berani beristirahat sedetikpun, dia memegang gadis itu erat-erat, meraih Ku He dan mulai turun dari gunung.     

Butuh waktu lama untuk akhirnya mereka kembali ke perkemahan mereka. Dengan kelelahan dan setelah duduk di tendanya, dia tiba-tiba mempertanyakan mengapa dirinya kembali. Sang Kaisar telah memerintahkannya untuk mendapatkan rahasia tentang keabadian, tetapi dia telah kembali dengan tangan kosong. Kenapa dia mendengarkan ucapan gadis kecil itu, tanpa berpikir dua kali? Dan hal yang paling aneh menurutnya adalah bahwa entitas hitam itu tidak mengejarnya.     

Xiao En berbalik untuk melihat gadis kecil itu. Gadis itu sedang duduk di lantai sambil menggosok-gosok hidungnya. Dia menyadari adanya gundukan tulang manusia yang tersisa di sudut tenda.     

"Kasihan sekali kalian para manusia yang diselimuti kebencian." Gadis kecil itu berbicara sambil melihat ke arah ke Xiao En. Barulah sekarang Xiao En bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kulitnya mulus dan putih bagaikan salju. Matanya lebar dan berbinar. Kecantikan gadis ini bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki oleh manusia.     

Di gua yang gelap gulita itu, Xiao En tidak bisa melihat ekspresi wajah Fan Xian, tetapi dia bisa tahu dari nada suara Fan Xian, bahwa ada sesuatu yang salah. Fan Xian bertanya, "Berapa umur gadis kecil itu?"     

"Tidak lebih dari 4 tahun." Mata Xiao En terbuka lebar, seolah-olah dia bisa melihat wajah gadis itu di hadapannya. "Ketika aku memeluknya, dia ringan seperti bulu."     

Fan Xian, dengan nada keheranan, bertanya, "Dia juga berumur empat tahun?"     

"Kenapa ada kata 'juga'"?     

"Bukan apa-apa." Fan Xian tertawa, lalu membuka matanya lebar-lebar dan bertanya, "Apakah kamu tahu siapa gadis kecil itu?"     

Xiao En menjawab dengan percaya diri, "Tentu saja aku tahu. Dia adalah peri yang ingin menjadi manusia, oleh sebab itu dia melarikan diri dari kuil itu."     

Fan Xian tertawa dan menggoyang-goyangkan jari telunjuknya, "Percayalah padaku, dia hanyalah seorang gadis kecil yang masuk ke dalam kuil untuk mencuri."     

[1] Tulisan di sajak, "jangan" (wu), membuat Fan Xian teringat dengan idiom Cina tentang naga yang bersembunyi di air yang dalam, yang merupakan metafora untuk tidak bertindak gegabah sampai tiba saat yang tepat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.