Sukacita Hidup Ini

Kuil Malam Abadi



Kuil Malam Abadi

0"Kuil itu tidak memiliki pohon, dan tersembunyi di dalam pegunungan yang tertutup salju. Konon katanya, hanya ada dua hari dalam setahun ketika kuil itu menunjukkan bagian luarnya yang sebenarnya, dan jika kamu tidak memiliki hati yang murni, kamu tidak akan dapat melihatnya. "     

Suara Xiao En terdengar tenang. Jelas sekali bahwa kuil itu sangat penting baginya. Karena dia tahu hubungan antara kuil dan wanita muda itu, Chen Pingping telah membayar mahal ketika menangkapnya dan membawanya kembali ke Qing. Dan karena Xiao En tahu lokasi kuil, Ku He, orang yang paling diuntungkan dari apa yang ada di dalam kuil, menginginkan dia mati. Dan sang Kaisar Muda memiliki harapan besar bahwa dia dapat menerima bantuan 'Surga' dari kuil itu.     

Tetapi apa sebenarnya kuil itu? Kuil itu hanyalah sebuah bangunan.     

Tiba-tiba, Xiao En merasa seolah-olah separuh hidupnya adalah kebohongan, dan hanya separuh sisanya, hidupnya di balik jeruji, adalah kenyataan. Lelaki tua itu memperhatikan cahaya fajar yang bersinar di luar gua. "Tuan Fan," katanya, dengan ekspresi tertegun di wajahnya, "apakah kamu percaya bahwa dewa-dewa itu ada?"     

Fan Xian diam. Dia memikirkan tentang kelahirannya sendiri dan tentang kotak warisan ibunya, lalu mengangguk. "Aku percaya akan keberadaan para dewa lebih dari siapa pun di dunia ini."     

"Seperti apa mereka?"     

"Jika aku tahu, maka aku sendiri sudah menjadi seorang dewa."     

Xiao En menatapnya dengan kagum. "Jarang sekali ada seseorang yang semuda kamu. yang dapat melihat sesuatu dengan jelas." Dia berhenti sejenak. "Tapi Kaisar Qi yang sekarang masih muda, jadi dia tidak bisa melihat dengan jelas."     

Fan Xian tahu bahwa kisah ini akhirnya dimulai. Dia tidak merasa gugup, melainkan penuh dengan penantian.     

"Apakah kamu tahu seperti apa daratan ini pada waktu tiga puluh tahun yang lalu?"     

"Kerajaan Wei adalah kerajaan yang kuat, yang dapat menyatukan seluruh daratan setiap saat."     

"Benar. Pada saat itu, aku adalah kepala Penunggang Merah Wei, seorang ajudan Kaisar yang paling dipercaya." Ada ekspresi aneh di wajah Xiao En saat dia mengingat masa lalu. Ekspresi itu bukan menunjukkan bahwa dia tersesat dalam ingatannya tentang masa-masa kejayaannya dulu, ataupun dia menyimpan dendam dalam bentuk apapun. Mungkin ajalnya yang sudah dekat ini telah memberinya semacam perasaan ketidakpedulian yang menenangkan. "Seluruh daratan ini adalah milik Kerajaan Wei. Setiap orang yang berbakat dan berprestasi adalah bagian dari istana kerajaan Wei. Tetapi orang-orang yang mengacaukan istana, selain Kaisar Pertama, adalah dua pasang saudara."     

Fan Xian melihat wajah pria tua itu yang serius, dan merasa sedikit lebih tenang. "Salah satu dari pasangan bersaudara itu adalah kamu dan Zhuang Mohan," kata Fan Xian.     

"Benar. Dia memiliki prospek yang lebih besar daripada aku." Ekspresi wajah Xiao En terlihat lebih santai. "Dan dia lebih sentimental daripada aku. Aku telah dikurung oleh Qing selama 20 tahun, dan dia masih ingat aku. Aku berhutang padanya."     

"Kenapa tidak ada yang tahu bahwa kalian sebenarnya bersaudara?"     

"Alasannya sederhana. Reputasiku sangat mengerikan. Siapa yang tahu, berapa banyak orang yang telah kubunuh secara diam-diam? Dia seorang sarjana, wajar jika dia tidak peduli padaku. Aku juga tidak merasakan punya hubungan dengan dia," Xiao En menjawab dengan nada datar.     

Fan Xian berhenti sejenak sebelum mengubah topik pembicaraan. "Lalu, siapa pasangan bersaudara yang satunya?"     

"Zhan Qingfeng dan Ku He."     

"Zhan Qingfeng? Kaisar pertama Qi Utara, yang merupakan seorang jenderal terkenal pada saat itu?" Fan Xian akhirnya tertegun. Jadi itulah hubungan rahasia antara Ku He dan keluarga kerajaan Qi Utara! Tidak heran bahwa dia pernah sendirian membela sang Kaisar dan sang Permaisuri Janda yang sekarang, dan bahwa keluarga kerajaan begitu hormat dan sopan kepada Ku He.     

"Ku He adalah adik laki-laki Zhan Qingfeng. Sejak kecil, dia telah memutuskan untuk menjalani hidupnya sebagai seorang biksu, yang berjalan di jalan Langit, dia melakukan yang terbaik agar suatu hari dia dapat memasuki kuil." Ada nada mengejek di dalam ucapan Xiao En. "Banyak orang percaya pada keberadaan kuil, tetapi siapa yang bahkan pernah melihatnya dalam seribu tahun terakhir? Tetapi para biksu itu terus berkhotbah di seluruh daratan, hidup mereka lebih menyedihkan daripada kaum pengemis."     

"Tapi kuil itu benar-benar ada," Fan Xian menyela.     

"Betul." Xiao En memejamkan matanya. "Ketika sang Kaisar Pertama meninggal, dan sang Kaisar Muda naik takhta, meskipun sang Kaisar Muda itu masih menjunjung tinggi kami, para menteri, entah mengapa dia memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap kematian. Setiap hari, dia terus berlatih semacam teknik yang dia anggap bisa membuatnya meraih keabadian. "     

"Mengingat betapa kuatnya Kerajaan Wei pada saat itu, dia tidak perlu khawatir sebagai Kaisar. Wajar jika pikirannya beralih ke hal-hal seperti itu," kata Fan Xian.     

"Jadi Ku He mengambil kesempatan ini untuk memasuki istana dan meyakinkan sang Kaisar Muda untuk mengirim sebuah kelompok diplomat negara untuk mencari petunjuk mengenai lokasi kuil," lanjut Xiao En. "Dia mengatakan bahwa jika para dewa di kuil itu meneruskan ajaran mereka kepada sang Kaisar Muda, maka hidupnya bisa menjadi abadi seperti mereka. Begitu sang Kaisar Muda mendengar ucapannya, jelas dia tidak keberatan ..." Xiao En tertawa pahit. "Sebagai asisten Kaisar Qi dan kepala Penunggang Merah, tugas itu tentu saja menjadi tanggung jawabku."     

"Ku He yang mengusulkan rencana tersebut. Dia sangat yakin dengan kepercayaannya terhadap kuil, jadi tentu saja aku tidak bisa menghentikannya," kata Xiao En dengan tenang. "Mereka mengerahkan semua kekuatan Kerajaan Wei untuk mencari petunjuk-petunjuk tentang kuil itu yang entah telah memakan berapa waktu lamanya. Setelah mereka akhirnya menemukan sebuah petunjuk, Ku He dan aku memimpin seribu orang ke utara."     

Meskipun Xiao En bercerita dengan agak tidak jelas, Fan Xian tahu bahwa peristiwa yang terjadi pada saat itu cukup rumit. Orang-orang memuja-muja kuil itu, tetapi pada saat itu, kuil itu hanya ilusi belaka, tidak ada bukti tentang keberadaannya. Menemukan sebuah petunjuk jelas yang mengarah pada keberadaan kuil merupakan perkembangan yang mengejutkan mereka.     

Suara pria tua dan apatis itu bergema di dalam gua. Cahaya fajar di luar mulai redup. Fan Xian mendengarkan Xiao En dengan tenang, dengan sesekali menyela untuk bertanya. Pikirannya berpacu ketika dia mencoba membuat gambaran peta tentang ekspedisi mereka ke kuil, di kepalanya.     

Waktu seakan-akan berputar kembali ke tiga puluh tahun yang lalu, udara lembut di pegunungan kuning berubah menjadi angin dan salju yang tak berkesudahan. Dari cerita pria tua itu, Fan Xian mendapati bahwa ada ribuan orang yang melakukan ekspedisi itu. Mereka semua terperangkap di bawah langit bersalju sejauh mata memandang, mereka hanya dapat terus bergerak melewati hamparan tanah kosong di utara yang beku. Mereka mengenakan sepatu bot kulit dan pakaian kulit yang tebal, yang terekspos dari mereka hanyalah mata mereka, tetapi mereka masih tidak bisa menghentikan angin dingin yang bertiup menembus hingga ke tulang dan tubuh mereka.     

Pemimpin dari tim ekspedisi ini ada dua: Xiao En, yang saat itu berada di masa-masa kejayaannya, dan biksu muda Ku He yang saleh.     

Semakin mereka ke utara, jalan yang mereka tempuh semakin berbahaya, sehingga jumlah mereka perlahan-lahan berkurang. Beberapa orang mati karena kedinginan, beberapa jatuh dari jurang es dan menghilang tanpa jejak, beberapa dimakan oleh burung-burung pemangsa yang turun secepat kilat dari atas langit. Singkatnya, ketika para pria itu bergerak semakin ke depan, jumlah mereka semakin menyusut, dan suasana hati mereka mulai diselimuti perasaan tidak enak.     

Seluruh dunia seakan terlihat seperti hamparan salju putih yang tak berujung. Karena mereka telah menghabiskan waktu begitu lama di dataran yang kosong dan beku ini, beberapa orang mulai putus asa. Xiao En, dengan kejamnya meninggalkan mereka di hamparan tanah kosong. Di kejauhan, terdapat sekumpulan serigala kutub, mereka sedang menunggu orang-orang yang ditinggalkan itu untuk mati.     

Pada saat itu segala sesuatu yang terjadi, semua terjadi dalam keheningan; bahkan kejadian-kejadian pahit seperti kematian.     

Kelompok ekspedisi melanjutkan perjalanan mereka hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pegunungan besar jauh di utara. Ada sebuah jalan sempit di pegunungan itu, dan salju di sana cukup tebal sampai-sampai menutupi seluruh permukaan pegunungan. Tempat itu terlihat seperti serangkaian gunung es yang tak berujung.     

Setelah orang-orang itu - yang saat ini tinggal ratusan - melewati pegunungan, mereka mendapati bahwa di balik pegunungan itu masih ada hamparan tanah luas lainnya yang diselimuti es dan salju, tempat yang bahkan hewan-hewan sekalipun jarang terlihat. Dengan keuletannya mereka mendirikan kemah di sana, dengan harapan dapat menemukan petunjuk-petunjuk mengenai keberadaan kuil di sana, tetapi setelah beberapa hari, mereka semua tidak menemukan apa-apa.     

Saat itu musim dingin, salju turun dengan lebat dan keras, mereka terjebak di antara pegunungan, matahari telah terbenam, dan makanan telah habis.     

Orang-orang terkuat berhasil bertahan sampai akhir. Dalam rentetan malam yang tiada akhir, Xiao En dan Ku He sedang duduk bersandar di tenda mereka, dengan sederet dinding mayat di sekitar mereka. Api mereka telah mati, dan tendanya yang compang-camping sekaligus potongan-potongan kain dari pakaian orang-orang yang telah meninggal, hanya dapat memberi mereka sedikit kehangatan dan harapan.     

"Ini adalah kemurkaan Langit."     

Di dalam gua gunung tersebut, Xiao En berjuang untuk tetap membuka matanya [1][1]. Kedua matanya mulai memerah, tetapi mereka tetap mengkhianati rasa ketakutan mereka yang tiada habisnya. "Kuil tahu bahwa manusia yang fana berusaha untuk menemukannya, sehingga Langit menjadi marah. Langit telah mengirim kegelapan yang tak berujung ini ke atas kita."     

Fan Xian menatap mata pria tua itu, dan terdiam untuk waktu yang lama. "Itu adalah polar night [2][2]." Di kepalanya, dia masih berusaha mengkonfirmasi lokasi kuil itu.     

Xiao En tidak mengerti apa itu "polar night". Tapi dia telah tenggelam jauh ke dalam ingatannya, dan wajahnya terlihat frustasi."Pada saat itu, Ku He yang lapar dengan kejam melahap daging manusia sambil berdoa ke Langit. Aku tidak bisa tidak membencinya. Yang mengejutkanku adalah ... mungkin pada akhirnya dia telah berhasil menggerakan hati para dewa yang berada kuil. ... siang tiba-tiba muncul. "     

Fan Xian tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Xiao En. Bagaimana mungkin kedua pria ini bisa bertahan hidup selama berbulan-bulan di malam kutub? Meskipun mereka memiliki daging untuk dimakan dan tenda untuk dibakar, berjuang hidup dengan hanya berdua seperti itu bisa membuat seseorang menjadi gila.     

Xiao En tiba-tiba tertawa. "Pada saat siang itu tiba, Ku He dan aku sedang sekarat. Tapi tiba-tiba, kami menemukan harapan, sebuah kekuatan datang dari suatu tempat yang tidak diketahui, yang memungkinkan kami untuk terus hidup."     

"Dan kemudian kamu menemukan kuil itu." Fan Xian menarik keluar pisaunya dan meletakkannya di sampingnya. "Seperti apa kuil itu?"     

Bertahun-tahun yang lalu, di antara gunung-gunung bersalju, dua orang pria yang kurus kering bangkit dengan susah payah dari tenda mereka. Mata mereka cekung dan kulit mereka pucat. Ketika mereka bernapas, gusi mereka yang busuk dan bengkak dapat terlihat, ini adalah pertanda yang jelas - kedua orang ini akan segera mati.     

Fajar akhirnya mengeluarkan sinarnya yang terang. Beberapa hewan muncul ke daratan dari lubang hibernasi mereka. Kedua pria itu menggunakan sisa kekuatan mereka, bagaimanapun juga, mereka masih lebih ganas daripada hewan-hewan buas di sana. Setelah mereka berhasil memulihkan diri mereka, mereka bangkit berdiri sekali lagi.     

Hari itu, mereka menyipitkan mata, memandang dengan tatapan kosong ke arah pegunungan di depan mereka, sambil bertanya-tanya tentang lokasi kuil – yang telah membuat mereka melewati neraka untuk menemukannya – berada.     

Apa yang ada di hadapan mereka hanyalah hamparan salju putih yang luas.     

Tiba-tiba, segaris cahaya turun dari langit biru yang gelap. Cahaya yang jatuh di atas pegunungan itu tampak meliuk dengan aneh, dan tiba-tiba, sebuah kuil yang indah muncul di antara pegunungan.     

Kuil agung telah yang dibangun di atas lereng gunung. Kuil itu memiliki dinding-dinding batu berwarna hitam dan atap berwarna abu-abu terang, yang memancarkan pemandangan mulia yang tak terlukiskan.     

Ku He tercengang, dan tiba-tiba dia terjatuh ke tanah. Dia menangis ketika melihat penampakan kuil itu, diliputi dengan perasaan sedih yang tak tertandingi. Xiao En berdiri tertegun. Setelah beberapa lama kemudian, dia akhirnya sadar dan sedang duduk di atas salju, saat itu dia telah kehabisan kekuatan untuk berdiri lebih lama lagi.     

Inilah kuil itu.     

[1] Xiao En berjuang melawan hipotermia dimana sering terjadi di cuaca dingin ekstrim     

[2] Keadaan di mana wilayah tersebut mengalami malam hari selama lebih dari 24 jam. Biasa terjadi bagian paling utara dan selatan bumi     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.