The Lost Love

Kita sudah satu



Kita sudah satu

0Kenzo melepaskan handuk kecil yang dia gunakan untuk menggosok-gosok rambutnya yang basah.     

"Alona, satu hal yang tidak kau mengerti saat ini. Kita sudah menjadi satu, tapi kau masih menganggap hubungan kita berbeda. Aku mungkin masih bisa menerima bagaimana kau dengan Dewa saat itu, tapi untuk apa yang kau lakukan di tempat ibadah tadi... Aku merasa kau hanya mempermainkanku dan keyakinanku," balas Kenzo dengan serius dia berbicara pada Alona.     

Sekujur tubuh Alona seakan bergetar. Dia menganggap apa yang telah Kenzo lontarkan barusan seolah merendahkan agama yang dianut nya .     

Dia mulai berpikir bahwa apa yang selalu menjadi pertentangan dan restu dari sang ayah itu adalah benar adanya. Perbedaan yang begitu kuat memang tidak akan mudah di satukan begitu saja, terlebih jika tidak ada pihak yang saling mengerti.     

"Aku baru mengerti, Ken. Kau tidak benar-benar mau menerimaku apa adanya dan tidak bersungguh-sungguh menyempurnakan perbedaan kita sebelumnya."     

Kenzo terhentak mendengar ucapan Alona. Karena sejujurnya dia tidak memikirkan hal itu, namun Alona menganggap hal itu berlebihan.     

"Alona, aku..."     

"Cukup, Ken! Kini aku mengerti kenapa bapak begitu menentang hubungan kita." Alona mundur satu langkah tak ingin Kenzo menyentuhnya.     

Kenzo semakin tercengang. Dan tak berani menyentuh Alona lantaran melihat Alona begitu marah bahkan dari tatapannya terlihat seketika membencinya.     

Alona melangkah keluar kamar, meninggalkan Kenzo. Tanpa berkata apapun lagi, bahkan melewati semua keluarga Kenzo yang tengah duduk di ruang tengah tampak terkejut melihat Alona keluar dari kamar dengan raut wajah marah.     

"Alona..." panggil ibu Kenzo seraya berdiri. Namun, Alona tidak menggubrisnya tak pedulikan panggilan ibu Kenzo.     

Kenzo terpaku berdiri di tempat. Dia tidak bisa mengejar Alona, kedua kakinya seolah berat bahkan tak mampu di gerakkan.     

"Ken, boleh ibu masuk?"     

Kenzo terhentak saat mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya dan suara sang ibu begitu tergesa-gesa.     

"Masuk saja, Bu..." sahut Kenzo dari dalam kamar.     

Sang ibu segera melangkah masuk, dan melihat Kenzo yang hanya memakai handuk setengah badan saja. Begitu sang ibu berada di depannya, Kenzo memalingkan wajahnya.     

"Nak... Ada apa dengan Alona? Kalian bertengkar? Ibu tidak sengaja mendengar suara kalian sedang berdebat." sang ibu bertanya dengan lembut.     

"Entahlah, Bu. Tapi aku kecewa padanya," sahut Kenzo lirih.     

Sang ibu membuang napas dengan pelan. "Kalian baru saja menikah, harusnya kalian masih merasakan segala kebahagiaan yang sulit di ungkapkan, harusnya pun kalian selalu bermesraan dimanapun dan kapanpun itu."     

"Bu, aku..." Kenzo menghentikan ucapannya seketika. Dia tak ingin menuturkan masalah pribadinya, dia tidak bisa membiarkan sang ibu ikut campur dalam masalah rumah tangganya saat ini.     

Tampaknya sang ibu mengerti apa yang saat ini sedang Kenzo pikirkan. "Kejarlah istrimu, jangan biarkan dia pergi dari rumah ini dalam keadaan marah seperti tadi. Itu tidak baik, Nak..."     

"Bu, aku mengenal betul bagaimana Alona. Biarkan saja dia berpikir sendiri akan masalah kami saat ini."     

Lagi dan lagi, sang ibu hanya menghela napas saja tanpa bicara kembali. Lantas sang ibu melangkah pergi keluar kamar.     

Kini, Kenzo segera mengganti pakaiannya lalu berbaring di atas kasur. Dia menatap kosong langit kamar, dia tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini.     

Sementara itu, Alona sedang di dalam perjalanan hendak menuju rumah sakit kembali. Sepanjang jalan dia hanya menangis tanpa kata di dalam taksi.     

Setelah sampai di rumah sakit, dia segera turun dan langsung saja memasuki rumah sakit untuk menuju ruangan dimana sang ayah di rawat saat ini.     

"Kakak..." sambut Aleea dengan raut wajah terkejut begitu melihat Alona datang kembali ke rumah sakit.     

Alona mencoba untuk tersenyum menanggapi sambutan sang adik yang terkejut menatapnya.     

"Dimana bibi?" tanya Alona kemudian.     

"Bibi di dalam, apakah kakak datang bersama kak Kenzo?"     

Alona menggelengkan kepalanya. Lantas merangkul lengan sang adik dan di ajaknya duduk bersama.     

"Kak... Kalian pasti masih bertengkar, bukan?" tanya Aleea penasaran.     

Alona kembali tersenyum lembut, walau terpaksa. "Jangan pikirkan kakak, kau sudah makan?" sahut Alona sembari menyibak lembut rambut Aleea.     

Aleea menatap sendu wajah sang kakak. Meski Alona mencoba menutupi kesedihan dan kemarahan di dalam hatinya, Aleea tetap bisa membacanya. Hubungannya dengan sang suami sedang tidak baik-baik saja.     

Sesaat kemudian, sang bibi keluar ruangan. Alona menatapnya segera dengan wajah sendunya dan dengan kedua mata sembab.     

"Alona?" sapa sang bibi.     

"Bibi, bagaimana dengan bapak?" tanya Alona segera menghampiri sang bibi.     

"Bapakmu baik-baik saja. Aleea, bapakmu meminta kau masuk ke dalam." sang bibi berbicara pada Aleea kemudian.     

"Oh, baik!" segera Aleea melangkah masuk ke dalam ruangan dengan sigap.     

"Alona, kau sudah makan? Bibi dengar dari kemarin kau sudah disini bersama Kenzo, lalu dimana dia?" tanya sang bibi.     

"Dia... Dia sedang pulang, dia harus bekerja." Alona menjawab dengan kikuk. Bahkan tidak mampu menatap wajah sang bibi.     

"Alona..." panggil sang bibi kemudian.     

"Ya?" sahut Alona kembali menatap wajah sang bibi dengan tatapan kosong.     

"Apa semua baik-baik saja?"     

"I-iya. Semua baik-baik saja, Bi..." sahut Alona terbata-bata.     

Sedang di dalam ruangan, Aleea menghampiri sang ayah dan duduk disisi nya.     

"Bapak, kenapa tidak tidur? Apakah pengaruh obat nya tidak mempan?" tanya Aleea dengan konyol, dia hanya tampak kebingungan melihat sang ayah lekas bangun dari tidurnya.     

"Bapak sudah tidur, bibi mu datang tiba-tiba menangis. Jadi, bapak sedikit terkejut dan terbangun."     

"Akh, dasar bibi itu." Aleea menggerutu pelan.     

"Aleea, apakah laki-laki itu masih disini?" tanya sang ayah tiba-tiba.     

Aleea terkesiap. "Kak Kenzo pulang, hanya kak Alona yang tinggal disini. Kakak bersikeras menemani bapak, biarkan saja disini. Kasihan kakak..." Aleea menjawab dengan raut wajah memohon pada sang ayah.     

Sang ayah terdiam sejenak. Dia memalingkan wajahnya dari hadapan Aleea.     

"Pak, apakah bapak tidak rindu pada kakak? Saat bapak sakit, bukankah bapak hanya mau jika kakak yang menyuapi dan meminumkan obat buat bapak?"     

Sang ayah masih enggan menjawab pertanyaan Aleea bahkan masih saja memalingkan wajahnya. Namun, di dalam hatinya yang terdalam sang ayah masih memiliki rasa belas kasih dan kerinduan pada Alona.     

"Sepertinya, kak Alona bertengkar dengan kak Kenzo. Kakak juga menangis, tapi kakak tidak mau mengakuinya. Kasihan kakak," ucap Aleea dengan sengaja menceritakan apa yang terjadi pada Alona. Dia hanya ingin melihat reaksi sang ayah.     

Dan benar saja, sontak sang ayah menoleh dan menatap wajah Aleea dengan kedua mata melotot. Bahkan sang ini deru napasnya seolah terbata-bata menahan amarahnya.     

"Eeh... Apakah bapak mau bertemu dengan kakak? Dia sedang di luar."     

"Tidak! Biarkan saja dia menjalani dan mendapatkan hukuman dari Tuhan karena berani menentang bapak dan Tuhan kami."     

"Bapak... Cukup, jangan selalu menyumpahi kakak dengan sumpah serapah seperti itu. Kasihan kakak, apakah bapak sungguh rela melihat kakak terluka? Apakah bapak sungguh rela melihat kakak tersiksa menjalani rumah tangganya bersama orang yang dia cintai?" Aleea mulai mengomel.     

"Jika laki-laki itu benar-benar mencintai kakak mu, dia tidak akan pernah membuat kakak mu menangis saat ini."     

Aleea tercengang. Akhrinya dia mendapatkan jawaban yang dia inginkan dari sang ayah. Ingin rasanya tersenyum bahagia di depan sang ayah, namun dia tak ingin terlihat bahwa dia hanya mengerjainya tadi.     

"Aku tau, bapak masih menyayangi kak Alona. Bapak tidak benar-benar membenci kakak." Aleea bergumam dalam hati.     

"Sekarang, Bapak tidur... Supaya besok kita bisa pulang ke rumah. Oke," ucap Aleea sambil menyelimuti sang ayah.     

Sang ayah hanya diam saja. Dia berpura-pura menutup kedua matanya, agar terlihat dia benar-benar tidur. Aleea segera keluar meninggalkan sang ayah sendiri di dalam ruangan.     

"Aleea, ada apa? Bagaimana dengan bapak?" tanya Alona segera begitu melihat Aleea keluar ruangan.     

"Bapak sedang istirahat. Kakak tenanglah..." sahut Aleea mencoba menenangkan kakak nya itu.     

Alona terdiam mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Dia merasa sedikit lega, hanya saja... Dia kembali teringat akan masalahnya bersama Kenzo.     

~     

Tiga hari sudah berlalu, sang ayah akhirnya di perbolehkan pulang oleh dokter setelah kondisinya benar-benar pulih. Alona yang masih setia menunggu di rumah sakit meski di luar ruangan, turut senang mendengar kabar itu dari Aleea.     

Akan tetapi, satu hal yang saat ini menjadi keresahannya. Kemana dia akan pulang saat ini? Sementara sang ayah masih enggan menerima ataupun melihat wajahnya saat ini.     

"Kak, pulanglah! Kembali ke rumah suami kakak, saat ini rumah kak Kenzo adalah rumah kakak juga bukan?" tutur Aleea, sang adik.     

"Kakak akan menginap di hotel saja, kakak sudah membayar biaya rumah sakit dan semua biaya tebusan obat untuk bapak selama di rumah nanti."     

"Tapi Kak... Kenapa di hotel? Dan... Dimana kakak mendapat uang sebanyak itu? Kakak sudah tidak bekerja." Aleea tampak terkejut.     

"Jangan khawatirkan hal itu, mmh... Kakak akan pulang lebih dulu, kakak tidak ingin bapak kembali drop saat melihat kakak berada disini."     

Aleea hanya bisa mengangguk dengan helaan napas panjang setelah sang kakak berbicara demikian padanya. Lalu membiarkan Alona beranjak pergi, sedang di dalam ruangan sang ayah tengah bersiap-siap dibantu oleh bibi Alona.     

Alona pergi dengan menaiki taksi, menuju sebuah hotel yang cukup sederhana namun tetap saja nyaman dan terjaga privasinya.     

Setelah memilih kamar yang dia inginkan, Alona segera pergi dan memasukinya. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur hotel yang begitu bersih dan empuk.     

Sedang di rumah, selama tiga hari pula Kenzo mendadak mood swing dan mudah emosi bahkan saat di dalam pekerjaannya dia menjadi sosok pendiam. Dia seperti kehilang mood dalam bekerja.     

"Ken, apa semua baik-baik saja?" tanya Pandu yang begitu peka karena dia lebih dekat dengan Kenzo.     

"Tidak. Semua tidak baik-baik saja," jawab Kenzo sekenanya.     

"Apakah jatah kurang semalam?" tanya Pandu kembali menggodanya.     

"Jatah? Jatah apaan?" Kenzo tampak kebingungan.     

"Ayolah... Jangan berpura-pura begitu," sahut Pandu terkekeh-kekeh.     

"Akh, sudahlah. Apapun itu, aku tidak ingin mengerti. Aku sedang malas berpikir," jawab Kenzo kembali mengalihkan.     

Pandu mencoba untuk menjadi pendengar setia sebagai sahabatnya di tempat kerja selama ini. Dia duduk tepat di depan Kenzo berhadapan yang hanya terhalangi oleh meja kerja saja.     

"Awal pernikahan memang akan selalu terjadi selisih paham, karena disitu sikap asli kita akan semakin timbul yang selama ini kita tidak mengetahuinya karena kita berusaha menahannya. Tapi, cobalah mengerti dan menerima satu sama lain."     

Kenzo menatap lekat wajah Pandu. Kenzo dibuat heran olehnya, entah kenapa Pandu seolah sudah mengetahui apa yang sedang terjadi padanya saat ini.     

"Kau terkejut kenapa aku mengetahui semuanya?" tanya Pandu kembali.     

"Apakah kau pernah mengalaminya?"     

"Hahaha... Ayolah, semua orang pernah mengalaminya bagi yang pernah menikah. Tak terkecuali aku, meski hubunganku dengan Nada saat itu telah lebih dulu terjalin, bahkan kami menjalaninya seperti pasangan suami istri layaknya. Namun, setelah benar-benar menikah semua tampak berubah, Ken. Dan kupikir itu wajar saja, kami sempat ingin menyerah. Tapi itulah tujuan kami menikah, ialah untuk saling melengkapi satu sama lain dan saling menerima." Pandu menerangkan semuanya dengan detail pada Kenzo.     

Kenzo mendengarnya dengan serius bahkan menahan napasnya sejenak.     

"Sudah tiga hari, Alona pergi dari rumah," jawab Kenzo kemudian.     

"So what? Tiga hari?" tanya Pandu dengan kedua mata melotot.     

"Hem, tiga hari." Kenzo mengiyakannya.     

Lantas dia menceritakan apa yang telah terjadi, dan apa yang menjadi penyebab mereka berada dalam masalah saat ini.     

"Ee-eh... Kurasa itu memang sedikit keterlaluan, tapi Ken... Alona belum mengerti, kau sebagai suami harus tetap membimbingnya. Bukan malah membiarkannya pergi terlalu kama, ayolah, Bro... Pernikahan bukan hal main-main," balas Pandu sedikit mengomeli nya.     

"Aku tau itu. Tapi, sebagai suami aku merasa berhak memarahinya."     

"Caramu salah, Ken! Akupun akan marah melihat caramu saat ini. Kau tidak sepatutnya membiarkan Alona pergi dari rumah sampai berhari-hari."     

"Aku tau aku salah, aku keterlaluan dalam hal ini. Tapi mungkin, saat ini dia masih di rumah sakit."     

"Kejarlah... Cari dia, hampiri dan jemput istrimu. Selesaikan masalah kalian, jangan sampai Alona berpikir kau hanya menjadikannya benda pajangan saja."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.