The Lost Love

Hubungan tanpa status (9)



Hubungan tanpa status (9)

0Alona tampak terperangah begitu tiba di sebuah Gereja yang begitu mewah dan ramai orang yang mengunjunginya. Marcel pun turut serta menemaninya masuk ke dalam Gereja, dan itu membuat Alona seketika menoleh ke arah Marcel yang berjalan di sisinya menuju ke arah kursi paling depan.     

"Kau…"     

"Aku sama sepertimu, pagi ini ingin mengatakan satu permintaan pada Tuhan. Sama sepertimu," bisik Marcel.     

Jadi, dia sungguh seagama denganku?     

Alona bergumam di dalam hatinya.     

"Ada apa?" bisik Marcel kembali setelah melihat Alona tertegun menatapnya.     

Sontak Alona memalingkan wajahnya lalu menundukkan kepalanya, mengatupkan kedua tangannya dengan penuh hikmat dia berdoa dalam hati, mengucap segala syukur dan mengungkapkan segala isi hatinya saat ini.     

"Tuhanku, kuharap kau terus memberikan aku restu untuk terus menjaga hati dan cinta ini untuk laki-laki yang aku cintai saat ini. Biarkan kami menjadi satu, aku tahu saat ini kau sedang mengujiku. Kau ingin melihat sejauh mana cintaku, sungguh. Aku hanya mau dia, aku hanya inginkan dia. Dan jika aku boleh meminta, buatlah dia juga memincintaiku hanya seorang. Tanpa ada wanita lain di hatinya, dan tolong… Sampaikan rinduku pada ibu, bahagikan ibu di sisimu, Tuhan!"     

Alona mengeratkan kedua tangannya yang mengatup sejak tadi, memejamkan kedua matanya dengan rapat dan semakin hikmat. Marcel yang duduk di sisinya, sesekali meliriknya dan memandangnya dengan senyuman indah.     

'Tuhan, sungguh indah makhlukmu yang satu ini. Bahagiakan dia selalu, Tuhan!" lirih Marcel di dalam hatinya.     

Di tengah lamunan Marcel memandang wajah Alona, seketika dia harus memalingkan wajahnya dan segera menutup kembali kedua matanya karena Alona pun sudah kembali membuka matanya. Dia melirik ke arah Marcel yang masih terpejam merapatkan kedua tanganya yang menjadi satu.     

Kemudian Alona menarik napasnya dalam-dalam dan perlahan Marcel membuka kedua matanya pula lalu memalingkan muka menatap wajah Alona secara dekat. Sontak saja Alona terkejut dan detak jantungnya terus berdegub kencang, dia canggung lantas beranjak bangun dari tempat lebih dulu.     

"Kau sudah mau pergi?" tanya Marcel menyusulnya berdiri.     

"Hem, kemana lagi?" tanya Alona menimpali lalu kemudian melangkah untuk pergi keluar.     

Marcel segera mengejarnya melangkah keluar Gereja. Alona tampak acuh, dia melangkah keluar tanpa menoleh kemanapun lagi. Seketika dia terbayang sosok Kenzo yang sebelumnya selalu menunggunya setiap kali pulang beribadah, dan pagi ini seakan dia melihat Kenzo berdiri di depan sana menyambutnya dengan senyuman hangat.     

Langkah Alona terhenti tepat di depan Gereja, dia terhanyut akan lamunannya mengenang wajah Kenzo dan semua tentangnya. Dia benar-benar rindu, sangat rindu. Tapi hanya bisa menahannya di dalam hati meski itu sudah menggebu-gebu.     

"Alona!" panggil Marcel pelan.     

"Ya, Ken?" sahut Alona spontan.     

"Ups, maaf. Aku…" Alona segera menyadari apa yang dia katakan barusan.     

"Woah, apa kau sedang memikirkan kekasihmu itu?"     

Alona menatap wajah Marcel dengan raut wajah sedih. "Hem," jawab singkat Alona.     

Raut wajah Marcel tampak berubah seketika, namun dia tetap memaksa untuk melempar senyumannya pada Alona. "Sepertinya dia sering menemanimu beribadah, aku bisa membayangkan kalian pasti selalu memanjatkan doa yang sama untuk hubungan kalian." Marcel kembali berbicara lalu memalingkan wajahnya menatap ke arah depan.     

"Aku harap begitu." Alona menjawab dengan suara parau.     

"Wow, kalian baik-baik saja?" tanya Marcel kembali menyelidik.     

"Pagi ini aku hanya rindu, sangat merindukannya. Bayangan senyumannya tiba-tiba terlintas bagaimana dia menyambutku di depan saat aku selesai memanjatkan doa." Alona bercerita seraya menatap ke arah depan pula. Sejajar dengan pandangan Marcel yang kini menoleh kembali menatap wajah Alona begitu menyadari bahwa ada yang mengganjal dari cerita Alona.     

"Kka-lian… Beda keyakinan?" tanya Marcel ragu-ragu.     

Alona menoleh dengan tatapan sendu.     

"Woah… Cinta kalia pasti penuh lika liku," ujar Wisnu dengan helaan napas panjang.     

Alona tak ingin menceritakan tentang kisah cintanya yang begitu rumit dan tidak di restui oleh ayahnya sendiri. Dia pun melanjutkan langkahnya mengabaikan ucapan Marcel yang mulai penasaran akan kisah percintaannya. Marcel pun mengejar langkah Alona yang terburu-buru.     

"Alona, tunggu!"panggil Marcel mengejarnya dari belakang.     

Alona menoleh dengan wajah cemberut.     

"Sebaiknya kita mencari sarapan dulu di luar, kita nongkrong sebentar!"     

"Tapi…"     

"Please, aku sangat lapar. Aku belum sempat sarapan tadi saat menjemputmu."     

Alona merasa bersalah dan akhirnya pun mengiyakan ajakan Marcel. Dia merasa tidak enak hati setelah perlakuan Marcel yang selalu baik padanya.     

Lagi dan lagi, Marcel sangat bahagia setelah Alona menerima ajakannya kembali. Dia merasa mulai bisa memenangkan hati Alona meski tidak mungkin menjadikan kekasih hatinya.     

Sementara itu, di tempat yang berbeda, Kenzo tampak sedih setelah hari ini dia harus berpisah dengan Heni. Mau tidak mau dia harus melepaskan Heni pergi untuk menuntut ilmu di Universitas impiannya, setelah semalaman dia melepas perpisahan dan kesedihannya dengan Heni.     

"Belajar yang baik, kau harus berhasil mengejar cita-citamu!" ucap Kenzo via telepon pada Heni.     

"Tapi aku sedih, kau tidak bisa mengantarku ke bandara. Bukankah kau sangat keterlaluan?" balas Heni.     

"Maafkan aku," ucap Kenzo dengan suara parau.     

"Hei, apa kau menangis?" tanya Heni setelah mendengar suara Kenzo seperti sedang bersedih.     

"Tsk, kau meledekku?"     

"Hahaha, apa kau sungguh menangis? Karenaku? Aku sungguh tersanjung, aaaakh… aku jadi ingin memelukmu, Ken!"     

Sejujurnya Kenzo memang sedang menahan diri untuk tidak bersedih, dia hanya tak ingin kembali pada masa dimana dia penah menjatuhkan air matanya saat melepas Alona pergi ke Luar Negri. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya lagi. Rahanganya sudah terasa nyeri sejak tadi dia berusaha menahan segala kesedihannya.     

"Heni…"     

"Ya?" sahut Heni menjawab panggilan Kenzo.     

"Setelah ini, carilah laki-laki yang benar-benar mencintaimu dan akan selalu membuatmu bahagia sama seperti saat kau bersamaku. Karena kau begitu cantik saat tersenyum dan tertawa riang," ujar Kenzo dengan segala kekuatan dia berbicara.     

"Aku benci dengan ucapanmu itu, Ken!"     

Kenzo terdiam kembali, dia tahu Heni akan menjawab demikian.     

"Kabari aku begitu kau sampai di luar kota, jaga kesehatan dan jangan banyak bermain di club malam."     

"Aku jadi merasa kau sungguh-sungguh kekasihku saat ini, Ken!"     

"Jangan memulainya! Sudah, aku akan kembali bekerja!" Kenzo hendak mematikan panggilan teleponnya sementara Heni masih di dalam perjalanan menuju bandara dan dia tidak malu sedikitpun berbicara dengan Kenzo di hadapan ayah dann ibunya.     

"Baiklah, aku harap kau tidak akan merindukanku hingga kau menangis. Hahaha…" Heni menggoda sebelum panggilan teleponnya benar-benar di akhiri oleh Kenzo.     

"Oh ya? Aku rasa, sepertinya kau yang nantinya akan menangis dan ingin aku memelukmu seperti biasanya."     

Heni terdiam sejenak, meski dia ingin membalas godaan Kenzo, tapi dia tidak mungkin berbicara di depan orang tuanya. Dia hanya bisa berdehem, dan Kenzo tahu alasan Heni begitu. Kenzo tertawa lepas, mendengar Heni seketika membungkam dan tak berani membalas godaannya kali ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.