The Lost Love

Mulai Candu



Mulai Candu

0"Aaaaarrrght…" Kenzo berteriak begitu memasuki kamarnya.     

Dia begitu marah dan ingin melampiaskannya namun, pada siapa?     

Dia duduk tersungkur di lantai tepat di sisi ranjang, dia menjambaki rambutnya sendiri dan lagi lagi dadanya terasa sesak sekali. Dia hanya terdiam menatap kosong lantai di depannya.     

"Kenapa, Ayah. Kau pergi begitu cepat, rumah ini sudah terasa seperti neraka. Tidak ada lagi kebahagiaan yang aku rasakan di rumah ini, kenapa ayah meninggalkanku sendirian di rumah ini, kenapa ayah membiarkanku merasa sesakit ini."     

Kenzo mulai merasa dunia saat ini tidak adil lagi baginya, dunia seakan terus mencekiknya. Tanpa sosok ayahnya dia tidak lagi merasa berarti apa-apa, semua terasa hampa dan luka di hatinya kian terasa.     

Dia pun mulai tersadar dengan meraih ponselnya, dia pun menyadari ponselnya sudah kehabisan daya batrainya.     

Dia segera meraih kabel charge untuk memberikan daya pada ponselnya. Lima menit kemudian dia pun menghidupkannya kembali, seketika dia terperanjat setelah begitu banyak pesan singkat dan panggilan tidak terjawab dari Alona. Kenzo tersenyum sebelum membuka pesan singkat dari Alona.     

Lagi dan lagi, Kenzo terkejut setelah melihat poto Heni bersamanya. Segera Kenzo melakukan panggilan telepon pada Alona meski ponselnya masih dalam keadaan pengisian daya. Berkali-kali panggilan teleponnya belum mendapatkan respon bahkan panggilan berikutnya Alona menplak panggilan teleponnya.     

Kenzo mulai panik, di dalam hatinya berderu-deru tak menentu.     

'Alona, tolong! Aku bisa menjelaskan semuanya.'     

Kenzo mengirim pesan singkat pada Alona setelah membaca semua pesan singkat dari Alona yang menyatakan kekecewaannya dan kemarahannya melihat poto itu. Kenzo cemas menunggu balasan pesan dari Alona namun, belum juga ada balasan darinya. Dia mencoba untuk mengulang panggilan teleponnya pada Alona namun tampaknya nomor telepon Alona sedang sibuk.     

Alona sengaja menghindari panggilan telepon dari Kenzo dan sengaja menelpon Aleea untuk mengadukan semuanya.     

"Halo, Kakak!" jawab Aleea ketika menerima panggilan telepon Alona.     

"Aleea, bisa temani kakak ngobrol?" tanya Alona lagi.     

"Ada apa, Kak? Katakan saja, apakah itu tentang kak Kenzo?"     

"Dia selingkuh!" jawab Alona tegas.     

"Apa? Selingkuh? Sungguh?" Aleea terkejut dengan menaikkan nada bicaranya.     

Alona pun menceritakan semuanya pada adiknya, Aleea. Tentang poto Kenzo bersama wanita lain di sebuah Coffee Shop tampak begitu menikmati. Alona menceritakan dengan nada marah dan tanpa jeda mengatakan semuanya pada Aleea termasuk juga tentang pertemuannya yang secara kebetulan dengan Marcel.     

"Aku tidak menduga jika kak Kenzo akan sejahat itu. Atau jangan-jangan dia sudah berani berseingkuh di belakang kakak dengan wanita itu, dasar laki-laki. Semua sama saja!"     

"Aleea, jangan sampai ayah tahu hal ini. Kakak tidak mau ayah semakin membenci Kenzo, kakak masih mencintainya."     

"Ayolah, Kak! Jangan sampai cinta kakak buta, lagi pula kalian itu jauh. Kalau pun kalian akan saling berselingkuh ya why not?" balas Aleea sekenanya.     

"Adikku, kau belum mengerti, kau belum memahami arti sebuah hubungan dan cinta itu apa," sahut Alona dengan suara lirih.     

"Tapi, Kak…"     

"Aleea, sudahlah! Kakak memintamu mendengarkan keluh kesah kakak bukan untuk membuat hati kakak goyah."     

Tanpa menunggu tanggapan dari adiknya dia mematikan panggilan teleponnya seketika.     

Sedang Kenzo masih terus berusaha menghubungi Alona tanpa henti dan menyerah sampai akhirnya tanpa sengaja Alona menerima panggilan telepon Kenzo. Alona terkejut dan kebingungan hendak berkata apa setelah panggilannya kini tersambung dengan Kenzo.     

"Sayang…"     

"Apakah senang pergi dengan wanita cantik itu?" tanya Alona dengan cetus.     

"Kamu salah paham, Sayang. Dia bukan siapa-siapaku, jadi kami hanya sebatas…"     

"Apa kau mulai jenuh dengan hubungan jarak jauh ini, Ken? Atau kau…"     

"Tidak, tolong! Jangan katakan itu, aku tidak pernah jenuh dan tidak pernah merasa bosan atau apapun yang kau pikirkan saat ini, please!" Kenzo menyela ucapan Alona.     

Alona terdiam seketika. Dia berusaha menahan napasnya sejenak meski rasanya sudah ingin sekali meledak.     

"Ken! Maafkan aku karena tidak bisa memberikan waktu luang ketika kau ingin berdua denganku," ujar Alona lirih.     

"Tidak, Alona. Jangan katakan itu, kau salah paham. Aku tidak pernah berniat untuk menduakanmu, aku hanya mencintaimu!"     

"Berikan aku waktu untuk menyendiri!"     

Bip bip bip…     

Panggilan pun berakhir begitu saja, Alona mematikan panggilan teleponnya lebih dulu sehingga membuat Kenzo kelimpungan.     

"Rrrrght…" Kenzo membanting ponselnya di atas kasur. Dia keal, dia marah, dia pun geram pada dirinya sendiri.     

Malam ini dua masalah yang menyakitinya sekaligus datang secara bersamaan. Alona, sang ibu, sang kakak, dan semua seisi rumah ini terasa perlahan membuatnya tercekik.     

Malam kian larut, udara dingin yang menerpa memasuki ruang kamarnya dari jendela yang sengaja Kenzo biarkan terbuka membuatnya semakin meringkuk menahan asa.     

Pagi telah tiba, Kenzo terkesiap begitu terbangun kesiangan dari tidurnya. Setelah hampir semalaman suntuk dia terjaga dan hanya termenung saja sambil mendengarkan lagu-lagu yang kian menyiksa batinnya. Akan tetapi, pagi ini dia justru seperti kehilangan akal dengan melakukan panggilan pada Heni.     

Heni yang masih bermalas-malasan di tempat tidur, begitu terkejut ketika meraih ponselnya yang berdering nada telepon dari Kenzo untuknya sepagi ini. Heni segera menerima panggilan itu, setelah sebelumnya dia berdehem untuk meregangkan suaranya yang serak. Degub jantungnya semakin cepat, dia merasa ada yang aneh dari hatinya.     

"Ha-halo…" sahut Heni setelah menarik layar ponselnya menerima panggilan Kenzo.     

"Hem, sepertinya masih tidur. Wanita cantik memang selalu bangun siang, apakah aku mengganggumu?" ujar Kenzo menggodanya.     

Heni mengerutkan wajahnya tersenyum bahagia mendengar godaan Kenzo padanya.     

"Ada apa gerangan? Kau menelponku pagi ini hanya untuk menggodaku?" sahut Heni seraya menggigiti jemarinya.     

"Hahaha, apa kau pikir begitu? Huh, orang pintar bebas berpikir semaunya." Kenzo kembali menggodanya.     

"Ken, ayolah!"     

"Hahaha, tidak! aku menelponmu hanya untuk bertanya apakah sore nanti kau mau bersepeda lagi?"     

Heni terperangah seraya beranjak bangun segera dari tidurnya dan kembali tersenyum riang.     

"Tentu, aku akan bersepeda lagi! Apa kau mau menemaniku lagi?"     

"Ah, tidak! bukan menemanimu, tapi sepertinya aku mulai suka bersepeda di sore hari." Kenzo berusaha mengalihkan.     

"Hem, ya ya ya. Apapun itu, tapi aku akan sangat senang kalau kau mau bersepeda denganku, Ken!"     

"Baiklah, sampai jumpa sore nanti."     

Lantas Kenzo mematikan panggilan teleponnya setelah Heni menyanggupi untuk bersepeda nantinya. Kenzo segera bergegas menuju kamar mandi lalu pergi bekerja seperti biasanya. Usai mandi dan merapikan diri, dia segera keluar dari kamar.     

"Ken…" panggil sang nenek.     

Kenzo menoleh dengan acuh.     

"Ini, bawa sarapanmu ke tempat kerja. Kamu sudah hampir melewatkan sarapanmu setiap pagi di rumah ini," sahut sang nenek sambil memberikan sekotak sarapan untuk Kenzo.     

"Tidak usah, Nek! Aku beli saja di luar untuk sarapan hari ini," sahut Kenzo menolak sarapan itu.     

"Kenzo, ini sarapan nenek yang membuatnya. Bukan ibumu dan bukan dari uang laki-laki itu," sahut sang nenek seolah mengerti apa yang Kenzo pikirkan saat ini.     

Kenzo menatap lekat wajah sang nenek. Ada rasa tidak tega di dalam hatinya, seharusnya dia memang tidak ikut menghukum sang nenek yang selama ini selalu ada untuknya sejak sang ayah pergi selamanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.