The Lost Love

Getir



Getir

0Malam semakin larut, untuk pertama kalinya Kenzo merasa malam ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Dia merasa begitu bimbang, hingga suasana sepi bagaikan mencekik lehernya sendiri dan membuat napasnya begitu sesak.     

Dia terus memikirkan tentang kondisi Maya, dia selalu merasa tidak tenang. Dia ingin sekali datang menghampirinya, menemaninya kala dia sedang kalut.     

"Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku ingin sekali menemuinya. Aku harus menemaninya, jangan sampai dia sedih berkelanjutan, atau dia nanti akan sakit."     

Berulang kali Kenzo merubah posisinya, dari bangun, tidur, berbaring, berjalan-jalan, dan begitu seterusnya dia mengulangnya berkali-kali.     

Malam terasa semakin mencekam, bahkan jarum jam begitu terdengar sangat keras dentingannya memutar setiap angka per angka.     

Sesaat kemudian, ponselnya pun berdering. Dia melonjak bangun dan mengira itu panggilan telepon dari Maya, namun itu tidak terjadi, melainkan panggilan dari Alona, kekasihnya.     

Kenzo mengusap seluruh wajahnya sedikit kasar, menghela napas panjang lalu kemudian menarik logo hijau di layar ponselnya itu.     

"Halo..." sahut Kenzo dengan suara sedikit serak.     

"Eh, halo. Ken, kau sudah tidur?" tanya Alona dari seberang sana.     

"Belum, kau sudah bangun?" jawab Kenzo dengan nada malas, dia terdengar oleh Alona sedikit berbeda.     

"Pertanyaan apa itu, Ken? Tentu saja aku sudah bangun, maka itu aku menelponmu, hehe... Kau merindukanku? Malam tadi, aku bermimpi kita bertemu di taman. Aku sangat merindukanmu, Ken."     

Kenzo terdiam mendengar suara Alona yang terus bicara. Dia bahkan tidak menyadari apa yang Alona bicarakan padanya pagi ini. Pikirannya hanya tertuju pada Maya saja.     

"Ken... Halo, apa kau mendengarku?" ujar Alona dengan sedikit cemas. Dia berpikir mungkin sesuatu telah terjadi.     

"Ah, ya? Ehm, aku... Aku masih mendengarnya," sahut Kenzo kikuk.     

"Ken, ada apa? Apa kau mengantuk? Atau kau sedang sakit? Kau terdengar berbeda, katakan ada apa?" desak Alona kemudian.     

Kenzo terdiam kembali. Dia tidak tahu apakah dia harus mengatakan ini pada Alona atau tidak, tapi dia butuh teman bicara untuk melampiaskan kekalutannya.     

"Ken... Katakan, kau membuatku cemas." Alona terus mendesaknya.     

"Alona, bolehkah aku berbagi kesedihanku malam ini padamu?" tanya Kenzo mulai bersuara.     

"Ya ampun, Sayang. Apa yang kau katakan? Kenapa kau masih bertanya, bukankah selama ini kita selalu saling berbagi? Ah, tidak. Sebetulnya, aku yang selalu mengeluh dan melimpahkan segala masalahku padamu, Ken."     

"Alona, tidak... Jangan katakan seperti itu, kali ini aku sungguh ingin kau mendengarkan keluh kesahku. Aku tidak tahu harus bagaimana dan harus melakukan apa, aku sungguh tidak tahu, Alona..." suara Kenzo terdengar mulai sedih. Dan itu membuat Alona tertegun sesaat.     

"Ken... Ada apa, jangan sedih... Aku sangat cemas jika kau seperti ini," pinta Alona dengan sedih pula.     

"Maya, Maya hamil... Alona," sahut Kenzo kemudian. Bahkan dia meneteskan air matanya setelah memberitahu tentang kabar itu pada Alona.     

"Apa? Ha-hamil? Ba-bagaimana bisa? Oh ya Tuhan, aku tidak percaya ini."     

Kenzo mengeratkan genggaman tangannya pada ponsel yang menempel di telinganya itu, bahkan dia berusaha menarik napasnya sedalam mungkin.     

Alona pun tampak tidak percaya akan hal itu, bagaimana dengannya? Dia ingin sekali tidak mempercayai hal ini, sebelum dia melihatnya sendiri bagaimana kondisi Maya saat ini.     

"Bukankah orang tua Maya begitu egois, melakukan hal itu pada anaknya sendiri? Kenapa tidak dibiarkan menikah saja dengan laki-laki yang menghamili Maya? Dengan begitu akan lebih mudah, dan masalah cepat selesai, 'kan?" tanya Maya tiba-tiba.     

Kenzo tersentak mendengar ucapan Alona demikian.     

"Itu karena, laki-laki yang menghamili Maya berbeda keyakinan dengan Maya. Maka itu, ayahnya sangat menentangnya. Dia tidak ingin Maya menikah dengan seorang suami yang berbeda keyakinan dengannya, bukankah itu sangat rumit? Sejak awal mereka sudah melakukan hubungan backstreet, tapi siapa yang akan menduganya jika ini akan terjadi pada Maya."     

"Ken, kau terlihat sedang marah. Apa kau marah mendengar Maya hamil sebelum sah menikah?" tanya Alona lagi.     

"Aku... Aku tidak tahu, apa yang saat ini aku rasakan. Aku ingin sekali menemuinya saat ini, aku ingin sekali berada di sisinya, aku ingin sekali menghiburnya, aku ingin dia berbagi padaku tentang masalahnya. Dia pasti sangat sedih saat ini, dia pasti sangat kalut dan membutuhkanku kali ini, Alona."     

Kenzo mengeluarkan kata-kata itu begitu saja, tanpa memikirkan apa yang akan di tanggapi oleh Alona saat ini.     

Dan benar saja, Alona merasa sangat cemburu, dia merasa kesal. Maya hamil dengan kekasihnya, lantas kenapa Kenzo yang begitu tampak sedih dan marah?     

Alona merasa benar-benar terbakar api cemburu. Dia kesal karena Kenzo begitu peduli bahkan terdengar betapa dia sangat terpuruk akan kabar itu saat ini.     

"Ken..." panggil Alona.     

"Hem?" sahutnya singkat. Membuat Alona kian kesal.     

Sejak awal bicara tadi, Alona mengatakan bahwa dia sangat merindukannya, bahkan dia sampai memimpikan bertemu dengan Kenzo di taman berdua.     

"Ada apa, Alona?" tanya Kenzo lagi setelah Alona terdiam.     

"Kenapa bukan kau saja yang menikahi Maya?"     

Dengan santai dan lugu, Kenzo menjawab segera pertanyaan Alona padanya saat ini.     

"Yah, ayahnya memang memintaku menikahi Maya, mengakui bayi itu dan bertanggung jawab untuk menjadi ayah dari bayi itu. Tapi aku..."     

Bip bip bip...     

Panggilan dari Alona terputus begitu saja. Membuat Kenzo mengerutkan keningnya, dan berpikir mungkin saja sedang gangguan jaringan atau kehabisa pulsa.     

Dia mencoba menghubungi Alona kembali, namun mendadak nomor Alona tidak bisa di hubungi.     

"Eh, ada apa?" tanya Kenzo pada dirinya sendiri.     

Kenzo mengulangi panggilannya pada Alona. Namun hasilnya tetap sama, malah operator yang entah berbicara apa ketika Kenzo melakukan panggilan darinya untuk Alona.     

"Oh Tuhan, mungkinkah aku salah bicara barusan? Ah, tidak! Alona tahu aku ini seperti apa, dia tidak mungkin marah atau... Eh, tapi kenapa nomornya tiba-tiba tidak aktif?"     

Kekacauan pikiran Kenzo semakin menjadi. Dia menjambaki rambutnya sendiri seperti orang yang sedang frustasi. Dia sungguh kacau balau detik ini.     

Sedang Alona, di negara yang kini sedang turun salju, dimana hari yang sebenarnya akan menjadi sesuatu yang indah baginya, kini dia meringkuk di kamar dan memeluk dirinya sendiri dengan tangisan pilu.     

"Kenapa kau katakan itu padaku, Ken? Kenapa? Apa kau tidak memikirkan bahwa ucapanmu itu, bahwa kejujuranmu itu, akan sangat menyakitiku? Aku terluka oleh perkataanmu itu, Ken! Tidakkah kau cukup mengetahui betapa aku sangat takut dan cemburu, kau pernah menyukainya, kau pernah menaruh hati pada Maya. Kamu tega, Ken! Kamu jahat!"     

Alona menangis pilu di kamarnya, cuaca dingin yang sedang turun salju di luar membuatnya semakin menangis pilu. Meronta di dalam hatinya penuh dengan luka, rasa cemburu, rasa sakit, rasa takut, rasa ingin memaki, semua menjadi satu.     

Berbeda dengan Kenzo, yang saat ini kembali tertuju pikiran dan hatinya hanya pada Maya seorang. Dia tidak peduli dan mencoba memahami akan sikap Alona barusan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.