The Lost Love

Hubungan tanpa status (4)



Hubungan tanpa status (4)

0Alona tampak sedih akan desakan sang ayah untuk menjodohkannya dengan laki-laki yang sebelumnya tidak pernah di ketahui dan di temui. Siapa dia, bagaimana dia, seperti apa dia? Alona tak ingin membayangkannya. Yang dia inginkan hanya Kenzo seorang, namun lagi lagi dia ada di antara pilihan yang menyesakkan.     

Drrrttt… Drrrttt…     

Ponselnya kembali bergetar sebuah pesan singkat datang dari Marcel.     

'Aku membawakanmu dessert, keluarlah!'     

Alona menahan napasnya seraya memejamkan kedua matanya begitu membaca pesan dari Marcel. Dia beranjak melangkah menuju keluar kamar kemudian. Dia membuka pintu utama apartemen untuk Marcel yang kini benar-benar berdiri di depannya, dia mengulas senyuman lembut untuk Alona begitu di bukakan pintu.     

"Dihabiskan, ya!" ujarnya sambil menunjukkan sekantung plastik pada Alona.     

"Kau tidak perlu membawakan ini untukku, aku sudah makan tadi."     

"Aku tau, kalau sedang demam yang di inginkan seorang perempuan pasti yang manis-manis, 'kan?" jawab Marcel dengan tersenyum kembali.     

"Mmh, kamu mau masuk?" tanya Alona pada Marcel yang masih berdiri di depannya.     

"Apakah boleh?"     

Alona mengangguk ragu saat Marcel bertanya demikian. Lantas Marcel melangkah masuk dengan sikap canggung.     

"Silahkan duduk!" Alona menyilakan Marcel untuk duduk di sofa ruang tamu.     

"Mau aku buatkan minuman?" tanya Alona melanjutkan ucapannya.     

"Mmh... Jika tidak merepotkan!"     

Alona tersenyum tipis seraya melangkah membawa kantung plastik tadi menuju ruang dapur.     

Marcel duduk santai sambil menunggu Alona kembali menghampirinya. Meski Alona masih belum pulih dia terpaksa membuatkan teh hangat untuk Marcel.     

Alona segera menghampiri Marcel dengan membaca secangkir teh hangat untuk nya.     

"Dimana kau letakkan dessert tadi? Aku membawanya untukmu agar segera kau makan," tanya Marcel sambil menerima secangkir teh buatan Alona.     

"Ehm, aku... Aku masih kenyang, nanti saja kumakan bersama Ayu."     

"Hem, no no no. Aku akan melihatmu memakannya," ujar Marcel mendesak.     

"Marcel, ayolah..."     

"Please..." Marcel kian merengek memohon padanya.     

"Atau aku saja yang akan menyiapkannya untukmu. Mumpung masih hangat," ujar Marcel kembali seraya beranjak bangun hendak menuju dapur.     

Alona terperangah kebingungan akan sikap Marcel yang begitu saja beranjak pergi.     

"Eh, dapur dimana?" tanya Marcel dengan langkah buru-buru sambil menunjuk ke segala arah.     

Alona tersenyum kecil melihat tingkahnya. Lalu kemudian menunjuk ke arah dimana dapur berada. Marcel segera melangkah menuju kesana.     

Sesaat kemudian Marcel sudah keluar dari arah dapur dengan membawa dessert cokelat dan keju yang dia beli di sebuah toko kue termahal karena benar-benar terjamin enaknya.     

"Aku yakin kau pasti sangat menyukainya," ujar Marcel sambil menyendok dessert tersebut hendak menyuapi Alona.     

Seketika Alona memundurkan kepalanya begitu Marcel hendak menyuapinya. Marcel pun tertegun dan tampak canggung.     

"Maaf, Alona."     

"Ah, ehm, itu... Aku bisa makan sendiri," ucap Alona kemudian.     

Marcel tampak sedikit kecewa dan meletakkan sendok itu kembali, dan itu membuat Alona merasa tidak nyaman.     

Alona canggung dan serasa berat untuk menelan sesendok dessert setelah melihat Marcel beberapa kali membuang napas kasar.     

"Alona, apa kau merasa tidak nyaman denganku saat ini?" tanya Marcel tiba-tiba dan hampir saja membuat Alona tersedak.     

"E-eh... Maaf, Marcel. Aku bukan merasa tidak nyaman, tapi..."     

"Kau berusaha menjaga hati dan hubunganmu dengan kekasihmu, bukan?"     

Alona terdiam. Tak ada jawaban lagi, karena Marcel sudah menjawabnya.     

"Apakah aku... Ehm, mungkinkah tidak ada tempat sedikitpun dihatimu untukku?"     

"Marcel, saat ini aku hanya akan mencintai satu orang saja. Hari ini, esok dan selamanya," tegas Alona.     

Marcel tertegun. Dia menarik napasnya kembali dalam-dalam. "Tapi, bisakah kita menjadi teman akrab?"     

Alona ragu untuk menjawabnya. Akan tetapi, Marcel sudah banyak bersikap baik padanya. Saat ini, dia sedang ada di negara orang. Marcel adalah orang yang mungkin bisa dia andalkan suatu hari nanti, tidak ada salahnya dia mencoba untuk berteman baik saja dengannya.     

Alona pun mengangguk.     

"Kita teman, oke!" Marcel mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Alona sebagai tanda pertemanan.     

~     

Kenzo yang masih duduk menunggu hasil sulap dari petugas salon yang melayaninya hingga sudah dua jam lamanya dia duduk di tempat.     

Heni yang sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya, terus saja mengirim pesan singkat padanya.     

Sesaat kemudian, Kenzo sudah selesai di sulap seperti yang dia inginkan oleh petugas salon. Kenzo menatap di cermin hasil dari pewarna rambut dan style yang dia inginkan.     

"Bagaimana, Kak?" tanya staf salon yang sejak tadi melayaninya.     

Kenzo masih membolak-balikkan wajahnya, memutar-mutar kepalanya untuk memastikan rambut barunya itu.     

Kenzo tersenyum, seraya berkata, "Perfect!"     

Staf hotel itu tersenyum puas karena hasilnya di puji oleh Kenzo. Setelah itu, dia melakukan pembayaran dari hasil kinerja salon itu untuknya. Dia tak ragu sedikitpun untuk membayarnya meski merogoh harga yang lumayan tinggi.     

Dia segera pulang lebih dulu karena harus mengganti pakaian yang cocok untuknya malam ini bertemu dengan Heni.     

Sampai di rumah, tampak terlihat sang kakak dan neneknya sedang mengobrol. Sepertinya Ervan hendak pergi ke kedai, namun masih mengobrol dengan sang nenek.     

"Ya Tuhan, Kenzo... Ada ada apa dengan rambutmu itu?" sang nenek tampak terkejut melihatnya dengan penampilan barunya itu.     

Rambut yang berwarna gading terang, bahkan dia kuncir layaknya ekor kuda. Dengan penuh percaya diri Kenzo sengaja melangkah dengan membusungkan dadanya.     

"Nenek menyukainya?" balas Kenzo bertanya pada sang nenek dan mengacuhkan sang kakak yang sejak awal tertegun menatapnya.     

"Kenzooooo..." pekik sang nenek sampai terdengar begitu melengking dari suaranya yang sudah serak dan melemah.     

Kenzo siaga, dia takut sang nenek akan langsung menyerangnya dengan pukulan-pukulan andalan neneknya.     

"Ken, kenapa kau merubah gaya rambutmu seperti itu? Apa kau tidak takut para tetangga dan orang-orang memandangmu anak nakal saat ini?" tandas sang kakak.     

"Menurut kakak, apa aku akan peduli?" sahut Kenzo mencetus.     

"Ken!" bentak sang kakak.     

Kenzo menyeringai lantas melangkah masuk ke kamarnya tanpa pedulikan sang nenek dan dirinya lagi.     

"Kenzo, nenek belum selesai bicara!" sang nenek mengomelinya kembali namun Kenzo sudah menutup pintu kamarnya dengan membantingnya.     

Dia bergegas mengganti pakaian yang cocok untuk bertemu dengan Heni malam ini. Dia merapikan rambutnya kembali, menyemprotkan parfum andalannya.     

Menatap wajahnya kembali lalu tak lupa, dia mengabadikan wajah dengan gaya rambut barunya itu di ponselnya.     

Setelah itu dia kembali keluar dari kamar dan lagi lagi bersikap acuh melewati sang nenek di ruang tengah yang sedang duduk menunggunya keluar dari kamar.     

"Mau kemana lagi kamu, Ken?" tanya sang nenek.     

"Ada urusan di luar!" sahutnya sambil terus melangkah keluar rumah.     

Kenzo sengaja menyalakan motornya dengan memainkan gas motornya. Lantas dia melaju dengan kecepatan tinggi hendak pergi ke rumah Heni.     

Sedang di rumah Heni, tampak ia sudah menunggu di teras rumahnya dengan penampilan yang tak kalah cantik dari sebelumnya.     

Sesaat kemudian, Kenzo sudah memasuki halaman rumah Heni dan segera Heni melangkah cepat menyambut kedatangan Kenzo.     

Heni belum melihat perubahan Kenzo lantaran dia masih mengenakan helm nya. Tak ingin berlama-lama, Heni langsung menaiki motor Kenzo tepat di belakangnya.     

"Let's go!" ujar Heni seraya melingkarkan kedua tangannya di pinggang Kenzo.     

Selama ini, sudah menjadi hal yang biasa Heni memeluk Kenzo saat menaiki motornya di belakang. Tanpa rasa ragu, malu, atau canggung sedikitpun.     

"Ken..." panggil Heni dari belakang.     

"Ya?" jawab Kenzo dengan lembut.     

"Tidak jadi, aku hanya ingin memanggilmu saja." Heni menjawab seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh Kenzo.     

Kenzo mengerutkan keningnya, berpikir dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apa yang Heni lakukan saat ini, memeluk tubuh Kenzo begitu erat membuatnya merasa ada getaran kecil di dalam hatinya.     

Sejenak bayangan tentang Alona kembali terlintas, dia berusaha menahan gejolak di hatinya, dia tidak mungkin pula meminta Heni melepaskan pelukannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.