The Lost Love

The Lost Love



The Lost Love

0Dewa tampak canggung lalu melirik ke arah Aleea yang masih berdiri di sisinya bahkan tanpa rasa canggung atau merasa tidak enak hati setelah mendengar percakapan Dewa dan Alona.     

"Alona, apa lagi yang harus aku jelaskan? Bukankah tidak ada sesuatu yang salah yang telah kulakukan?" tanya Dewa kembali berbicara.     

"Sudahlah, aku sedang tidak ingin membahasnya. Cuaca panas disini sudah cukup membuatku ingin marah," sahut Alona memotong bicara. Lantas dia meraih sepiring potongan buah dan hendak membawanya ke halaman belakang.     

Dewa segera melangkah hendak mengikuti Alona begitu juga Aleea yang kemudian menyusulnya.     

"Alona... Please, jangan begini!" Dewa dengan cepat menarik lengan Alona hingga menolehnya ke belakang.     

Alona tampak terkejut, begitu pula dengan Aleea. "Kak Dewa, apaan sih? Kenapa kasar sekali?" Aleea segera menghampiri Alona dan menjauhkannya dari hadapan Dewa.     

"Umh, maaf. Maafkan aku," ucap Dewa kebingungan.     

"Kak! Ngomong dong, katakan sesuatu. Jangan diam saja, laki-laki ini sudah kasar sama kakak barusan." Aleea mulai mengomeli sang kakak saat sudah tiba di halaman belakang.     

"Aleea, tinggalkan kami berdua!" ucap Alona pada Aleea.     

"Kakak! Apa yang kakak pikirkan? Kakak masih memintaku untuk..."     

"Aleea..." hentak Alona pada Aleea. Sehingga Aleea terdiam seketika dan mendecak sebal seraya pergi meninggalkan Alona dan Dewa hanya berdua di halaman belakang.     

Setelah Aleea kembali ke ruang dapur, dia kembali mendecak sebal dan menggerutu, bahkan memaki nama Dewa.     

"Andai saja ayah melihat ini semua, mungkin dia akan meminta kak Alona mengakhiri semua ini," ucap Aleea bersungut-sungut.     

Setelah kini hanya tinggal Alona dan Dewa saja berdua di halaman belakang, Alona kembali menatap kasar wajah Dewa.     

"Apa kau tidak malu dengan apa yang kau lakukan tadi?"     

"Kau yang memaksaku demikian, Alona."     

"Jangan lupa, Dewa! Kau di rumah siapa saat ini?"     

"Lalu, kenapa? Apakah aku tidak memiliki hak apapun sebagai calon suamimu?" bantah Dewa dengan nada tegas.     

"Heh, calon suami? Hahaha... Kau bercanda?" Alona berusaha tertawa meski kenyataannya dia ingin sekali marah.     

"Alona..." panggil Dewa sedikit heran melihat ekspresi Alona yang demikian.     

"Lalu kenapa kau selingkuh di belakangku?" ujar Alona menuduhnya secara langsung.     

"Alona! Aku tidak... Aku tidak pernah melakukan hal itu!"     

"Oh ya? Lalu... Siapa wanita yang bernama Jihan di ponselmu itu?" hardik Alona dengan kedua mata melotot tajam, menatap wajah Dewa.     

Dewa tampak biasa saja, meski kedua matanya terkerjap lantaran mendengar nama Jihan. "Dia... Dia tunangan sahabatku, tidak ada yang spesial diantara kami. Dia hanya kebetulan saja menelponku," sahut Dewa santai.     

"Oh ya? Kalau begitu, pertemukan aku dengan wanita itu!" pinta Alona. Entah kenapa dia begitu yakin Dewa telah mengkhianatinya dengan wanita itu, dan dia pun merasa nama Jihan adalah satu orang yang sama seperti yang dia kenal sebagai sahabatnya dulu.     

"Kau... Ingin... Berte-mu Jihan?" tanya Dewa terbata-bata.     

"Ya! Kenapa? Kau takut?" tanya Alona menyelidik.     

"Tidak, untuk apa aku takut?" Dewa masih mengelak.     

"Ya sudah, kau hubungi saja dia sekarang!" pinta Alona kembali menantang.     

"Tapi..."     

Alona mendelikkan kedua alisnya, sehingga Dewa mulai tampak gusar dan meraih ponselnya dengan ragu-ragu di dalam kantung saku celananya.     

Dewa mulai menelpon Jihan. Di dalam hatinya, dia berharap bahwa Tuhan masih berpihak padanya. Dia berjanji akan memperbaiki segalanya setelah ini, asalkan hubungannya dengan Dewa masih baik-baik saja.     

Dan benar saja, seolah ini memang keberuntungan Dewa. Jihan menerima panggilan telepon darinya, tapi yang menjawabnya ialah tunangan Jihan, Tomy.     

"Ha-halo, Jihan..."     

"Hei, Dewa. Ini aku, Bro! Tomy," jawab tunangan Jihan dengan suara renyah dan santai tanpa mengira hal yang tak terduga.     

"Oh, kau... Ups, maaf. Kupikir Jihan yang menerimanya," sahut Dewa kikuk. Sedang Alona hanya diam saja menyaksikan Dewa demikian.     

"Ada apa kau menelpon Jihan? Apakah ada hal yang penting?"     

"Mmh... Ya, aku baru saja ingin mengajak kalian makan malam bersama. Apakah bisa?"     

"Aku? Dan jihan?"     

"Ya, kau dan Jihan. Lalu aku dengan kekasihku," balas Dewa seraya melirik ke arah Alona yang hanya diam saja memperhatikannya.     

"Ya, bisa saja. Tapi kenapa kau menelpon tunanganku? Bukan padaku langsung?"     

"Yaelah... Kau ini, aku akan menelponmu nanti, hanya saja kebetulan aku sedang dengan kekasihku, dan dia meminta untuk makan malama bersama nanti." Dewa masih berusaha menahan kegelisahannya untuk mengalihkan kesalah pahaman dari tunangan Jihan.     

"Oh, baiklah. Malam nanti, kita bertemu di restoran mana nih? Kebetulan aku juga ingin mengenal kekasihmu, hihi..."     

"Ehm, yah... Nanti kukabari kau saat kekasihku sudah menentukan dimana dia akan makan malam."     

"Ah, ya! Baiklah, tunanganku Jihan pasti sangat senang akan memiliki teman baru lagi."     

Dewa pun lantas mematikan panggilan teleponnya. "Kau puas?" tanya Dewa pada Alona.     

Alona hanya mengangkat kedua bahunya setengah ke atas seraya memasang wajah acuh menanggapi pertanyaan Dewa.     

"Ayolah, Sayang. Berhentilah marah padaku!" pinta Dewa dengan wajah memelas.     

"Sebaiknya kau pulang saja, aku sedang tidak ingin bicara banyak denganmu, Dewa!"     

Dewa terdiam, dia merasa benar-benar tidak bisa membuat Alona luluh saat ini sehingga dia harus mengalah lebih dulu kali ini.     

Akhirnya pun, Dewa beranjak pergi. Kini Alona hanya tinggal seorang diri dengan duduk melamun di kursi halaman belakang.     

Melihat sang kakak hanya duduk seorang diri, Aleea kembali datang menghampirinya. Dia tahu bahwa sedang terjadi masalah diantara hubungan kakaknya itu dengan Dewa.     

"Kak..." panggil Aleea.     

"Aleea, entah kenapa kakak merasa jika Dewa mulai menduakan kakak selama ini." Alona menyela sebelum Aleea melanjutkan bicaranya kembali.     

"Apa? A-apakah kakak sudah memastikannya?" tanya Aleea terbata-bata.     

"Hem, kakak memang belum melihatnya secara langsung. Tapi..."     

"Tapi apa, Kak?"     

"Ah, sudahlah. Nanti akan kakak ceritakan saat kakak sudah memastikannya."     

Aleea terdiam sejenak.     

"Hah..." Alona menghela napas berat.     

"Kak, kakak baik-baik saja?" tanya Aleea dengan cemas. Dia khawatir melihat sang kakak yang kembali berada dalam situasi demikian.     

"Entah kenapa, Aleea... Kakak merasa sedikit lega, kakak justru tidak merasa cemburu atau patah hati. Namun, kakak merasa kembali di rendahkan kali ini."     

"Aku tidak akan pernah memaafkan hal itu jika saja benar terjadi, aku akan memberikan pelajaran pada kak Dewa. Huh..." Aleea seakan tersulut emosi begitu besar di jiwanya kali ini.     

"Aleea, kakak minta jangan kau katakan apapun tentang hal ini di depan bapak. Kakak tidak ingin membuat bapak kembali kecewa," pinta Alona kemudian.     

"Apaan sih kak? Kakak masih mau membela laki-laki itu?"     

"Aleea, kau tidak akan mengerti. Kakak bukan membelanya, tapi ini untuk bapak."     

"I-iya, baiklah..." sahut Aleea menganggukkan kepalanya dengan bibir cemberut. Sebetulnya dia sudah sangat kesal dan ingin meluapkan amarahnya, namun sang kakak memintanya untuk menahannya.     

Hingga malam pun tiba, Alona sengaja memilih pakaian yang akan membuatnya tampil berbeda malam ini, dia bahkan memberikan sentuhan make up yang berbeda pula untuk membuatnya cantik malam ini.     

Setelah siap dengan segala penampilannya, dia melangkah keluar kamar. Begitu keluar dari dalam kamar, Alona di sambut dengan tatapan tajam dari Aleea.     

"Bapak dimana?" tanya Alona mengabaikan ekspresi Aleea padanya yang demikian.     

"Kak, apakah kakak yakin masih akan menemui laki-laki itu dengan penampilan kakak yang WOW ini?" tanya Aleea heran.     

"Kau akan mengetahuinya nanti, Aleea. Apakah bapak di teras?" tanya Alona kembali.     

"Hem, sedang minum kopi dan duduk santai seperti biasanya."     

Alona melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Apakah Dewa belum datang?"     

"Belum!" jawab Aleea segera.     

"Cih, dia semakin membuat kakak mencurigainya. Tidak biasanya dia datang terlambat untuk pergi makan malam bersama kakak," ujar Alona kembali.     

Lantas terdengar suara klakson mobil yang sudah tentu itu adalah mobil Dewa. Alona dan Aleea saling bertatapan lantas mengangguk bersamaan.     

Alona melangkah keluar dengan segera dan di susul oleh Aleea, dia melihat Dewa keluar dari mobil begitu melihat ayah Alona duduk di teras dengan segelas kopi di sampingnya.     

"Pak, Alona pergi dengan Dewa malam ini." Alona berpamitan dan memohon izin.     

"Malam, Om..." sapa Dewa menghampiri ayah Alona dan menyalaminya dengan santun seperti biasanya.     

"Cih, dasar laki-laki munafik!" Aleea menggerutu pelan.     

Lantas tatapan Dewa mengarah ke arah Alona, dia tampak terkesiap dan menatap wajah Alona tanpa berkedip.     

"Kita pergi sekarang?" tanya Alona pada Dewa.     

"Ah, ya! Kita pergi sekarang. Emh, Om... Kita..."     

"Ya ya, pergilah! Hati-hati di jalan, kalian. Nikmati malam ini dengan penuh kebahagiaan." ayah Alona selalu saja langsung mengiyakannya tanpa berpikir atau mencoba melihat ekspresi wajah Alona yang tampak penuh dengan amarah.     

Setelah mereka berada di dalam mobil dan melaju dengan perlahan, Dewa kembali melirik ke arah Alona. Namun, Alona tampak cuek dan biasa saja.     

"Sayang, tampaknya malam ini kau..."     

"Kenapa? Kau tidak menyukai penampilanku malam ini?" tanya Alona menyela.     

"Ti-tidak. Aku suka, hanya saja... Kenapa kau baru berani merias wajah dan penampilanmu seperti itu?"     

Alona hanya menyumbingkan bibirnya tanpa bicara lagi. Di dalam benaknya saat ini seakan penuh dengan segala umpatan dan tudingan pada Dewa.     

Alona benar-benar tidak sabar ingin bertemu dengan wanita yang masih dia yakini adalah sahabatnya serta memiliki hubungan khusus dengan Dewa.     

Sesaat kemudian tiba di sebuah restoran mahal yang akan menjadi tempatnya bertemu dengan wanita yang bernama Jihan itu.     

"Sayang, kuharap kau tidak akan berasumsi yang bukan-bukan lagi, aku harap kau..."     

"Kenapa kau begitu takut, Dewa?" tanya Alona kembali menyela setelah tiba di halaman parkir restoran tersebut.     

"Tidak, bukan karena takut. Tapi aku hanya ingin menjaga persahabatanku dengan tunangan Jihan, kau mengerti bukan?"     

Alona menepis tangan Dewa yang sedang memeganginya dengan sedikit erat sejak tadi. Seolah Dewa sedang berada di dalam situasi penuh dengan kekhawatiran.     

"Alona..." panggi Dewa sambil mengejar langkah Alona. Sampai mereka memasuki sebuah ruangan restoran yang begitu mewah, dan tampaknya hanya orang-orang berkelas saja yang sedang menduduki setiap kursi dan meja di dalam ruangan itu.     

Alona segera menuju sebuah kursi dan meja kosong yang tampak terlihat di depannya setelah dia berada di dalam ruangan, Dewa hanya bisa menuruti kemana Alona akan duduk santai saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.