The Lost Love

Masa Penjajakan



Masa Penjajakan

0Hampir semalaman suntuk Alona enggan tertidur. Begitu pula dengan Kenzo, meski begitu mereka masih enggan saling bicara dan mau mengalah untuk menjelaskan lebih dulu.     

Hingga waktu pagi telah tiba, Alona terlelap tidur lantaran dia sudah merasa sangat lelah berpikir semalaman. Kenzo tidak berani membangunkannya, maka dia beranjak bangun lebih dulu dan pergi ke kamar mandi.     

Usai mandi, Kenzo melihat Alona masih terlelap dalam tidur. Melihat wajah lugunya, dia enggan membangunkan Alona dari tidurnya. Ini hari terakhir Kenzo mendapatkan masa cuti pernikahan.     

Setelah keluar dari kamarnya, Kenzo menuju meja makan. Tapi dia bingung, bagaimana dia akan mengatakan saat semua bertanya tentang Alona. Mungkinkah dia akan menjawab jujur saja? Pikir Kenzo dalam benaknya.     

"Ken, kau sudah bangun? Dimana Alona? Apakah kalian bergadang lagi semalam?" tanya sang nenek dengan serius meski itu terdengar seperti sedang menggodanya.     

"Emh, itu... Alona, masih tidur, Nek. Semalam dia kesulitan untuk tidur," jawab Kenzo sekenanya.     

Sang nenek menghentikan kegiatannya yang sedang memasak sejak tadi. "Apakah kau membuatnya marah lagi?" tanya sang nenek.     

Kenzo gelagapan. Lantas dia melihat sang ibu muncul di meja makan dan segera membantu sang nenek. Semua tampak heran lantaran melihat ibu Kenzo mulai membantu urusan dapur.     

Sarapan sudah siap di hidangkan, Kenzo enggan duduk di kursi dan sarapan bersama. Sudah tentu semua berpikir lantaran adanya sang ibu dan suaminya yang duduk bersama di meja makan.     

"Ken, bawakan Alona sarapan ke kamarnya!" titah sang nenek sambil menyiapkan dua piring sarapan untuk Alona dan Kenzo.     

"Iya, Nek..." sahut Kenzo sambil meraih dua piring nasi yang di siapkan oleh sang nenek.     

Setelah kembali ke dalam kamar, Kenzo tidak melihat Alona di kasur. Namun, dia mendengar suara air yang mengalir deras di kamar mandi, yang sudah tentu Alona berada di dalamnya.     

Sesaat kemudian, Alona benar-benar keluar dari kamar mandi. Dia melihat Alona dengan rambutnya yang setengah basah, tampak sangat cantik dan manis natural. Akan tetapi, Alona masih mengacuhkan Kenzo.     

"Sayang, sarapan dulu!" ucap Kenzo dengan lembut.     

"Aku belum lapar," sahut Alona begitu saja.     

"Nenek sudah menyiapkan sarapan ini untuk kita, jika dia mendengar kau menolak memakannya, dia akan sedih."     

Alona tampak diam dan mengerutkan bibirnya. Dia tidak ingin melihat sang nenek sedih karena dia lah yang paling baik padanya sejak awal di rumah ini.     

Kenzo beranjak bangun menghampiri Alona dan hendak memberikan pelukan padanya. Tentu saja untuk meredakan amarah Alona. Namun, Alona menepis pelukan Kenzo.     

"Kenapa tidak memeluk wanita itu saja?" sahut Alona dengan cetus.     

"Sayang, sudah dong... Marahnya," pinta Kenzo merayunya.     

Alona mendecak sebal, lalu menatap wajah Kenzo dengan kesal. "Aku tidak menduga, kau begitu mudah dekat dengan wanita lain, Ken! Sedang aku, kau tau bagaimana aku selama ini terhadapmu?"     

Kenzo mendelikkan kedua alisnya. "Apa maksudmu?"     

"Kau masih bertanya apa maksudku? Wanita semalam bukan hanya sekedar teman dekat saja bagimu, aku tau itu!" hardik Alona.     

"Alona! Jangan keterlaluan menuduh suamimu ini, lagi pula itu masa lalu. Aku dan Heni hanya teman biasa saat ini," tandas Kenzo benar-benar kesal lantaran terus saja mendapatkan tuduhan dari Alona.     

"Kenapa kau marah? Aku hanya bertanya dan menebaknya, atau... Itu memang terjadi dengan nyata?" ucap Alona kian menjadi.     

Kenzo terkesiap, dia sungguh sangat kesal. Dia menahan napasnya sejenak, dia ingin mengumpat, tapi itu hanya akan membuatnya semakin di jebak masalah besar.     

"Terserah! Terserah apa yang akan kau pikirkan tentangku dan wanita itu, Alona!" hardik Kenzo dengan kesal lantas keluar kamar kembali seraya membanting pintu.     

Alona menatap Kenzo yang melangkah keluar kamar dengan marah. Hal itu membuat Alona menahan kesal dan amarah yang memuncak dengan tangisan sebagai pelampiasannya.     

Kenzo pergi menuju halaman belakanh rumahnya, hanya disitu dia bisa meluapkan setiap kali sedang kesal. Akan tetapi, dia terkejut saat melihat sang ibu menyirami setiap bunga dan tanaman hiasa lainnya di halaman belakang.     

Kenzo hendak pergi, dia tidak ingin bertatap muka dengan sang ibu di saat sedang dilanda amarah yang memuncak karena sikap Alona padanya.     

"Ken..." panggil sang ibu yang seketika membuat Kenzo berhenti melangkah.     

"Nak, tunggu! Bisa kita bicara sebentar?" tanya sang ibu mencoba kembali untuk mengajak Kenzo bicara, dia sudah begitu yakin bahwa kali ini dia bisa kembali berbaikan dengan Kenzo, putra bungsunya.     

Kenzo masih diam di tempat tanpa menoleh ke arah sang ibu yang kini melangkah lalu berdiri di belakang Kenzo.     

"Nak, ibu minta maaf. Ibu tau, kau dan Alona sedang di masa penjajakan satu sama lain meski kalian sudah resmi menikah setelah beberapa tahun kalian menjalin hubungan pacaran sebelumnya."     

"Ibu tidak perlu ikut campur hal itu," balas Kenzo mulai bicara pada sang ibu.     

Meski jawaban itu sedikit kasar, namun ibu Kenzo begitu bahagia mendengarnya. Dia semakin yakin Kenzo mulai bisa memaafkan dan menerimanya kembali seperti dulu, sebagai ibu kandungnya tentunya.     

"Ken, dengarkan ibu, Nak. Dalam pernikahan, pasangan suami istri juga mendapatkan sebuah ujian layaknya di sekolah. Barang siapa yang mampu melewatinya, pernikahan akan semakin langgeng nantinya."     

Kenzo terdiam, dia sedikit gelisah dengan terus menggerakkan jari jemarinya. Dan tentu saja sang ibu bisa menilai bagaimana hati dan perasaan Kenzo saat ini.     

Sang ibu melangkah maju lalu berdiri di depan Kenzo, sontak saja Kenzo membuang muka setelah sang ibu ada di hadapannya.     

"Nak, apa kau pernah melihat ibu dan mendiang ayahmu menghadapi masalah dalam berumah tangga?" tanya sang ibu kemudian.     

Kenzo hanya diam saja.     

Ibu Kenzo menatap wajah puteranya itu dalam-dalam. "Kami pun pernah menghadapi masalah yang begitu rumit di awal pernikahan kita. Terlebih lagi kita menikah karena perjodohan," terang ibu Kenzo mengenang masa lalunya.     

"Apa karena itu ibu dengan mudahnya menikah lagi setelah ayah pergi untuk selamanya?" balas Kenzo seraya menatapnya tajam.     

"Kesabaran dan ketenangan ayahmu dalam menunggu, serta memahami ibu sebagai wanita lah yang membuat ibu mulai jatuh cinta pada mendiang ayahmu dulu. Dia selalu menghormati ibu, dia selalu memperhatikan ibu, bahkan dia selalu memuliakan ibu dan menjadikan ibu prioritas utama sebagai seorang istri."     

"Kalau begitu kenapa..."     

"Apakah kau pernah bertanya pada ibu, Nak? Bagaimana hati dan perasaan ibu setelah ayahmu pergi meninggalkan kita selamanya?" tanya sang ibu menyela.     

Kenzo tertegun, dia memang tidak pernah tahu atau mencoba bertanya bagaimana hati dan perasaan sang ibu ketika ayahnya meninggal kala itu. Dia hanya terlalu fokus pada kesedihannya sendiri tanpa memikirkan apa yang selama ini ditanggung oleh sang ibu.     

"Satu hal yang ibu percaya, Nak. Hati yang patah hanya akan sembuh saat bertemu dengan hati yang baru, sebagai pengobat dan penawar luka hati sebelumnya. Tapi, itu tidak berarti ibu melupakan cinta pertama ibu pada mendiang ayahmu. Dia akan tetap selalu ada dan hidup di hati ibu, Nak.     

Kenzo menatap wajah sang ibu lekat-lekat.     

"Ayahmu tentu selalu melihatmu dari atas sana, ibu yakin dia akan sangat bahagia melihatmu bisa mengikuti jejaknya yang dalam memikat hati wanita."     

Kenzo masih diam mendengar nasehat sang ibu yang kini mulai perlahan meluluhkan hati nya.     

"Ibu tau, saat ini Alona sedang marah padamu. Ibu juga tau, kau sedang kesal dengan sikap istrimu itu, yang mungkin belum pernah kau temui sebelumnya meski kalian sudah pernah berhubungan lama sebelumnya. Tapi, ketika sudah menikah sifat yang sebenarnya dalam diri kita akan semakin menonjol untuk kita menali dan tanggulangi."     

Kenzo semakin berpikir, bahwa apa yang sang ibu katakan saat ini sepertinya memang benar adanya. Dia melihat dan menyadari bahwa apa yang saat ini Alona lakukan padanya ialah sikap dan wujud Alona yang sebenarnya.     

"Aku hanya tidak suka dengan sikapnya yang kekanakan serta menuduhku dengan setiap wanita yang pernah aku temui dan aku dekati sebelumnya." Kenzo akhirnya mencurahkan isi hatinya, dia sudah kehilangan arah dan cara bagaimana menanggapi sikap Alona yang demikian.     

Ibu Kenzo tersenyum, hatinya pun terharu ingin menangis dan memeluk putranya itu setelah akhirnya, selama sekian tahun Kenzo mengabaikannya kini mulai mau mencurahkan masalah yang dia hadapi. Meski itu terlambat, di saat Kenzo sudah menikah, menjadi seorang suami.     

"Nak, kau hanya perlu meyakinkan lebih sabar dan tenang pada istrimu, ibu tau. Putra ibu yang satu ini, sejak dulu selalu di gandrungi banyak wanita. Tapi satu hal yang harus kau ubah saat ini, kau bukan lagi seorang laki-laki single yang bebas berteman dan berdekatan dengan banyak wanita."     

Dalam hati Kenzo terkesiap mendengar ucapan sang ibu. Ada perasaan yang berkecamuk di dalam jiwanya saat ini, ada juga rasa tidak rela jika dia harus menjauhi semua teman-teman wanitanya yang dia pikir itu bukanlah hal yang salah meski dia sudah menikah.     

"Apakah aku salah untuk tetap berteman dengan mereka? Sementara, di hati ini hanya ada nama Alona seorang. Aku hanya mencintainya saja, aku tidak berniat mengkhianati cintanya."     

"Apapun itu alasannya, Nak. Tidak akan ada seorang wanita yang rela melihat laki-laki nya dekat dengan wanita lain, meski itu hanya bertemu melalui pandangan mata saja."     

Kenzo semakin tersentak, dia mengingat semua yang terjadi sejak awal pernikahnnya. Dia mulai menyadari, bahwa sikap Alona yang demikian bukankah itu karena dia begitu takut akan tersisih dari posisinya di hatiku? Kenzo berpikir sejenak.     

"Sekarang, kau ajak istrimu pergi jalan-jalan sebentar. Atau... Kau bisa memberinya hadiah bunga, atau apapun yang di sukai oleh istrimu itu, mungkin dengan begitu akan membaik lagi nantinya. Karena seorang wanita akan mudah luluh dengan amarahnya saat laki-laki yang dicintainya benar-benar menjadikannya seperti seorang ratu."     

Kenzo kembali menatap wajah sang ibu, dia melihat betapa ibunya itu memang selalu bisa memberikan ketenangan di saat Kenzo membutuhkan sebuah pencerahan.     

Kedua mata Kenzo mulai membumbung air mata ketika sang ibu menatapnya dengan senyuman lembut. Senyuman itu tidak penah berubah sedikitpun di pandangan Kenzo sampai detik ini.     

Betapa dia ingin sekali mengucap kata sebagai ungkapan kata maaf dan terima kasih darinya untuk sang ibu saat ini. Namun, entah kenapa suaranya begitu berat untuk dia lontarkn pada sang ibu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.