A Song of the Angels' Souls

50. Kabut



50. Kabut

0Stefan berjalan lunglai sambil menenteng tas-tas kertas berisi bermacam pakaian, sementara Ione masih semangat melangkah. Bahkan bidadari itu sedikit bersenandung, meski juga membawa banyak tas.     

"Tenang saja, sudah selesai, kok." Ione terkekeh senang. "Kita mampir ke tempat yang ada tempat duduknya, ya."     

"Syukurlah," desah Stefan, yang merasakan lututnya seperti mau lepas. Sudah hitungan jam dia berjalan ke sana ke mari menemani bidadarinya memilih baju di berbagai toko. "Kita ke foodcourt aja. Katanya kamu mau nyobain macam-macam makanan, kan?"     

Setibanya di foodcourt dengan kurs-kursi kayu mengilat dan dinding kaca, Stefan menaruh tas-tas kertas yang dibawanya ke lantai, kemudian menghela napas begitu panjang. "Akhirnya bisa duduk juga."     

Ione terkekeh kembali. "Ya sudah, aku yang pesan minumannya. Kamu cola seperti biasanya, kan?"     

Stefan mengangguk pelan. "Makannya nanti aja nunggu Rava sama Kacia. Mereka chat, katanya masih di bioskop."     

Karena pengunjung tak begitu banyak, hanya sebentar saja Ione sudah kembali sambil membawa segelas besar milkshake blueberry dan satu botol minuman bersoda.     

"Kamu tidak penasaran kenapa aku beli baju sebanyak ini? Terus, kenapa aku ingin membelinya di mall dan tidak lewat online seperti biasa?" serbu Ione kepada Stefan yang kini berkutat pada ponselnya.     

"Kenapa emangnya?" Stefan mengerutkan kening. "Ada alasan khusus?"     

"Jadi, menurutmu biasa saja bidadari dari dunia lain sepertiku terobsesi dengan fashion? Yah, aku suka fashion, sih. Sepertinya kebanyakan wanita memang suka fashion, mau dari dunia lain juga .... Bahkan, di tempat kami ada semacam kota di bawah tanah, yang kalau kamu lihat pasti akan menganggapnya sebagai neraka. Di sana, perempuannya berpakaian cukup modis, loh .... Ah, aku malah jadi ngelantur tidak karuan begini." Ione berdehem pelan.     

Stefan menyedot minumannya. "Tapi, aku penasaran sama kota bawah tanah itu, sih. Kayaknya menarik."     

"Iya, itu akan kuceritakan lain kali." Ione kembali berdehem, lantas menunjuk tas-tas yang ada di lantai. "Intinya, sayang kan kalau baju-baju ini dipakai sebentar saja sampai aku kembali ke tempatku berasal."     

Awalnya Stefan cuma menelengkan kepala, tak mengerti. Namun, lama-kelamaan matanya membuka makin lebar. Kemudian, tiba-tiba saja dia bangkit sambil menggebrak meja. "Jadi, kamu mau tinggal di sini, bahkan setelah pemilihan ratu ini selesai!?"     

Menyadari dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di sana, Stefan buru-buru duduk kembali.     

"Untuk orang yang katanya pintar sekali dan bisa mengerti pelajaran sekolah dengan sangat cepat, kamu cukup lama juga menyadari arti kata-kataku." Ione ikut menyeruput minumannya.     

"Tapi, kenapa?"     

Ione sedikit menarik napas. "Aku sudah tidak punya apa-apa di duniaku, sedangkan di sini aku punya .... Aku punya .... Ah, kamu pasti sudah tahu jawabannya, kan?"     

"Punya apa? Atau maksudnya punya siapa? Aku nggak ngerti maksud kamu, deh. Bisa diperjelas?" Stefan berbicara dengan nada yang sedikit dilebih-lebihkan. Tersenyum sangat lebar, ia memerhatikan wajah Ione yang sedikit dihiasi rona merah.     

"Aku tidak mau mengatakannya," gerutu Ione, membuang pandangannya.     

"Akhirnya, setelah aku tanya berkali-kali, antara kamu tinggal di sini, atau aku pergi ke duniamu ...."     

"Sebaiknya kita bahas yang lain saja dulu. Itu bisa dibicarakan nanti," potong Ione cepat, menenggak minumannya sampai hampir tandas. "Menurut kamu, bagaimana kesempatan Rava dan Kacia nantinya? Yah, aku masih kasihan dengan Lyra, sih. Tapi .... Mau bagaimana lagi? Rava dan Kacia itu kelihatan cocok sekali. Aku suka melihat kelakuan mereka kalau lagi berdua."     

Ione terkekeh kembali. Namun, melihat ekspresi Stefan yang justru serius, Ione pun memajang ekspresi tanda tanya.     

"Apakah Kacia mau tinggal di dunia ini seperti kamu? Kacia sangat merindukan sayapnya, Yon," tukas Stefan.     

"Ah." Ione menarik napas panjang. "Dan seperti yang pernah kukatakan kepadamu, kita tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang duniaku kepada manusia tanpa sayap seperti kamu atau Rava. Aku sangat-sangat tidak menyarankan kalau dia ikut dengan Kacia."     

"Lagipula, Rava punya sesuatu di sini," desah Stefan, lantas menunjuk gerbang masuk foodcourt. "Ah, itu mereka."     

"Bagaimana filmnya?" tanya Ione saat Rava dan Kacia tiba di meja.     

"Aku tidak terlalu mengerti jalan ceritanya, tetapi semuanya terlihat luar biasa. Aku seperti melihat lukisan yang bergerak. Sangat indah pokoknya," terang Kacia dengan senyum cerianya.     

Rava menggaruk rambut. Sepertinya, tidak ada animasi di dunia para bidadari.     

Stefan bangkit dari kursinya. "Kita pesan langsung aja, yuk. Aku udah laper ...."     

Perhatian mereka serempak tertuju ke bagian tengah meja, tempat satu sosok makhluk berbulu putih berdiri.     

"Ah, kamu memang benar-benar makhluk laknat, Piv!" hardik Ione. "Kenapa harus di saat kita sedang bersenang-senang begini, sih!?"     

***     

Bahkan saat mereka tiba di tengah lapangan stadion kecil itu, Ione masih saja bersungut-sungut.     

"Habis ini kita jalan-jalan lagi juga boleh," ujar Stefan, merangkul erat bidadarinya itu.     

"Padahal ini hari pertama aku benar-benar sembuh," dengus Ione.     

Kacia mendekati dua orang itu. "Kenapa kita tidak diberitahu apakah akan melawan monster atau bidadari lain, ya?"     

"Iya, menurutku ini aneh." Stefan memandang ke kursi-kursi kosong di tribun, pintu masuk pemain, sampai ke tiang gawang. "Tapi, kalau menurutku sih lawan kita nanti bidadari. Soalnya kita dipanggil ke tempat sepi."     

"Lyra?" Rava mendapati bidadarinya itu melompat dari bagian teratas salah satu tribun, lantas mendarat di permukaan lapangan berumput hijau. "Kamu dipanggil sama Piv juga?"     

Tak langsung menjawab, Lyra malah menengok ke arah lain, menemukan Lois dan Marcel yang sedang berjalan mendekat.     

Lois tersenyum samar. "Aku yakin, kali ini aku akan bisa bertarung, Lyra."     

"Ya, asal kamu jangan ngompol lagi."     

"Bisakah kita tidak membahasnya lagi?" Meski senyumnya melebar, suara Lois terdengar penuh dengan penekanan.     

"Kamu tidak usah sembunyi. Tenang saja, selama aku ada di sini, aku akan memastikan kamu tidak akan dibunuh, kok," ujar Ione dengan nada tajam.     

Dari balik salah satu deretan kursi, Medora pun muncul. Ia lantas menuruni tangga dengan Gilang yang bersembunyi di balik punggungnya. Seperti biasa, bidadari berbusana tempur abu-abu memberikan senyum teduh.     

"Aku minta maaf atas apa yang sudah kulakukan," ujarnya, terdengar ramah.     

Ione memajang senyum sinis. "Sebentar lagi, kita mungkin harus bekerjasama melawan monster. Aku berharap kamu tidak akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak."     

"Aku lebih setuju kalau kita bantai dia saja, sih," serang Lois, tersenyum sinis. "Aku masih ingat rasanya dicakar dari belakang olehnya."     

Rava menengok ke bawah, bertanya-tanya mengapa ada semacam kabut tipis berwarna putih yang bergerak pelan di atas rumput. Seharusnya, kabut seperti itu tidak akan muncul sore-sore begini.     

"Lebih baik kalian tahan dulu perdebatan kalian."     

Kabut juga muncul dari gerbang masuk pemain, lebih tebal dan tinggi. Suara perempuan yang agak serak barusan datang dari gerbang tersebut.     

"Kenapa ini malah jadi seperti pertunjukan?" celetuk Ione, memperhatikan kabut itu. Mendapati bayangan satu sosok manusia di sana, ia pun berucap. "Ah, apa kabar? Apakah ...."     

Ione tercekat begitu sosok bidadari berbusana tempur putih itu keluar menembus kabut. Begitupun dengan bidadari lainnya. Mereka sama-sama membelalakkan mata. Seolah-olah, bidadari yang baru muncul tersebut, yang berkulit sangat putih bak pualam itu, tak seharusnya muncul di hadapan mereka.     

Bidadari berbusana putih itu menghentikan langkahnya, memandang sekilas setiap bidadari yang ada di sana. Karena wajahnya tertutup topeng polos yang juga berwarna putih, ekspresinya jadi tak terlihat.     

Rava celingukan menatap wajah para bidadari, kemudian memerhatikan sang bidadari bertopeng. Dari mulai rambut keabuannya yang dikepang satu, otot-ototnya yang cukup menonjol di lengan, busana tempurnya yang bertatahkan aksen keemasan, sampai topengnya yang hanya dihiasi pola mata berwarna hitam, penampilan bidadari itu begitu aneh bagi Rava, sama saja seperti bidadari yang lain. Rava jadi bertanya-tanya, sespesial itukah bidadari ini? Sampai mendapat perhatian lebih dari semua bidadari?     

Tak lama kemudian, seorang pria berperut buncit dan berambut tipis pun keluar dari kabut. "Wah, wah. Saya baru bertemu bidadari-bidadari yang lain. Kalian ternyata sangat cantik!"     

Melihat pria yang kemungkinan besar adalah seorang tuan itu, Rava merasa tak nyaman. Barangkali karena kacamata hitam, topi, dan masker wajah yang dipakai pria tersebut? Karena biasanya yang memakai semua itu adalah penjahat yang ingin menyembunyikan identitas?     

"Memangnya dia siapa?" bisik Stefan kepada Ione. Mata pemuda itu juga terpaku kepada sang bidadari bertopeng.     

"Dia itu pemimpin pasukan pembasmi naga," desis Ione. "Naga yang dianggap akan membawa kiamat di dunia kami."     

"Kabarnya, di puncak pertempuran, dia menghabisi naga itu dengan tangan kosong," imbuh Lois.     

Kacia menelan ludah. "Prajurit terkuat di dunia kami."     

"Sang pahlawan berkulit seputih pualam, memakai topeng untuk menyembunyikan emosinya saat bertarung." Senyum teduh Medora hilang tanpa bekas.     

"Varya," tukas Lyra.     

Semua bidadari berbicara dengan bibir bergetar. Bahkan tidak hanya bibir mereka saja, tubuh mereka pun turut bergetar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.