A Song of the Angels' Souls

48. Melihat



48. Melihat

0Duduk di salah satu kursi pasar kuliner, Kacia memerhatikan mangkuk berisi makanan berkuah merah di hadapannya. Dari baunya saja, dia sudah tahu kalau makanan itu bakalan terasa pedas. Namun, di saat yang sama, dia juga penasaran, di antara aroma pedas itu, dia bisa membaui sesuatu yang gurih nan menggugah selera. Belum lagi apa yang ada di kuah itu, dari mie, bulatan-bulatan kecil, sampai semacam lembaran-lembaran transparan berkilau.     

Ia benar-benar penasaran dengan makanan itu sejak pertama kali melihat dan mencium aromanya di pasar kuliner. Tak ada yang seperti itu di tempat asalnya. Mungkin karena menyadari hal tersebut, Rava jadi menawarinya untuk mencoba panganan bernama seblak itu.     

Masih fokus mengamati makanan yang mengepulkan uap itu tipis itu, Kacia sedikit dikagetkan oleh sebuah kotak karton kecil yang muncul di depan mukanya.     

Begitu menengok ke samping, dia melihat seorang ibu paruh baya berkacamata yang sedang tersenyum lebar. Kacia tentu saja mengenal ibu itu. Dia adalah seseorang yang sangat bersemangat untuk menjodohkan anaknya dengan Kacia.     

"S-saya sudah punya handphone kok, Bu," ujar Kacia canggung, sedikit bergeser dari kotak ponsel yang disodorkan wanita itu.     

Masih tersenyum, wanita itu memajang wajah penuh tanya. "Kalau gitu, kenapa nggak menghubungi anak saya ...."     

Ucapan itu terpotong oleh kedatangan Rava, yang langsung duduk di sebelah Kacia sambil membawa dua gelas plastik berisi susu. Rava pun cuma mengangguk kaku kepada wanita itu.     

"Anak saya mapan sekali, loh. Sudah bisa beli rumah sama mobil," ujar si wanita, sama sekali tak memedulikan Rava.     

Kacia tertawa grogi. "Maaf, Bu. Tapi, saya belum ada kepikiran untuk menikah."     

"Kalau begitu, kasih saya nomor kamu. Nanti saya kirim foto anak saya."     

"Maaf." Kacia berdiri dan membungkuk dalam-dalam. "Saya sudah punya kekasih dan saya sudah berkomitmen kepadanya."     

"Cih!" Serta-merta ekspresi wanita itu berubah menjadi sinis. Ia pun beranjak dari sana dengan bersungut-sungut. "Lihat saja, kalau sudah lihat harta anak saya, kamu pasti bakal memohon-mohon!"     

Sebagian orang yang ada di sana menoleh kepada si wanita, yang terus saja uring-uringan.     

Mulut Rava tertutup rapat. Degup jantungnya melonjak naik tak terkendali. Ucapan Kacia barusan seolah memaksa otaknya untuk berhenti bekerja.     

"Errrr .... Aku sebenarnya nggak punya kekasih sih, Rav," desis Kacia, duduk kembali dengan wajah mulai merona merah.     

"Aaaaah ...." Rava buru-buru menutupi mulutnya dengan tangan. Dia heran, kenapa desah kelegaan itu bisa bocor keluar dari mulutnya?     

Kacia sedikit terkekeh. Rava menggaruk rambutnya dan ikut tertawa kecil. Sampai akhirnya, keduanya pun terbahak.     

Tiba-tiba saja, Janu muncul dan mencengkram pundak Rava erat-erat. "Cepetan, Bro. Nanti lo nyesel, loh."     

Rava cuma memandang Janu dengan mata mengerjap-ngerjap. Jelas sekali dirinya tak mengerti maksud ucapan pemuda itu. Janu pun melangkah pergi sambil melambaikan tangan. Seolah-olah, dia datang hanya untuk mengatakan hal itu.     

Agak jauh dari sana, Lyra duduk sendirian, menikmati sepiring mie goreng Aceh. Matanya begitu tajam mengamati perilaku Kacia dan Rava. Seperti biasa, dagangan mereka habis sangat cepat. Seharusnya mereka pulang, tetapi Rava mengajaknya untuk mencoba makanan bernama seblak itu. Namun, Lyra menolaknya. Ia sendiri tidak mengerti. Mengapa kalau dirinya melihat Rava dan Kacia duduk berdua, keinginan memisahkan mereka begitu kuat muncul di hatinya? Dari jauh saja sudah begitu, apalagi kalau di dekat mereka?     

Bukan karena seblaknya. Lyra sangat sebal berada di dekat dua orang itu.     

Kacia tampak sedang mengipas-ngipas lidahnya dengan tangan, jelas sekali kepedasan. Rava pun memberinya satu gelas susu. Kacia langsung menenggaknya sampai tandas, seperti orang meminum miras. Masih kepedasan, ia pun meraih gelas kedua. Rava pun terbahak melihat perilaku gadis mungil itu.     

Tanpa sadar, Lyra berdecak melihat adegan tersebut.     

"Mbak sendirian aja, nih?" seorang pria ramping dan tinggi dengan potongan rambut undercut rapi pun mendatangi meja Lyra.     

Seketika saja, Lyra memberikan lirikan super tajam nan galak kepada pria itu, yang langsung meringis grogi dan pergi dari sana. Membisu sejenak, Lyra pun menghela napas panjang. Bisa-bisanya seorang pria biasa seperti Rava membuat hatinya tak karuan?     

Dan begitu menemukan seorang wanita berambut pirang muncul di kejauhan, Lyra menusuk-nusuk mienya dengan garpu. Buat apa sih Lois datang ke sini? Untuk memperburuk suasana hatinya?     

Setelah menyapa Kacia dan Rava, Lois mendatangi meja Lyra. Lyra mengalihkan pandangannya dari saudari angkatnya itu dan malah fokus menikmati makanannya.     

"Hei, aku sudah mandi, jadi tidak bau pesing lagi," ujar Lois, sedikit merentangkan kedua tangannya. "Kenapa kamu terkesan masih tidak suka dengan keberadaanku? Aku datang ke sini untuk melihat keadaan kamu, loh. Sekalian mencicipi jualan kamu."     

"Sudah habis semua."     

"Sayang sekali." Lois pun duduk di samping sang saudari, sedikit menghela napas. "Tapi, aku benar-benar berterimakasih atas apa yang kemarin kamu lakukan. Walau yah .... Menurutku itu agak berlebihan."     

Lyra menghentikan kegiatan makannya, lantas sedikit meneguk air mineral. Ia sudah membuka mulut untuk berbicara, tetapi mengurungkan niatnya dan kembali makan.     

Lois sedikit nyengir melihat kelakuan saudarinya itu. "Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Ione?"     

"Dia belum bisa turun dari tempat tidur. Stefan selalu bersamanya."     

"Ah, senang sekali mempunyai tuan yang benar-benar perhatian. Hari ini, tuanku pergi lagi. Dia hobi sekali meninggalkanku" Lois memangku wajahnya dengan tangan, mengamati kelakuan Rava dan Kacia. Rava makan seblak dengan santai dan Kacia memelototinya tak percaya. Kemudian, Rava pun sedikit membusungkan dadanya, tampak bangga dirinya tidak terpengaruh oleh pedasnya seblak itu.     

"Apa mereka tidak sadar akan apa yang terjadi nantinya?" desis Lois.     

Ikut memandang dua orang itu, Lyra mengelap mulutnya. Makanannya baru saja tandas. "Entah mereka sadar tapi berusaha tidak peduli, atau mereka memang benar-benar bodoh."     

***     

Satu sosok Piv berdiri di sebuah meja yang tinggi. Di ruangan yang gelap itu, matanya memancarkan cahaya terang. Itu bukan sembarang cahaya, tetapi cahaya yang memproyeksikan pertarungan antara Lyra dan Lois ke sebuah dinding. Ya, mirip sekali dengan proyektor yang ada di dunia manusia.     

"Ini adalah pertarungan terbaru dari para bidadari," celetuk satu sosok Piv lain, duduk di pegangan sebuah sofa. "Sayangnya, mereka tidak serius bertarung, jadi mungkin tidak ada data yang bisa diambil."     

"Aku mengapresiasi rekaman yang kalian berikan. Apa pun bentuknya. Kita tidak tahu apa yang akan didapatkan dari rekaman itu nantinya," jawab seorang wanita dengan rambut putih keabu-abuan yang dikepang besar. Duduk di sofa dengan memakai gaun putih sederhana tanpa lengan, ia menonton Lyra dan Lois yang sedang jual beli pukulan. Mata indahnya yang juga berwarna abu-abu tampak begitu serius. "Ah, aku jadi merasa sedikit bersalah. Akulah satu-satunya bidadari yang bisa mendapatkan kesempatan untuk mengamati lawan seperti ini."     

"Bukannya kamu bilang sendiri, kamu sangat berterimakasih karena diberi kesempatan seperti ini?"     

"Iya, yang barusan itu cuma pemikiranku saja. Pada akhirnya, ini perintah dari atas, sebagai prajurit aku akan melaksanakannya apa pun yang terjadi," ujar wanita itu, berdiri dari sofa saat akhirnya Lois berhasil menghunuskan pedang. Ia lalu berpindah ke sudut ruangan untuk menyalakan lampu. "Kasihan sekali para bidadari itu, mereka tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Mereka tidak tahu bahwa aku ada di sini."     

Cahaya terang pun menyirami perabot-perabot mewah bertatahkan emas di kamar itu. Namun, seindah apa pun perabot-perabot tersebut, semuanya terkalahkan oleh sosok si wanita, yang kulitnya begitu putih. Saking putih dan pucatnya kulit wanita itu, dia jadi lebih terlihat seperti patung berbahan pualam. Wajahnya seperti diukir oleh seniman terbaik di alam semesta. Kecantikannya itu bahkan mengalahkan kecantikan-kecantikan para bidadari yang turun ke bumi.     

"Ah, aku punya pesan dari pihak atas, Varya," tutur Piv, turun dari pegangan sofa. "Salah satu dari mereka bilang, dengan wajah secantik itu, akan lebih baik kalau tubuhmu lebih feminim lagi."     

"Kecantikan itu tidak ada artinya dalam sebuah pertarungan." Wanita bernama Varya itu terkekeh sinis, memandangi lengannya yang terbuka. Lengan yang walaupun tidak terlalu besar, tetapi menunjukkan tonjolan otot yang cukup kentara. "Bilang kepada mereka, aku sudah cukup berlatih untuk membuka kemampuanku. Data yang kuserap juga sudah banyak. Aku sudah sangat siap untuk menghadapi bidadari-bidadari itu."     

"Iya, mereka juga sudah memerintahkan dirimu untuk turun."     

Senyum angkuh pun terbentuk di bibir Varya. "Percayalah, aku tidak akan mengecewakan para anggota terhormat itu."     

"Aku harap begitu. Kamu ingat, kan? Dari awal, mereka ingin kamu memenangi pemilihan ratu ini. Kamulah yang menurut mereka paling pantas untuk menjadi ratu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.