A Song of the Angels' Souls

45. Keputusan



45. Keputusan

0"Menurutku, kita harus tetap melawan Zita. Mumpung kita masih punya tiga bidadari yang bisa bertarung," ujar Lyra, berkumpul bersama yang lain di kamar Ione. "Ini adalah kesempatan besar. Kita belum tentu bisa bertemu dengannya dalam kondisi yang lebih baik. Biasanya, dia datang di saat yang tidak tepat."     

Marcel yang bersandar di tembok pun menoleh kepada bidadarinya. "Yah, itu tergantung dengan Lois. Apakah dia sudah sembuh sepenuhnya?"     

"Tenang saja." Lois menggerak-gerakkan sebelah lengannya sambil tersenyum. "Aku sudah sangat siap, kok."     

"Benarkah?" Meski ekspresi Lyra tak berubah, tetapi nada bicaranya terdengar sedikit sinis. "Nanti kamu malah menghalangi kami."     

"Kenapa kamu masih tidak ramah denganku, wahai saudariku?" Lois memajang senyum penuh arti. "Mau tidak mau, kamu membutuhkan aku. Kamu dalam kondisi tidak bisa membunuh, kan?" Lois lantas menoleh kepada Kacia sambil melebarkan senyumnya. Raut wajah Kacia jelas sedang menggambarkan kecemasan. "Aku tidak bermaksud merendahkan kamu, Kacia. Tapi, kamu tidak ingin membunuh, kan? Kamu tidak sampai hati melakukannya, kan?"     

Serta-merta, semua mata yang ada di sana tertuju kepada Kacia.     

"M-Maaf," lirih Kacia, langsung menunduk.     

"Kenapa meminta maaf?" tanya Ione yang tentu saja masih berada di kasur. "Dengan tidak mau membunuh, artinya kamu itu orang baik. Yah, bukan berarti aku memuji diri sendiri karena sama-sama tidak mau membunuh .... Ehm .... Jadi, intinya begitu."     

Kacia menoleh kepada Rava, yang langsung mengangguk mantap. Bibir Kacia pun merentangkan senyuman samar yang kaku.     

Mendapati Lyra melirik dua orang itu, Lois mengangkat kedua alisnya.     

"Tenang saja, seperti yang kubilang tadi, aku yang akan melakukan eksekusinya, kalian tinggal membantuku melawannya saja," tukas bidadari berambut pirang itu akhirnya.     

Tiba-tiba, Lyra mendekati sang saudari angkat. Mereka pun berhadapan dengan jarak wajah tinggal beberapa senti saja. Lyra menajamkan pandangannya, sementara Lois kembali memajang senyum penuh arti.     

Kacia dan Rava sama-sama meringis saat melihat adegan tidak mengenakkan itu.     

"Kalau kamu menghalangiku .... Atau kamu melakukan sesuatu yang lucu seperti berkhianat lagi, jangan harap aku akan memaafkanmu. Aku mungkin tidak akan bisa membunuhmu, tapi memotong salah satu tangan atau kakimu itu sangat mudah bagiku," serang Lyra dengan nada dingin dan penuh penekanan.     

Stefan buru-buru bangkit dari duduknya. "Wow, wow, wow .... Sudah cukup. Sekarang, kalian ini satu tim, jangan sampai ada pertengkaran yang tidak berarti."     

"Lima menit lagi kita berangkat," ucap Lyra angkuh, beranjak dari tempat itu dengan langkah cepat.     

Senyum Lois semakin melebar. "Rava, aku ingin bicara denganmu sebentar."     

Sedikit melotot, Rava menunjuk dirinya sendiri, kemudian menoleh kepada Kacia, yang cuma bisa melongo.     

***     

Belum juga mengatakan satu patah kata pun sedari tadi, Rava terus membuntuti Lois yang berjalan di taman luas rumah Stefan.     

Lois melangkah dengan memperhatikan jalanan kecil yang terbuat dari bebatuan pipih. "Asal kamu tahu saja, aku sudah mengenal Lyra sejak lama. Ya, dia memang dingin. Ekspresinya juga cuma begitu-begitu saja. Tapi, sejak pertamakali bertemu dengannya di Bumi, aku merasakan sesuatu yang lain darinya .... Barangkali karena dia tidak bisa lagi mencapai tujuannya .... Ah, aku tidak sedang menghujatmu atau bagaimana ...."     

Begitu Lois menghadapnya, Rava mengangguk kaku.     

"Pokoknya, akhir-akhir ini, dia jadi semakin berbeda saja di mataku. Buktinya, dia sampai marah-marah tidak jelas seperti tadi. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya." Lois melanjutkan langkahnya. "Apa ini gara-gara kamu? Apa kamu melakukan sesuatu padanya? Selain karena kamu membuat dirinya tidak membunuh lagi tentunya."     

Rava melongo untuk beberapa saat, belum bisa mengerti arah pembicaraan sang bidadari. "Yah, ada sih .... Barangkali, apa yang kulakuin .... Aah, itu rada sulit dijelaskan."     

"Begitu, ya?" Lois membungkuk untuk memerhatikan sekelompok bunga putih di taman itu. "Kamu tidak menyakitinya, kan?"     

Mulut Rava langsung gelagapan. "Errrr .... Itu ...."     

"Aku dan Lyra itu bisa dikatakan rival." Raut muka Lois mulai berubah lebih serius. "Dulu, waktu aku tidak mau membantu kalian dan malah melawan Ione, aku ingin memancingnya bertarung denganku. Aku ingin memperlihatkan kemampuanku setelah sekian lama .... Ah, kenapa aku membicarakan ini denganmu?"     

Lagi-lagi tersenyum, Lois pun bangkit dan kembali menghadap Rava. "Meski begitu, aku dan dia itu masih punya ikatan saudara, Rava. Sejak kecil, kami menghabiskan waktu bersama. Bisa dibilang, ikatan kami begitu erat, walau sudah lama tidak bertemu .... Paling tidak itu yang kurasakan, sih."     

Rava tak bisa merespon. Akhirnya, dia bisa mengerti tujuan pembicaraan ini.     

"Ingat baik-baik." Lois mendekati Rava dengan langkah tegas. "Kalau kamu sampai membuat hatinya benar-benar hancur, aku tidak akan tinggal diam."     

Isi perut Rava seakan bergejolak.     

Lois menepuk pundak Rava, kemudian mulai bertolak dari tempat itu. "Bidadarimu yang satunya sepertinya sangat perhatian kepadamu, sampai mengintai begitu."     

Serta-merta, Rava mengedarkan pandangan, tapi tak bisa menemukan siapa pun lagi. Bidadari yang satunya? Kacia? Buat apa dia ada di sini?     

***     

Rava dan Marcel berdiri bersama para bidadari di sebuah tanah kosong dengan rumput-rumput liar yang tinggi. Sejauh mata memandang, Rava melihat bus-bus mangkrak yang ditata tak rapi. Sebagian onderdil dari bus itu, mulai dari roda sampai lampu-lampunya sudah diambil. Kenapa bus-bus itu bisa sampai di sini, Rava tak tahu alasannya.     

"Jadi, sudah berapa lama kamu mengenal adikku, Rav?" tanya Marcel tanpa melihat Rava samasekali, malah memperhatikan para bidadari yang sudah mulai bergerak memeriksa keadaan.     

Ditanya tiba-tiba seperti itu, Rava butuh waktu untuk menjawab, "Errr .... Belum lama sih, Mas."     

Kemudian, suasana hening menyelimuti keduanya. Rava tak begitu mengenal Marcel, jadi membuka pembicaraan terasa begitu aneh baginya, tetapi sepi ini juga membuatnya begitu kikuk. Ia jadi ingin segera kabur saja dari tempat itu.     

"Waktu kamu pertama kali bertemu dengan Stefan, apa dia sudah nggak mau membunuh begitu. Atau kamu yang mempengaruhinya?" tanya Marcel lagi, masih berbicara dengan gestur seperti tak memedulikan Rava.     

Rava meringis kaku. Pertanyaan itu membuatnya merasa sangat tidak nyaman. "Errr .... Mas Stefan yang ngajak saya gabung sama dia sih, Mas."     

Marcel sedikit menghela napas. "Maaf kalau bilang begini, barangkali terkesan terlalu mengurusi kehidupan kamu. Tapi, kelakuan kamu yang kaku begitu nggak akan membawa kamu ke mana-mana, Rav."     

Dari gerak-gerik Marcel, Rava bisa membuat sebuah dugaan: Marcel berkata seperti itu lebih karena tidak nyaman berada di dekat Rava, daripada bersimpati dengan keadaannya. Itu membuat dada Rava seperti dihantam keras-keras. Ia tentu ingin membantah, tetapi otaknya tak sanggup merangkai kata yang tepat.     

Kalaupun berhasil membuat penyangkalan pun, Rava tak yakin berani mengutarakannya.     

Pada akhirnya, perkataan Marcel itu benar. Rava merasa kesulitan menjadi bagian masyarakat dengan sifatnya yang begitu. Rava mengerti sekali, tetapi dia sendiri tak ingin berada dalam kondisi seperti ini.     

"Ahahahahaha!!!"     

Semua mata yang ada di situ langsung tertuju ke atap salah satu bus. Dengan latar belakang matahari sore, seorang bidadari berbusana serba kuning tampak berdiri di sana, merentangkan tangannya lebar-lebar sambil tertawa bak orang sinting.     

"Waktunya bermaiiiin!!! Ahahahahahaha!!!" Mata Zita membelalak begitu lebar sampai terlihat seperti akan meloncat dari tempatnya. "Ahahahahahaha!!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.