A Song of the Angels' Souls

136. Di Pemberhentian Kereta 3



136. Di Pemberhentian Kereta 3

0Ione melentingkan tubuhnya di udara, menghindari panah itu. Namun, panah itu tak menimbulkan efek apa pun. Kacia melepaskan panah kedua. Ione memantulkan tubuhnya di tembok, kembali mengelak. Panah itu masih belum memberikan efek apa-apa. Bahkan panah ketiga pun, Kacia belum mengaktifkan kemampuannya.     

Baru di panah keempat, ketika posisi Ione sedang tak bisa menghindar, Kacia menggunakan kemampuannya. Panah itu menjadi rangkaian pita yang memerangkap Ione, membuatnya jatuh berdebam di lantai keramik.     

"Aku tidak akan melakukan apa pun lagi kepadamu, Ione," desah Kacia dengan ekspresi sendu yang makin kentara, berjalan mendatangi mantan rekannya itu. "Seperti yang sering kamu lakukan kepada para bidadari, aku akan berbicara kepadamu sampai dirimu tersadar."     

"Dan berapa kali aku berhasil melakukannya?" Ione tertawa getir. Dia samasekali tidak berontak dari jeratan pita yang jelas sangat tak nyaman itu.     

Kacia berhenti begitu dekat dengan Ione, lantas memejamkan matanya sejenak. Ketika membuka mata, ia memberikan senyum hangat. "Tapi, aku yakin, suara kamu akhirnya sampai kepada para bidadari yang bergabung denganmu. Tekadmu itu .... "     

Cambuk cahaya tiba-tiba muncul dari ujung seruling Ione, langsung bergerak dan menjerat leher Kacia. Bidadari bertubuh mungil itu tampak begitu kesakitan, memegangi jeratan di lehernya tersebut. Ia mulai kehilangan napas. Meski begitu, ia mati-matian mempertahankan dirinya untuk tetap berdiri. Dia tidak tahu apa yang akan Ione lakukan kalau tubuhnya tumbang.     

Rava yang melihat hal itu pun mulai panik, berpikir keras mengenai apa yang harus dilakukannya. Mendapat isyarat kedua, Rava membelalakan matanya, tak yakin akan rencana Kacia. Namun, dia tak punya pilihan lain.     

Begitu Rava memencet salah satu tanda lagi, Kacia memunculkan satu anak panah di tangannya. Anak panah itu pun ia lepaskan begitu saja ke tubuh Ione.     

Duar!     

Panah itu pun meledak keras, membuat tubuh Kacia terlempar jauh, sebelum akhirnya mendarat dengan berguling-guling di lantai stasiun.     

Ione berusaha bangkit sambil meringis kesakitan. Ia menutup kedua telinganya yang berdenging. Jeratan pita di tubuhnya telah terlepas. "Aku tahu, salah satu cara untuk melepaskan jeratan pitamu adalah dengan panah peledakmu sendiri. Aku tahu .... Orang-orang seperti kalian itu sudah ada radarku sedari dulu."     

Kacia juga harus bangkit dengan susah-payah. Ledakan tadi benar-benar memberikan efek yang luar biasa.     

"Katakan Kacia ...." Ione kembali tertawa getir. "Kenapa kamu terlihat begitu serius melawanku, padahal kamu tidak ingin membunuhku?"     

Mengatur napasnya, Kacia menarik busur panahnya lagi. "Aku sudah pernah melakukan kesalahan fatal karena tidak konsentrasi dalam bertarung. Selain itu, aku melakukan ini karena mencontoh temanku. Mungkin dengan bertarung, pesanku akan tersampaikan."     

Ione tersenyum pahit, langsung menerjang ke depan untuk menyerang Kacia. Kacia melepaskan anak panahnya lagi. Ione berhasil menghindar dan mencambuk tubuh Kacia.     

Kena. Kacia tak sempat menghindar, harus pasrah cambukan itu mengenai lengannya.     

Belum selesai, Ione memberikan pentungan dengan serulingnya. Rangkaian serangannya pun terus berlanjut. Kombinasi serangan jarak pendek dengan pentungan seruling, dipadu dengan cambukan-cambukan yang dilakukan kalau dirinya mundur untuk menjaga jarak, semua itu berhasil mengenai tubuh Kacia.     

Rava cuma bisa meringis panik dalam ketidak-beradayaan. Kacia sekarang begitu kewalahan menghadapi serangan mantan rekannya itu. Jangankan membalas, menghindari serangan Ione saja tidak sanggup.     

Ctasss!     

Akhirnya, satu cambukan Ione berhasil melukai pundak Kacia. Kacia pun langsung menjaga jarak sambil memegangi pundaknya yang berdarah.     

Ya, energi pelindung di tubuhnya telah tuntas.     

"Kamu sadar tidak, kenapa tadi kemampuan kita seimbang, tetapi sekarang tidak?" gumam Ione, mengusapi serulingnya. "Yah, aku ingin kedua kemampuanmu itu keluar. Kedua kemampuanmu itu merepotkan, bisa mengalahkanku kalau kamu menggunakannya dengan tepat, Kacia."     

"Aku merasa terhormat mendengar hal itu dari mulutmu," timpal Kacia, lagi-lagi membidik Ione.     

Mulut Ione kembali merentangkan senyum pahit. Perlahan, air matanya pun mulai menetes. "Asal kalian tahu saja, aku ini mencintai kalian, Kacia."     

Kacia menurunkan busurnya. Matanya juga mulai berkaca-kaca. "Kalau begitu, kembalilah bersama kami, Ione!"     

Ione menggeleng-gelengkan kepala. Air matanya makin deras mengalir. "Maaf, tapi aku lebih mencintai Stefan. Dialah yang mengisi kehampaan di hatiku."     

Bukannya menerjang kepada Kacia kembali, Ione malah melompat ke arah lain.     

"Eh?" Rava tak bisa berbuat apa-apa ketika Ione tiba-tiba mendarat di belakangnya.     

"Ravaaa!" pekik Kacia, berlari ke arah tuannya itu.     

Bug! Rava langsung rubuh tak sadarkan diri begitu tengkuknya dipukul Ione.     

"Tenang, aku tidak akan mencelakainya, kok. Dia tidak ada urusan dengan ini," ucap Ione, membuat Kacia berhenti. "Aku cuma tidak mau dirinya melihat ini. Sesuatu yang hanya bisa kulakukan kalau energi pelindungmu sudah habis."     

Ione berlari, mulai meniup serulingnya. Kacia pun melesatkan panahnya untuk kesekian kali, membidik ke arah seruling Ione. Alih-alih menghindar, Ione malah sedikit membelakangi Kacia, membiarkan panah itu mengenai bahunya.     

Kacia membelalakkan matanya saat mendapati kalau tubuhnya mulai melayang. Kedua tangan dan kakinya seperti ditarik ke arah yang berlawanan, membuatnya tak bisa melakukan apa pun Kemudian, secara perlahan, seluruh tubuhnya mulai memancarkan cahaya merah jambu yang temaram.     

"Akhh ...." Kacia mulai meringis kesakitan. Ribuan pisau seolah mulai merajami seluruh tubuhnya. Sendi-sendi di kedua tangan dan kakinya terus mengencang dan terasa seperti hampir putus.     

Ione berjalan mendekati Kacia yang makin tersiksa, terus melantunkan nada dengan serulingnya. Air matanya terus meleleh membasahi pipi.     

***     

Rava membuka matanya secara perlahan, langsung melihat pemandangan kereta yang melaju. Ia tak tahu kapan dirinya duduk di kursi panjang itu. Yang diingatnya terakhir kali adalah mendapati Ione ada di belakangnya.     

Orang-orang juga sudah berlalu-lalang, tidak membeku lagi. Artinya, pertarungan sudah selesai.     

Mata pemuda itu pun membelalak. Ia bangkit dari kursi dan menoleh ke kanan dan ke kiri. "Kacia?"     

Tak ada jawaban, bidadarinya itu tak kelihatan di mana pun. Rava pun sedikit maju. Degup jantungnya mulai meliar. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Ia kembali memeriksa keadaan.     

"Kacia! Kamu di mana!? Kaciaaa!!!" Rava pun berteriak-teriak, mengundang perhatian orang di sekitarnya. "Kaciaaaa!!!"     

Rava meremas rambutnya, semakin panik. Matanya mulai panas dan mengabur. Tidak mungkin. Kacia tetap harus ada di sisinya. Bukankah dirinya dan bidadari itu akan menikmati waktu yang tersisa? Kacia tidak boleh pergi meninggalkannya.     

"Kaciaaa!!!"     

Pandangan pemuda itu tanpa sengaja tertuju ke lengannya sendiri. Tiga tanda berwarna merah jambu yang biasanya bertengger di sana, sekarang hilang tanpa bekas.     

***     

Di kamarnya, Lyra berdiri diam, memandangi layar ponselnya. Tubuhnya bergetar sangat hebat. Lois yang menyadari kondisi saudari angkatnya itu pun mengangkat sebelah alis.     

"Ada apa, Lyra?" tanya Lois, ikut melongok ke layar ponsel saudari angkatnya. "Kenapa kamu ...."     

Lois tercekat hebat saat melihat apa yang terpampang di layar ponsel Lyra. Tubuh Lois ikut bergetar seperti sang saudari angkat.     

"Ione mengirimkan ini ke kamu?" tanya Lois lirih.     

Lyra mengangguk pelan. "Katanya, ini sebagai bukti. Supaya kita tahu .... Aah, dia juga meminta maaf."     

"Akhirnya, dia melakukannya juga," desis Lois, berjalan mundur, berbalik dan meremas rambutnya dengan sebelah tangan. "Ione sudah terjerumus."     

"Huh, padahal dia sendiri yang meminta kita jangan saling membunuh," ucap Lyra, bukan dengan nada menggerutu, tetapi lebih terdengar seperti orang yang hampir menangis.     

"Apakah kamu akan menunjukkannya kepada, Rava?" tanya Lois lagi, menelan ludah.     

"Tidak."     

"Lois, Lyra?" Etria melongok ke kamar itu. "Kalian dipanggil ibu Rava .... Eh, kenapa kalian kelihatan sedih begitu?"     

Lyra dan Lois memandang Etria dengan wajah sendu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.