A Song of the Angels' Souls

Para Tuan



Para Tuan

0Setelah menguap begitu lebar, Janu menenggak minuman energi botolan yang baru dibelinya sampai habis. Kemudian, ia mendatangi seorang pemotor yang akan keluar dari halaman minimarket yang menjadi pos kerjanya.     

Ada beberapa pengunjung yang datang pagi itu. Janu sibuk menarik uang parkir dari para pengunjung yang pergi, mengarahkan mobil yang akan keluar, dan menata motor-motor yang diparkir. Hal itu dilakukan selama beberapa menit, sebelum akhirnya dia mendatangi deretan kursi dan meja di pelataran minimarket.     

"Selamat pagi, Janu," sapa Alsie yang sudah duduk di sana terlebih dulu. Bebatan-bebatan luka di tubuhnya tertutupi baju panjang yang dikenakannya.     

Janu langsung mendengus. "Kenapa kamu harus ke sini, sih?"     

"Salah satu pekerjaanmu sebagai tuan adalah berada di sisiku kalau aku terluka. Aliran energi kehidupan dari kamu akan mempercepat kesembuhanku. Harus berapa kali aku menjelaskan ini?" balas Alsie ketus. "Salah kamu sendiri. Malah pergi main di tengah malam waktu aku tidur. Penyembuhanku jadi tidak berjalan maksimal, kan. Padahal, paginya kamu jelas-jelas bekerja."     

"Susah sih nolak mereka. Kalau mereka menjauh, aku nggak ada teman lagi," jawab Janu dengan nada tak bergairah, lantas duduk di sebelah bidadarinya. "Yang penting kan aku nggak minum-minum."     

Alsie mengamati wajah Janu. Mata bidadari itu menyipit curiga. "Benarkah?"     

Janu berdecak, membenarkan topinya. "Aku cuma minum sedikit, kok."     

"Sudah berapa kali kubilang, kan? Kamu harus selalu dalam kondisi tajam karena kita tidak tahu kapan akan bertarung. Kalau dalam pengaruh minuman keras, atau kurang tidur seperti ini, aku juga yang repot. Kamu serius tidak sih menggapai keinginanmu?" gerutu Alsie.     

Janu memilih untuk tak menanggapi dan fokus kepada kantor notaris di seberang minimarket. Ketika sebuah sepeda motor matic berhenti di depan kantor itu, ia menahan napas. Degup jantungnya mulai merangkak naik.     

Seorang perempuan muda berpakaian profesional turun dari motor itu, melepaskan helmnya dan mengibaskan rambut hitam panjangnya.     

Sedari dulu, Janu tak pernah bosan memandang wajah rupawan wanita itu.     

"Sebenarnya, aku tidak mau bertanya terlalu jauh, tapi lama-lama aku jadi penasaran juga. Kenapa kamu tidak mencari perempuan lain saja, sih? Kenapa harus dia? Siapa namanya? Tina?" tanya Alsie malas.     

"Kamu nggak akan mengerti." Sebal karena omongan bidadarinya itu, Janu mengirim pesan kepada salah seorang teman kalau 'mbak drakor' ada di tempatnya bekerja. Alsie memang lebih mirip artis drama korea, daripada petarung bersenjata. Maka dari itu, salah satu teman Janu naksir padanya. Alsie sangat sebal kalau didekati teman Janu tersebut.     

"Kalau memang suka, kenapa kamu tidak mendekatinya saja? Katanya dulu kamu satu SMA dengannya, kan? Bahan obrolan sudah ada. Tunggu apa lagi? Ah, tapi nanti kamu tidak punya motivasi memenangkan pertarungan."     

"Hari ini kamu cerewet banget, ya?" dengus Janu, kali ini membuka media sosial wanita bernama Tina itu. "Kami ini dulu nggak dekat. Dia udah lupa sama aku. Buktinya, waktu ke sini, dia diam aja. Lagipula, cewek secantik dia mana mau sama aku? Dia itu daridulu idola sekolah. Pendidikannya juga tinggi. Sementara aku? Aku cuma begini-begini aja."     

"Huh, padahal penampilan kamu sangar, tapi malah .... Apa bahasa gaulnya? Cemen?" Nada bicara Alsie makin meremehkan. "Terus, satunya lagi .... Ah, bucin. Penampilan sangar, tapi cemen dan bucin. Dulu kamu suka dia sejak kelas satu SMA, kan? Sekarang kamu 25 tahun. Aku nggak tahu sistem pendidikan di sini, tapi dari yang kubaca, kelas satu SMA itu umur kamu 16 tahun, berarti sekarang sudah sembilan tahun. Masa tidak ada kemajuan sama sekali."     

Janu sedikit menggertakan giginya. Kalau Alsie lelaki dan manusia biasa, Janu pasti sudah menghajarnya habis-habisan. Ia merasa bukan salahnya kalau tak bisa memendam bayangan Tina di benaknya.     

Alsie kembali mengamati wajah tuannya itu. "Sekarang kita beralih ke topik yang lebih penting. Keinginanmu itu mungkin penting bagimu, tapi tidak bagiku."     

Siapa juga yang memulai obrolan tentang Tina? Janu mengumpat dalam hati.     

"Camkan baik-baik. Jangan sekali-kali kamu melakukan apa yang dilakukan lawan kita kemarin. Jangan pernah mau menerima tawaran Piv untuk mengabulkan permintaan kecil," lanjut Alsie dengan nada penuh penekanan. "Kamu tidak mau kehilangan hal berharga milikmu, kan?"     

Janu mengelus dagunya, berpikir sejenak. "Tapi, kenapa lawan kita ngelakuin itu, ya?"     

"Aku tidak tahu." Alsie mengangkat bahu. "Aku juga heran. Apa tuan bidadari itu tidak punya keinginan ...."     

Ucapan Alsie terpotong oleh bunyi keras knaplot brong. Mengenali bunyi itu, Alsie berdecak keras. Janu malah memajang senyum kemenangan. Pengendara motor berisik itu pun muncul, seorang pemuda berambut kemerahan yang terkesan dekil.     

Alsie pun memilih bangkit. "Aku pulang dulu saja."     

"Loh, katanya mau deket sama aku buat nyembuhin lukanya?" ledek Janu, sedikit tertawa.     

Alsie hanya melancarkan lirikan tajam, tetap melanjutkan langkahnya. Teman Janu yang baru datang itu pun buru-buru memarkirkan motornya, lantas berlari menyusul Alsie. Janu memilih tak peduli dan kembali memerhatikan halaman media sosial di ponselnya.     

***     

Saat Rava membuka matanya, cahaya terang matahari sudah masuk lewat ventilasi kamar. Ia pun mengusap mukanya, merasa baru tidur sebentar. Semalaman, dia memang tak bisa terlelap gara-gara memikirkan banyak hal.     

Pemuda itu mengerutkan kening. Ada suara asing di dekatnya. Dengkuran lembut yang sebelumnya tak pernah ia dengar. Perlahan, dia pun menoleh ke samping. Wajah rupawan seorang wanita yang sedang tidur pun langsung menyambutnya.     

"Huaaaa!!!" Rava langsung melompat berdiri.     

Lyra pun membuka matanya, bangkit dari tikar yang ditidurinya dengan gerakan pelan, sembari menggaruki rambutnya yang berantakan. "Selamat pagi, Rava."     

Otak Rava macet total. Mulutnya membuka menutup layaknya ikan mas di akuarium. Bagaimana tidak, Lyra memakai tank top putih kekecilan yang kedua bagian talinya telah turun ke lengan, menunjukkan kalau dia lagi-lagi tak memakai bra. Kemudian, saat melihat kaki Lyra, Rava menyadari ketidak-beresan. Awalnya Rava mengira Lyra mengenakan hot pants super pendek seperti biasanya.     

"Kenapa kamu nggak pakai celana!?" pekik Rava panik, menunjuk celana dalam putih bergambar bunga yang dikenakan Lyra. Begitu perempuan itu berdiri, Rava langsung menghalangi pandangannya sendiri dengan tangan. Selain penampilan bawah Lyra yang tak pantas itu, Rava juga mendapati kalau tank top perempuan itu mulai melorot. Bagian privatnya jadi nyaris terekspos.     

"Ah, aku tidak biasa tidur dengan bawahan berlapis," jawab Lyra, membenarkan tali di tank topnya.     

"Bisa nggak sih, jangan bikin kaget aku terus!?" gerutu Rava, masih melindungi pandangannya dengan tangan. Ia jadi bertanya-tanya apakah Lyra sedang menggodanya atau perempuan ini memang tak mengetahui asas kepatutan.     

Tiba-tiba ibu Rava melongok ke kamar. "Kenapa pagi-pagi udah berisik sih, Rav?"     

"Ini tolong bilangin dong, Bu! Masa dia tiba-tiba tidur di kamarku nggak pakai celana!" protes Rava, sementara Lyra terdiam di tempatnya sambil menguap.     

"Bukan masalah, kan? Dia bilang kamar ibu agak terlalu panas, jadinya pindah. Terus, dia tidur kayak begitu karena memang budayanya. Udah ya, jangan teriak-teriak lagi. Nanti tetangga keganggu." Dan seperti sebelumnya, ibu Rava pergi begitu saja.     

Rava sebenarnya ingin membantah, tetapi kata-katanya seolah tersangkut di tenggorokan. Ia cuma membeku dengan mulut terbuka lebar.     

"Maaf, awalnya aku merasa tidak apa-apa kalau tidak di dekatmu. Soalnya, tubuhku tidak luka-luka." Lyra meregangkan tubuhnya, membuat pakaian yang dikenakannya tampak terlihat lebih ketat. "Tapi ternyata pertarungan kemarin menguras tenagaku ...."     

"Bisakah kamu memakai celanamu dulu?" potong Rava, lagi-lagi memandang ke arah lain.     

"Ah, maaf mbak Lyra! Celana pendek yang kemarin dipakai sedang dicuci! Satunya juga belum kering!" Sekarang ibu Sinta yang berteriak.     

Lyra mengangkat bahu. "Sepertinya, untuk sementara aku seperti ini dulu."     

"Terserah." Rava menyerah dan memilih untuk mendatangi meja komputernya. Ia pesimis bisa membujuk gadis sableng itu untuk mengenakan celana yang lain. Barangkali nilai kepatutan di dunia asalnya sangat berbeda dengan planet bumi. Ia lebih memilih untuk mempersiapkan alat-alat menggambarnya.     

Sendi-sendi Rava seakan membeku. Jantungnya bagai dihentak begitu keras. Kedua tangannya mulai bergetar.     

Lyra yang memergoki adegan itu cuma bisa membisu.     

Merasa sengatan panas seolah menyambar matanya, Rava buru-buru meraih celana panjang jeans dan jaket dari gantungan di belakang pintu kamar.     

"Kamu mau ke mana?" tanya Lyra saat Rava memakai celana tersebut di atas celana pendek.     

"Aku nggak tahu." Rava begitu terburu-buru memakai jaketnya. "Yang jelas, jangan ikuti aku. Aku lagi pengen sendiri. Lagian, kamu nggak pake celana. Nanti orang-orang bisa heboh kalau kamu keluar."     

Lyra sudah membuka mulut untuk membantah, tetapi mengurungkan niatnya. Dia membiarkan Rava keluar dari kamar begitu saja.     

"Aku pergi sebentar, Bu!" pamit Rava, menyahut helm dan kunci sepeda motor yang ditaruh di ruang tengah.     

"Eh? Mau ke mana? Sarapan dulu, gih!" sahut ibu Rava yang sedang memasak di dapur.     

"Nanti!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.