A Song of the Angels' Souls

Beban Mereka



Beban Mereka

0Begitu turun dari punggung Lyra, Rava langsung melihat sesosok monster berwujud kepiting raksasa ungu muda menjijikan. Bagian luarnya tampak lembek dan berlendir, berbeda dengan kepiting pada umumnya yang mempunyai cangkang keras.     

Rava cuma bisa meringis saat menyaksikan monster itu mulai menghancurkan sebuah bangunan supermarket dengan capitnya. Bongkahan-bongkahan beton mulai berguguran, serta semua pintu dan jendela kaca bangunan itu pun pecah.     

Meski lahan parkir supermarket tempat Rava berdiri sedikit diisi kendaraan, tanda pengunjung tak terlalu banyak, Rava tak bisa membayangkan jumlah korban yang jatuh di dalam pusat perbelanjaan itu.     

Lyra melesat cepat begitu Rava mengaktifkan kemampuannya. Tubuhnya jadi terlihat seperti kelebatan ketika dia bergerak ke sana ke mari untuk menyabeti kaki-kaki monster itu, menimbulkan luka-luka memanjang yang mengucurkan cairan kehitaman.     

"Groooohhhh!!!"     

Rava menutupi telinganya saat mendengar raungan keras monster itu. Lyra berhasil mengalihkan perhatian sang monster dari supermarket.     

"Aku tidak pernah melihat yang sebesar ini," celetuk Lois yang kini menjejeri Rava. Bidadari itu sudah menyampirkan celana panjangnya di pundak.     

Rava fokus memperhatikan pergerakan Lyra, sama sekali tak mau melirik ke bagian bawah tubuh Lois, yang kini jelas tidak senonoh.     

"Gerah. Mumpung orang tidak melihat," lanjut Lois, yang paha mulus dan celana dalam hitam tipisnya bisa terlihat jelas. Matanya ikut fokus kepada Lyra yang terus bertarung.     

Rava mengutuk dalam hati. Tidak ada yang melihat bagaimana? Bukannya ada dia, seorang pria yang punya dua mata? Rava tak habis pikir. Kenapa dia bertemu dengan bidadari model begini lagi? Rava makin khawatir dengan kesehatan mental dan jantungnya.     

"Hei, Lois! Kamu tadi mengungkit tentang persaudaraan kita, tapi kenapa kamu tidak mau membantuku!!?" seru Lyra, melompat mundur untuk menghindari serangan capit sang monster.     

"Aku tidak membawa tuanku!" jawab Lois, tak kalah kencang. "Kalau ikut bertarung, aku tidak akan banyak membantu, kekuatan bertarung dan energi pelindungku tak maksimal!"     

Rava mencengkram erat ponselnya. Tadi, ia sudah menghubungi Stefan untuk membantu. Walaupun serangan-serangan Lyra terlihat memberi efek kepada si monster, yang kini gerakannya sedikit melambat, Rava tak yakin Lyra bisa bertahan sampai akhirnya mengalahkan monster sebesar itu. Bisa-bisa Lyra kehabisan stamina duluan.     

Sampai akhirnya, suara alunan merdu seruling pun terdengar. Monster itu langsung berhenti bergerak.     

"Rava!!! Tanda nomor tiga!!!"     

Rava bisa melihat Kacia—masih dengan bekas luka-luka sabetan di tubuhnya—sedang membidik dari atas gedung terdekat.     

Melihat Rava yang malah melongo, Kacia kembali berseru, "Rava!!!"     

Sedikit gelagapan, Rava menuruti perintah bidadari berbusana merah muda itu. Kacia melesatkan panahnya, yang kemudian meledak di udara. Dari ledakan itu, pita-pita meluncur cepat, merajami salah satu sendi capit si monster.     

"Kedua!!!" Kacia membidik lagi. Begitu Rava memencet tanda kedua, Kacia melepaskan tali busurnya. Satu anak panah melesat, langsung meledak begitu mengenai titik yang tadi dirajami pita.     

Sebelah capit sang monster pun akhirnya putus.     

"Tubuhnya besar sekali! Efek kekuatanku cuma bisa menahannya sebentar!" Suara teriakan Ione terdengar dari atap gedung yang lain.     

"Groooohhhh!!!" Benar saja, hanya selang beberapa detik, monster itu bergerak lagi.     

"Kacia bersikeras ikut. Katanya, dia hanya akan membantu dari jauh, jadi nggak akan berpengaruh banyak dengan lukanya," ujar Stefan yang baru muncul, berjalan mendekati Rava. "Makanya ...."     

Stefan berhenti berbicara saat menyadari Lois tidak memakai celana. Matanya memandang serius bagian tubuh Lois yang terbuka.     

Jari Lois menjelajahi paha telanjangnya itu dengan gerakan sensual, dari atas ke bawah, menuju tubuh, sampai akhirnya tiba di lidahnya sendiri.     

"Ada apa, adik kecil?" desahnya.     

Rava tentu tak berani melihat hal itu dan lebih memilih untuk fokus memperhatikan pertarungan. Stefan malah makin serius memperhatikan paha Lois, seolah sedang mengamati sesuatu yang sangatlah penting.     

Sebuah mobil mewah warna putih metalik berhenti di dekat situ. Marcel pun turun dari sana, langsung geleng-geleng kepala melihat lekuk pantat Lois yang tercetak jelas di celana dalam hitam.     

"Kalau ada waktu untuk menggoda adikku, lebih baik kamu membantu mengalahkan monster itu," ujar Marcel, terdengar lelah.     

Memajang senyumnya yang biasa, Lois mengaktifkan baju tempur dan senjatanya, kemudian berlari mendatangi monster itu. Marcel memencet salah satu tanda dan sosok Lois pun langsung menjadi dua.     

"Maaf, sudah pernah menyerang kalian!" seru satu sosok Lois.     

Sosok satunya melanjutkan, "Aku maklum kalian marah padaku, tetapi sekarang kita harus bekerjasama!"     

"Aku sih tidak masalah! Yang pantas marah itu Kacia. Kamu melukainya!" balas Ione, masih mengamati musuhnya.     

Kacia tidak menanggapi ucapan Lois. Bidadari bertubuh mungil itu fokus membidik si monster dengan panahnya.     

Keempat bidadari itu terus bertarung. Lyra tak henti-hentinya menyabeti sang monster, Lois menusukinya, dan Kacia terus menembakkan panah. Sementara itu, Ione yang serangan hantamannya nyaris tak berpengaruh, lebih memposisikan dirinya sebagai penarik perhatian agar sang monster tidak menghancurkan bangunan.     

Akan tetapi, serangan mereka belum juga berhasil menghabisi si monster. Kemampuan yang kira-kira bisa memberi efek kepada sang monster juga telah mereka gunakan semua. Lois sudah menggunakan serangan pedang memanjangnya untuk melukai mata sang monster. Kacia juga sudah mengikat kaki sang monster dengan jeratan pitanya, walau itu tak berdampak apa-apa. Monster itu hanya terhuyung sejenak dan tidak rubuh.     

Lebih dari dua jam telah berlalu. Monster itu masih berdiri, kendati dengan tubuh yang kini hampir seluruhnya berlumur cairan hitam. Para bidadari justru tak mengalami luka sedikit pun. Mereka selalu bisa menghindari serangan sang monster, yang sebenarnya cukup lamban.     

Namun, napas mereka semua sudah habis. Keringat mereka sudah mengalir deras. Padahal, kalau ditinggal sebentar saja, monster itu pasti beralih untuk menghancurkan bangunan berisi manusia.     

"Ugh!" Lengah, Kacia tak sempat bereaksi ketika kaki-kaki sang monster menghantam tubuhnya. Ia pun terlempar cukup tinggi, sebelum akhirnya mendarat dengan berguling-guling.     

Rava pun bergegas memeriksa bidadarinya itu. "Kamu nggak apa-apa?"     

"Aku tidak apa-apa kok, Rava." Kacia berusaha memajang senyum. Ia memegangi pinggangnya yang masih dibalut perban. Untungnya, tidak ada darah yang keluar dari lukanya itu.     

Rava tak bisa berkata-kata. Tubuh Kacia sudah mulai bergetar, napasnya juga sudah begitu putus-putus, busananya pun banyak dihiasi noda kotor, rambutnya sekarang mulai berantakan, dan seluruh bagian kulitnya sudah berkilau karena keringat. Rava tentu ingin para bidadari mundur saja. Mereka sudah terlalu lelah.     

Namun, lidahnya kelu. Kalau mereka mundur sekarang, monster itu bakal membuat kerusakan.     

"Aku masih punya kemampuan berpindah tempat, Marcel," ujar Lois yang kiini berjongkok di sebelah tuannya, beristirahat sambil tertawa getir. Sama seperti Kacia, kondisinya juga terlihat tidak karuan.     

"Kita nggak bisa membiarkan monster itu begitu saja, Lois. Bertahanlah, aku sedang memikirkan strategi baru," desis Marcel.     

Stefan mendekati kakaknya itu dengan tatapan tajam. "Huh, kukira Kakak nggak peduli sama nyawa orang?"     

"Kamu kan bilang kita ini bukan orang jahat. Ini berbeda, Fan. Orang-orang itu nggak tahu apa-apa," jawab Marcel dengan nada dingin, sama sekali tidak memandang adiknya itu. "Kita belum benar-benar kalah. Nyawa kita belum begitu terancam. Kita harus bisa menemukan jalan."     

Lois pun bangkit berdiri dengan kaki yang juga sudah mulai gemetaran. "Setuju, kita harus menyelamatkan orang-orang itu. Lyra bisa memarahiku kalau aku menyerah di sini."     

"Aku juga harus bertarung kembali." Kacia pun ikut bangkit. Tubuh mungilnya terlihat agak sempoyongan.     

Mulut Rava masih belum sanggup mengeluarkan kata-kata. Dia cuma bisa melihat Kacia berjalan menjauhinya.     

Padahal, Kacia tidak ingin terjerumus dalam kontes saling bunuh ini, tetapi dia tetap mau berjuang menyelamatkan nyawa orang yang tidak dikenalnya.     

Kacia dan bidadari-bidadari itu bukanlah wanita biasa.     

"Hei, lihat sini monster buluk!" pekik Ione, berusaha menggiring si monster untuk menjauhi salah satu bangunan.     

Lyra juga terus melancarkan serangannya. Namun, sekarang monster itu sudah tidak peduli dengan mereka. Ia memilih untuk menyerang salah satu bangunan bank.     

Rava cuma bisa mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Andai saja dirinya punya kekuatan. Dia tak perlu mengandalkan wanita-wanita rupawan ini.     

"Tenang saja, bala bantuan sebentar lagi akan datang, kok," celetuk salah satu sosok Piv, yang sudah ada di hadapan Rava, tentu saja tak memberi kabar terlebih dahulu.     

Tiba-tiba saja, seorang bidadari berbaju tempur oranye mendarat di atas tubuh sang monster.     

"Hidupmu cuma sampai di sini monster jelek!" Wanita dengan rambut coklat muda yang liar tergerai itu berseru lantang. Mulutnya menyunggingkan senyuman penuh percaya diri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.