A Song of the Angels' Souls

Rasa Sakit



Rasa Sakit

0"Katanya mau libur dulu, Bro?" tanya seorang pemuda dekil berambut kemerahan yang menggantikan Janu menjaga lahan parkir.     

Dengan tampang tak bersemangat, Janu duduk di sebelah kawannya itu. "Di rumah malah bingung mau ngapain, Don."     

"Mbak Drakor nggak ikut?"     

"DIa udah pulang ke negaranya di Korea sana," jawab Janu asal-asalan. "Nggak tahu kapan ke sini lagi."     

"Yaaaah ...."     

Pandangan Janu kembali terhujam ke kantor notaris di seberang jalan. Dia datang sudah sangat siang, jadi tak melihat kedatangan Tina.     

Menyadari kelakuan Janu, pemuda dekil yang dipanggil Don itu pun terkikik. "Sehari aja nggak bisa ngelihat mbak calon notaris, ya?"     

"Gue lagi nggak mood becanda, Don," keluh Janu, mulai kesal. "Lu pulang aja, gih. Elu lebih suka jaga malem, kan?"     

"Kisah seorang pemuda, yang selalu menatap tempat pujaan hatinya ...."     

Don langsung menahan ejekannya begitu mendapat tatapan tajam dari Janu. Sedikit mencibir, Don pun bangkit dari duduknya. "Mendingan beneran pulang, deh. Serem."     

Janu terus menatap kawannya itu sampai menghilang di jalan. Kemudian, ia pun mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam.     

Dia masih belum bisa percaya dengan kejadian yang dialaminya kemarin. Dia memang belum lama mengenal Alsie, tetapi melihat begitu mengenaskannya cara bidadari itu mati, Janu yakin dia tak akan bisa menghapus kejadian itu dari pikirannya.     

Tak ada makhluk yang pantas mati seperti itu.     

Menggeleng-gelengkan kepalanya, Janu kembali menatap kantor itu. Barangkali, dengan melihat wajah Tina sekilas saja, suasana hatinya akan sedikit lebih baik. Ya, dirinya memang menyedihkan, seorang pria miskin yang cuma bisa berangan-angan.     

Atau mungkin dirinya bisa berubah? Mungkinkah dia menyingkirkan semua rasa rendah dirinya? Dia sudah tak bisa lagi berharap kepada pertarungan antar bidadari. Dia tak bisa lagi mendapatkan keajaiban dari ajang saling bunuh itu.     

Seharusnya dia bisa berubah. Memangnya dia akan mati kalau melakukan ini? Toh, dia tak mungkin langsung menyatakan perasaannya. Dia akan mengawali dengan memperkenalkan diri sebagai anak yang dulu bersekolah dengan Tina. Nanti, obrolan mungkin bisa berkembang, mereka bisa mengingat-ngingat kehidupan SMA.     

Perlahan tapi pasti, interval degup jantung Janu mulai merangkak naik.     

Tina keluar dari kantor notaris bersama seorang rekan kerja perempuannya. Menyadari pujaan hatinya itu berkontak mata dengannya, Janu menunduk dalam-dalam dan merapikan topinya. Bahkan saat derap langkah perempuan itu semakin dekat, Janu tetap bertahan pada posisinya.     

Janu mengutuk dirinya sendiri. Kenapa selalu seperti ini? Kalau dia tak melakukan apa-apa, berarti perkataan Alsie tepat: dirinya ini pengecut.     

Menarik napas panjang, Janu berusaha melemaskan tubuhnya. Masih ada kesempatan. Tina baru masuk ke minimarket.     

Beberapa menit berlalu, Janu bersiap saat mendengar obrolan Tina yang baru keluar dari minimarket. Saat Tina melewatinya, Janu sudah bertekad untuk menyapa terlebih dahulu.     

"Aku masih nggak percaya kamu mau nikah bulan depan loh, Tin," ceplos rekan kerja Tina itu. "Kamu itu terkesan nggak suka ngejalin hubungan sama cowok. Sejak kuliah, kamu kan nggak pernah kelihatan punya pacar."     

Deretan kalimat itu sudah cukup memaku Janu pada tempatnya.     

"Bukannya nggak suka, aku cuma nunggu pria yang tepat," jawab Tina, agak tersipu.     

Bunyi langkah Tina semakin menjauh. Lama-kelamaan, Janu tak bisa mendengar suara perempuan itu lagi.     

Meski matanya bak disengat panas, meski dadanya kini begitu sesak, meski hatinya remuk redam, sebuah senyum samar terbentuk di bibir Janu. Ya, buat apa meratap sekarang? Itu tidak akan mengubah apa pun. Mungkin, ini adalah peringatan agar dirinya melangkah maju dan berhenti berangan-angan.     

***     

"Kayaknya masih lama Mas Fino, karburatornya kena," ucap sang montir motor, pria kurus yang tangannya penuh bekas oli.     

Pria tambun berjambang tipis yang dipanggil Fino itu menghela napas panjang. Tubuhnya penuh keringat, sampai merembes ke kemeja putih yang dikenakannya. Dia sudah cukup lama mendorong motor bututnya yang mogok itu.     

"Masih lama banget nggak? Kalau iya, aku pulang dulu deh, Mas," jawab Fino, menggaruk-garuk rambut keritingnya, gusar.     

"Iya, masih antri sih ini. Saya lagi sendirian. Pegawai saya pada libur," jawab si montir sambil meringis. "Tapi maaf, saya lagi nggak bisa nganterin. Motornya dipakai semua."     

"Nggak apa-apa, udah deket, kok," dengus Fino, mengambil ranselnya dari kursi kayu panjang, mencangklongnya ke punggung, mulai melangkah pergi.     

"Nanti kalau udah jadi saya anterin motornya ke rumah, Mas," timpal montir langganan Fino itu.     

Tak menjawab, Fino keluar dari area bengkel. Ia bersungut-sungut karena teriknya matahari memicu kulitnya semakin berkeringat.     

"Eh, itu anak pak Tomo," bisik seorang ibu yang sedah duduk-duduk di teras sebuah rumah. "Bajunya putih, berarti dia masih ngelamar di sana-sini, padahal dia udah lulus lima tahun yang lalu, loh."     

"Wah, padahal adiknya udah mapan. Udah punya mobil," jawab seorang ibu-ibu yang lain, sama-sama dengan suara pelan.     

Ibu-ibu yang ketiga ikut nimbrung. "Kabarnya, kuliahnya tujuh tahun."     

Sedikit menggertakkan gigi, Fino mempercepat langkahnya. Bukan salahnya dipaksa mengambil jurusan yang tidak cocok, sehingga kesulitan menimba ilmu. Bukan keinginannya pula selalu gugup waktu wawancara, sehingga tak pernah mendapat panggilan setelah itu.     

Memangnya, dia menyukai kondisinya sekarang?     

Fino berbelok di gang, terus menunduk untuk menghindari tatapan para tetangga. Setibanya di rumah, ia menghela napas lega karena menemukan sepeda motor orangtuanya sudah tidak ada di halaman. Di saat seperti ini, dia tak butuh nasihat-nasihat sok menggurui dari mereka.     

Kelelahan dan bernapas ngos-ngosan, ia melepaskan sepatunya begitu saja dan masuk ke dalam rumah. Ia harus segera melampiaskan kekesalannya.     

"Kaciaaaaaa!!!" Fino memanggil bidadarinya keras-keras. "Bawakan air es!!!"     

"Sebentar, Tuan." Suara seorang perempuan pun terdengar.     

Fino melemparkan tubuhnya ke sofa, mulai melepaskan kancing kemejanya. "Cepetan!"     

Tak berapa lama, seorang gadis bertubuh mungil dan mengenakan kaus kedodoran datang sambil membawa nampan berisi segelas air es. Terlihat takut-takut, perempuan berambut lurus panjang itu bersimpuh dan menaruh pesanan tuannya ke meja.     

"Hanya begitu? Kamu nggak nanya hariku bagaimana?" desis Fino.     

Gadis bernama Kacia itu berjengit sedikit, menelan ludah, kemudian baru bertanya dengan bibir bergetar. "Bagaimana wawancara kerjanya ...."     

Omongan Kacia terpotong oleh air es yang diguyur ke mukanya. Ia pun langsung menggigil.     

"Lihat mukaku! Apa ini muka orang yang senang udah diterima kerja, hah!?" bentak Fino dengan mata melotot.     

Kacia menggeleng pelan. Matanya mulai diselimuti cairan bening.     

Plakkk!     

Tamparan Fino mendarat di pipi kanan Kacia. Tak ada ampun, Fino menjambak rambut Kacia dan menariknya. Kacia hanya memejamkan mata, menahan tangis.     

"Kamu pasti berpikir, aku ini rendahan, kan? Kamu berpikir aku nggak becus sebagai lelaki, kan? Kamu pasti berpikir, aku malas-malasan sampai nggak bisa-bisa dapat kerja, kan?" geram Fino di depan muka Kacia.     

Masih memejamkan mata, Kacia kembali menggeleng. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketakutan tak terperi. Tubuh mungilnya yang terlihat rapuh pun mulai bergetar. Hanya selang beberapa detik, tamparan kedua mendarat di pipi kirinya. Tak selesai sampai di situ, Fino terus menampari kedua pipi Kacia secara bergantian. Air mata perempuan itu pun jatuh setetes demi setetes, tetapi dia sama sekali tidak melawan.     

Dengan napas memburu, Fino memandangi wajah Kacia yang mulai membengkak merah. Lelaki itu tak menghitung sudah berapa kali dirinya menampari kedua pipi mulus Kacia. Puluhan kali mungkin. Yang jelas, kedua telapak tangan Fino kini sudah begitu perih dan terasa seperti berdenyut.     

Melihat Kacia yang tak merespon dan hanya menunduk dalam diam, Fino kembali menggeram. Ia pun berdiri, lagi-lagi menjambak rambut bidadarinya itu. "Sini kamu!"     

"Saya mohon jangan, Tuan." Akhirnya Kacia merintih saat rambutnya ditarik oleh Fino. Gadis itu lagi-lagi tak melawan, hanya pasrah dirinya dibawa oleh sang tuan. "Ampun, Tuan."     

Kacia terus memohon-mohon sambil mencucurkan air mata. Namun, tuannya itu tak peduli dan terus membawanya. Setibanya di kamar lantai dua, Kacia didorong ke tempat tidur.     

"Ini hukuman buat kamu yang udah ngeremehin aku. Jangan teriak atau tetangga bakal dengar," desis Fino, buru-buru melepas sabuk kulit dari celananya.     

Serta merta, Kacia memejamkan matanya erat-erat. Tangannya meremas sprei tempatnya menelungkup. Bibirnya ia gigit kuat-kuat. Gadis itu bersiap.     

Fino mengangkat sabuknya tinggi-tinggi.     

Ctasssss!!!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.