NITYASA : THE SPECIAL GIFT

66. Kedai Malam



66. Kedai Malam

0Sudah sejak siang hingga larut malam, Lingga, Saksana, dan Abdul menunggu kedatangan Saga Winata di tempat yang telah mereka janjikan untuk saling bertemu. Yaitu di desa Babakan. Mereka sedang mampir di rumah makan dengan tempatnya yang tidak terlalu terbuka. Sebenarnya ini lebih layak disebut tempat hiburan malam. Sebab memang yang dijual di tempat ini adalah minuman-minuman memabukkan. Beberapa meja sengaja diberi pola semacam papan permainan untuk berjudi. Perempuan penghibur pun dipersiapkan untuk menyambut tamu-tamu yang datang.     

Meski tempatnya tertutup, setiap malam tempat itu selalu ramai oleh para pengunjung yang datang. Rata-rata dari mereka memang bertujuan untuk menghibur diri atau sekadar menjadi tempat pelarian orang dari pemikiran yang kalut. Semula si pemilik tempat menawari mereka bertiga perempuan, tetapi mereka tolak karena jelas saja bahwa itu bukan lah tujuan mereka. Mereka hanya berniat untuk sembunyi.     

Tempat itu memang tertutup, tetapi ada celah jendela kecil yang menghadap gerbang masuk desa yang bisa digunakan oleh mereka untuk melihat-lihat jika Saga Winata datang. Tetapi sedari siang, tak kunjung datang orang yang ditunggunya itu.     

Mereka tidak sedang makan di situ, bahkan mereka tidak sedang bernafsu untuk makan. Sebab, pikiran kalut terkadang mengenyangkan. Tak makan seharian pun tak akan dirasa-rasa. Namun, hanya untuk segelas minuman pasti ada. Jika tidak ada sesuatu sama sekali di meja mereka, pasti si pemilik tempat itu tidak akan suka ada tamu yang duduk tanpa membeli sesuatu.     

Tempat itu cukup berisik karena banyak orang di meja masing-masing tak hanya saling mengobrol, tetapi juga berjudi dengan bermain beberapa permainan dadu. Terkadang mereka semua saling tertawa cekakakan karena juga sambil mabuk. Sehingga mereka tak dapat mengontrol tawa mereka. Beberapa meja bahkan disediakan seorang perempuan penghibur.     

Meskipun tempat ini merupakan tempat yang dipenuhi orang-orang berandal dan nakal, namun cukup kondusif tanpa ada yang berniat saling mengganggu satu sama lain. Mereka saling menghormati karena merasa sama-sama sedang menikmati kesenangan.     

"Jangan-jangan dia tertangkap," ucap Abdul mengkhawatirkan Saga yang sudah cukup lama belum muncul juga.     

"Bisa jadi," respon Saksana setelah menenggak air tuak dari dalam kendi langsung. Padahal ada gelas di meja. Tetapi memang Saksana orangnya doyan minum. Pemabuk sepertinya lebih suka menenggak langsung dari dalam botol.     

"Jangan terlalu banyak minum, Saksana." Lingga memperingati adik seperguruannya itu. "Di saat-saat seperti ini, kita membutuhkan pemikiran yang sejernih-jernihnya. Mabuk-mabukan hanya akan membuat pikiran semakin sempit."     

"Tanpa Saga Winata, kita benar-benar kehilangan arah dan tujuan." Abdul masih saja mengeluhkan keadaannya sekarang. Matanya masih fokus tertuju pada jendela yang mengarah ke gerbang masuk desa Babakan.     

"Sebenarnya kemana tujuannya setelah ini?" tanya Lingga yang merasa buta akan rencana Saga.     

"Entah... Katanya ingin menemui seseorang. Tetapi dia tidak pernah mengatakan siapa, di mana, dan untuk apa," Abdul menjawab. Dia terlihat tidak suka dengan minuman yang ada di mejanya. Makanya terpaksa jatahnya dia serahkan kepada Saksana. Dia menggeser gelasnya ke depan Saksana setelah itu. "Yang pasti dia ingin sekali membersihkan namanya."     

"Aku bisa membantunya, jika aku bisa meyakinkan Mahaguru." Terbesit ide di pikiran Lingga untuk bertindak demikian. Mengingat gurunya yang membuat laporan atas pembantaian murid-murid perguruan yang kemudian melibatkan nama Saga Winata ketika disebut di persidangan.     

"Yang itu nanti saja. Masalahnya kita mau kemana setelah ini," keluh Abdul kesal. Wajahnya kini mulai memerah tanda ketidakberdayaannya.     

"Kita tunggu saja dulu, jika tengah malam ini dia tak datang juga, kita teruskan perjalanan." Kali ini Saksana berpendapat. Padahal pikirannya sedang tidak ada di tempatnya. Dia sedang mabuk dan tidak mampu berpikir jernih.     

"Iya,.. Kemana?" tanya Abdul kembali.     

"Ke Galunggung. Kediaman kami. Perguruan Wana Wira." Lingga kini berencana untuk pulang. Dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Sang Guru dan juga kepada Jayendra.     

"Aku bagaimana? Ikut?" tanya Abdul     

"Kamu ikut dengan kami ke Perguruan Wana Wira. Di sana kamu bisa sekalian belajar ilmu kanuragan."     

Ada seorang pria paruh baya yang berada di meja sebelah mereka melirik kemudian membalikkan badan. Dia berdiri kemudian menghadap ke arah Lingga dan kawan-kawan.     

"Maaf, Ki Sanak," ucap pria bertopi petani itu. "Sepertinya aku mendengar Ki Sanak membicarakan tentang Saga Winata seperti sangat mengenalnya. Apa kalian ini teman-temannya?"     

"Ada urusan apa?" Lingga balik bertanya. Dia sedikit curiga dengan orang ini. Maka dia harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Namun, seburuk-buruknya kemungkinan, kali ini dia harus bertarung sendirian jika itu diperlukan. Sebab Saga Winata tidak bersama mereka, Saksana sedang mabuk, sementara Abdul tidak bisa sedikit pun ilmu silat kanuragan. Bahkan Abdul lebih takut lagi, dia takut kalau orang asing itu adalah mata-mata dari Kerajaan Galuh.     

"Salam Winata Salam Kebebasan," ucap pria itu lirih. Lingga yang mendengar kalimat itu diucapkan olehnya, merasa kebingungan. Apa maksud dari kalimat yang dia ucapkan?     

"Maksudmu?" tanya Lingga memperjelas berharap pria itu mau menjelaskan. Tetapi sepertinya butuh penjabaran panjang tentang sebuah kalimat itu. Belum sempat orang itu menjawab, Abdul menyelanya.     

"Tunggu... Aku tahu siapa orang ini," kata Abdul yakin.     

"Siapa?" tanya Lingga memastikan lagi.     

"Dia salah satu mantan anak buah Saga Winata," ucap Abdul membenarkan. Abdul sudah tahu banyak tentang kelompok rampok milik Saga Winata karena dia sendiri yang menceritakannya. Memang kalimat itu adalah sapaan rahasia bagi para anak buah dari kelompok Saga Winata.     

"Betul, Ki Sanak, nama ku Bayan." Pria asing itu mengiyakan sembari memperkenalkan diri. . "Bagaimana kabar Kakang Saga?"     

"Pagi tadi dia baik-baik saja, sekarang aku tidak tahu bagaimana kabarnya," Abdul menjawab. kemudian ia mendekatkan mulutnya ke arah telinga orang itu seperti mau berbisik-bisik, "kami sedang dikejar-kejar oleh pasukan Galuh."     

Pria bernama Bayan itu merasa kaget. Ternyata Saga Winata masih hidup. Dan status buronannya masih aktif.     

"Aku bersyukur kalau ternyata dia masih hidup," ujar Bayan.     

"Memangnya pernah dia mau mati?" tanya Lingga dengan nada polosnya.     

"Pernah. Saat melawan pasukan Prajurit Galuh yang dipimpin oleh Senopati Citra Wayang dan empat orang pendekar bayaran. Aku sedang berada di situ waktu itu bersama teman-teman saya yang lain. Mereka yang telah membuat banyak orang dari kelompok kami tewas. Sisanya bercerai-berai menyelamatkan diri."     

"Pendekar bayaran?" tanya Lingga. Pada bagian ini dia justru tertarik ingin mendengar.     

"Iya... Mereka Jayendra, Utkarsa, Utpala, dan Seruni," ujar Bayan menjelaskan. "Pertarungan dimenangkan oleh Kang Saga karena dia menggunakan ajian Kalawasana untuk menghalau para orang Galuh itu. Akhirnya mereka pun kembali pulang ke kotaraja karena merasa ketakutan dengan ajian maha dahsyat itu.     

"Ke mana lagi sisa-sisa dari kalian?" tanya Lingga kembali.     

"Jangan di sini, Ki Sanak." "Lebih baik kita bicarakan di rumah ku saja."     

Bayan mengajak mereka menyambangi rumahnya yang letaknya tak jauh dari lokasi kedai malam itu.     

***     

(jangan lupa untuk memberikan vote power stone dan komen kritik dN saran)     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.