NITYASA : THE SPECIAL GIFT

107. Kasim



107. Kasim

0SURABAYA, 2014     

Ini adalah tempat dan waktu yang berbeda. Bertempat di ibukota Provinsi Jawa Timur. Hafiz kembali ke masa 6 tahun ke belakang.     

Layaknya di kota-kota besar lainnya, setiap pagi hingga siang kota ini mengalami kondisi lalu lintas yang paling menyebalkan. Ya, kemacetan lalu lintas adalah suatu peristiwa yang sangat menyebalkan bagi banyak orang. Terutama bagi yang memiliki waktu terbatas untuk memulai aktivitas.     

Ini adalah pertama kalinya Hafiz memiliki pengalaman atas pengembaraan waktu, ia perlu beberapa kali lagi dalam mempelajari kesalahannya sehingga bisa menguasai keahliannya dalam memanipulasi waktu tersebut.     

Atas dasar ketidaktahuan inilah, ia kemudian terlempar pada sebuah lorong gang sempit yang di kanan dan kirinya terdapat sebuah bangunan pertokoan. Ia seperti mengenal tempat itu, itu adalah tempat di mana ia sering lalui ketika semasa pulang sekolah dulu. Ia melihat arlojinya itu yang menunjukan pukul 13.35 WIB. Lima menit sebelum tragedi Sari tertabrak kendaraan besar di jalan raya.     

Kemudian ia bergegas berlari menuju tempat yang ia yakini menjadi tempat tragedi tersebut. Sebuah jalan raya yang sangat ia kenali. Ia melihat selembar sobekan kalender di tempat sampah yang menunjukkan tanggal dan tahun pada hari sebelum peristiwa itu, Artinya memang sobekan kalender itu adalah tanggal hari kemarin.     

Tiba-tiba saja suara hantaman keras terdengar setelah decitan ban truk di sekitaran tempat itu. Ternyata jauh di seberang jalan sana, ia bergegas berlari ke arah sumber suara, tiba-tiba beberapa orang berkerumun. Ia tak mampu melihat peristiwa apa yang terjadi. Jangan-jangan ia adalah Sari. Memang tepat di jam ini lah ia tertabrak truk tersebut.     

Ia kembali berlari menghampiri kerumunan di seberang jalan itu. Beberapa kendaraan mulai melambatkan lajunya karena turut gempar menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan. Hafiz secepat mungkin berlari menyeberang jalan serata tangannya memberi kode pada kendaraan di jalanan untuk mengizinkannya lewat.     

Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang remaja berlarian ke arah tabrakan. Remaja yang ia sangat kenali. Itu adalah dirinya sendiri ketika masih SMA. Wajah yang penuh kekhawatiran dan ketakutan itu tak kuasa ia tatap. Remaja itu setengah menangis ketika menyaksikan tubuh Sari telah tergeletak bersimbah darah. Hafiz remaja kini sedang memangku tubuh kekasihnya yang telah sekarat tak mampu berkata. Dalam hati ingin sekali Hafiz menghampiri dirinya yang masih remaja itu. Namun, tidak mungkin ia akan berlanjut menghampiri nya. Selain karena hal itu akan sia-sia dan membuat masalah menjadi runyam, itu juga dilarang keras dalam aturan perjalanan waktu yang tertulis pada Kitab Buana Mapat.     

Kedatangannya ternyata tak mampu mencegah sesuatu yang telah terjadi, waktu tibanya terlambat. Andai saja ia mampu mengendalikan waktu tujuannya supaya bisa datang lebih cepat, maka mungkin ia bisa mencegah kejadian itu.     

Sekarang ia harus menyaksikan lagi peristiwa yang semestinya ia gagalkan. Ia harus merasakan lagi satu kehancuran hati ketika menyaksikan orang yang ia cintai itu terbujur kaku. Pada akhirnya tidak ada yang bisa ia lakukan saat itu. Tubuhnya berdiri mematung di antara kerumunan. Sungguh ketidakberdayaan ini semakin membuat hatinya terbakar.     

Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Mungkin semua dapat ia gagalkan jika ia mau mencobanya lagi. Ia harus melakukannya sekali lagi meskipun itu berarti dirinya akan kembali terlempar pada pengalaman yang meembuatnya mual.     

Tetapi, bagaimana caranya kembali, jika buku Kitab Buana Mapat itu sudah tidak ada di tangannya. Bagaimana cara dia bisa kembali? Ia belum hapal dengan isi rapalan mantra pada yang tertulis di buku. Ia perlu membacanya lagi untuk bisa memasuki dimensi empat yang menjadi jembatan untuk memanipulasi waktu     

Bergegaslah ia berbalik badan. Ia berlari kembali menyeberangi jalan, masih ingat terakhir kali ia meninggalkan buku itu adalah di lorong gang di antara dua bangunan toko. Ia harus segera mengambilnya kembali sebelum ditemukan orang lain. Ketika ia tiba di gang, ia terkejut mengetahui bahwa buku itu sudah tidak ada di tempat. Kemudian ia mencari-cari di sekeliling. Berputar-putar di tempat itu, mengorek tempat sampah, mengintip di sela-sela selokan. Tetap saja tidak ada.     

Dari kejauhan, terlihat seorang anak kecil berpakaian lusuh sedang menggendong sebuah keranjang sampah yang terbuat dari anyaman rotan. Kakinya mengenakan sandal jepit yang pada bagian tumitnya telah berlubang. Cara jalannya pun terseok-seok. Ia mengenakan celana olahraga yang pada bagian pahanya agak sobek.     

Topi jerami lusuh pun tak luput dari kepalanya. Sepertinya dia seorang pemulung. Tetapi bukan itu yang menjadi perhatian Hafiz. Anak itu terlihat sedang berjalan pelan sambil matanya sibuk membaca sebuah buku tebal. Meskipun pada kenyataannya ia hanya melihat-lihat isinya tanpa mampu membacanya. Sebab isinya hanyalah sekumpulan aksara jawa kuno yang tentu saja tidak mudah dipahami oleh orang awam.     

Hafiz bergegas berlari ke arah anak kecil itu dan langsung merebut bukunya. Kini langsung buku itu berada di genggaman.     

"Ini punya saya...," ucap Hafiz kemudian.     

"Balikin...! Itu punya aku!" kata anak itu teriak-teriak.     

Anak kecil itu berusaha merebut bukunya lagi, namun Hafiz menahannya. Hingga tiba-tiba tangisan keras terdengar. Anak itu menangis sejadi-jadinya membuat orang-orang yang ada di sekitar bersimpati.     

Tentu saja Hafiz sangat khawatir karena bisa saja orang-orang akan sangat salah paham dengannya. Ia berusaha menenangkan anak itu supaya tidak menangis. Namun orang-orang sudah terlanjur berkerumun.     

"Kenapa , dek?" tanya seorang pria yang kebetulan lewat.     

"Orang ini maksa ngambil buku aku," tutur anak itu mengadu. Ia menunjuk ke arah Hafiz yang mulai kebingungan. Orang-orang langsung menatap ke arah Hafiz.     

"Balikin, mas," kata orang tersebut.     

"Kamu kalau mau njambret liat liat dong, masa anak kecil mau dijambret juga," kata seorang ibu-ibu yang juga turut menghakiminya.     

"Tapi ini punya saya," bantah Hafiz.     

"Mas, dengerin nih," ujar seorang pria lainnya. "Suatu saat anda punya anak terus anaknya disakitin gimana? Nggak semua bisa diatasi dengan kekerasan, mas. Kalau mas butuh uang, cari kerja yang halal, jangan begini caranya. Mas ini masih muda, masih seger badannya. Masa mau njambret. Terus sama anak kecil lagi njambretnya. Lagian itu kan cuma buku, anak ini butuh buat belajar. Jangan sampai dia terus jadi tidak bisa belajar gara-gara bukunya mas ambil. Mas mau kalau dia terus-terusan jadi pemulung? Jangan gitu lah, kasihan dia. Ayo, mas. Balikin."     

Rupanya ketika pria itu banyak bicara, ia sudah mempersiapkan langkah untuk lari. Maka setelah tenaganya terkumpul, ia kemudian bergegas lari. Kemudian beberapa orang di sekitar turut mengejarnya kemudian. Mereka para pria yang mengejar semakin mengajak orang-orang yang dilewatinya untuk ikut mengejar Hafiz. Bertambahlah banyak jumlah mereka.     

Bahkan beberapa dari mereka meneriakinya sebagai seorang pencopet. Tiba-tiba Hafiz teringat peristiwa di mana ia mengalami hal serupa ketika ia berada di stasiun.     

...     

Hafiz baru saja keluar dari kereta yang sama dengan yang ditumpangi Pria tua tersebut. Tetapi dari gerbong yang berbeda, jauh di belakangnya. Sambil berjalan ke pintu keluar, tangannya sedang sibuk memasukan sekeping koin yang terjatuh tadi ke dalam dompetnya sendiri. Seketika dia melihat pencopet itu berlari melewatinya. Ditambah mendengar teriakan 'copet' dari Pria Tua dari kejauhan.     

Tanpa berfikir panjang, Hafiz turut mengejar. Diikuti kemudian oleh orang-orang yang berada di stasiun. Hafiz yang sedang bersemangat mengejar, tiba-tiba diberhentikan oleh seseorang berbadan besar dan atletis didepannya, lalu didorong sampai tersungkur.     

"Cepat kembalikan dompetnya!" bentak pria berbadan besar tersebut.     

"Bukan... bukan, bukan saya pencopetnya. Copetnya tadi lari ke pintu keluar," protes Hafiz panik.     

"Sudah kita pukuli saja!" teriak salah satu dari rombongan orang yang berlari turut mengejar pencopet. Mereka langsung memukuli hafiz tanpa mendengarkan pembelaan dari hafiz.     

Doooooooorrrr...     

Terdengar suara pistol yang ditembakan ke udara. Yang ternyata bersumber dari seorang pria berbadan besar tadi. pistol berjenis Revolver ini sengaja ditembakkan untuk meredam situasi yang mulai ricuh.     

"Semuanya tenang!" bentak pria tersebut. "Jangan ada yang main hakim sendiri jika kalian mau melihat yang namanya keadilan."     

"Kamu mau kembalikan dompet yang kamu genggam itu, atau ikut saya ke kantor polisi!" sambung pria itu tegas kepada Hafiz.     

"Tapi saya bukan pencopetnya, Pak, ini dompet saya sendiri," tolak Hafiz panik.     

"Masih tidak mau mengaku juga kamu," ujar salah satu warga sambil menendang Hafiz yang sudah tergeletak tak berdaya.     

"Iya, mengaku saja kamu daripada mati di sini," tambah warga yang lain.     

"Iya benar, mengaku saja" berondong warga lainnya memojokkan.     

"Sudah, Pak, bawa saja ke Kantor Polisi," imbuh salah seorang warga lain yang semakin menambah suasana ricuh. Semakin banyak mulut yang berbicara semakin tidak terkondisikan keadaan di tempat tersebut. beberapa warga yang tidak ikut andil dalam masalah hanya menonton saja. Ada juga yang merekam dengan ponselnya untuk mengabadikan peristiwa tersebut.     

Dooor... Dooor... Dooor...     

...     

Hafiz sudah merasa dirinya aman dari kejaran warga. Ia pun bersembunyi pada sebuah peti sampah. Ia melipat tubuhnya agar muat di dalam. Kemudian ia tutup peti sampah itu dari dalam. Celah kecil digunakannya untuk mengintip keluar. Orang-orang yang mengejarnya semakin berdatangan. Kini jumlahnya lebih dari sepuluh orang dengan beberapa dari mereka mengangkat sebalok kayu yang sudah jelas akan digunakan untuk memukul dirinya jika tertangkap.     

Rupanya mereka tidak ada yang menyadari keneradaan Hafiz. Mereka hanya berlalu melewatinya. Hafiz masih dengan penuh kecemasan duduk melipat badannya di dalam peti sampah sembari memeluk buku tersebut. Meskipun baunya sangat menyengat dan tidak membuatnya nyaman.     

(Bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     

Sebab, pengetahuan akan sejarah bangsa sendiri sangatlah penting di era milenium seperti sekarang. Meskipun ada embel-embel fiksi, sejatinya genre sejarah mempunyai ruh sendiri dalam membawa kisah-kisah klasik yang sesuai dengan kondisi pada zaman yang diceritakan tersebut. Paling tidak dengan mengkombinasikan sejarah nyata dengan fiksi, mampu membuat sejarah tidak terasa membosankan, justru akan terlihat menyenangkan.     

SALAM WINATA... SALAM KEBEBASAN     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.