NITYASA : THE SPECIAL GIFT

92. Buku Mempesona



92. Buku Mempesona

0Jakarta sebagai kota metropolitan sering dijuluki sebagai kota yang tidak pernah tidur. Hal tersebut menunjukan bahwa aktivitas di Jakarta tidak terhenti meskipun malam sudah semakin larut. Namun, tidak semua tempat menunjukan keramaian setiap saat, jika memasuki jalanan gang-gang sempit, maka Jakarta pun akan sama saja dengan wilayah lainnya ketika malam hari. Bahkan bisa saja lebih mengerikan. Karena dalam sepinya malam, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi. Kejahatan akan mengambil kesempatan emas ini di saat suasana begitu hening dan senyap.     

Motor Honda tipe CB500R keluaran tahun 2018 berwarna merah ceri diparkirkan di depan sebuah mini market yang rolling door nya sudah tertutup rapat. Hanya ada motornya yang diparkirkan. Memang suasana malam yang sepi membuat jalanan di sekitaran pun lengang. Ia kemudian memasang sebuah kunci khusus pada jari-jari velg motornya untuk menghindarinya dari tindak pencurian. Motor semewah itu tentu akan menarik perhatian sepasang mata yang melihatnya.     

Pemiliknya adalah Jibril. Seorang Polisi yang kini sedang menjalankan pekerjaan di luar tugasnya. Padahal bisa saja ia mengejar dan menangkap siapapun yang berani mencuri kendaraan pribadinya itu. Tetapi keadaan menjadi cukup aneh memang, bahwa kenyataannya ia juga akan melakukan hal yang sama, yaitu mencuri. Pekerjaan yang bahkan bertentangan dengan profesinya sebagai seorang yang dijuluki Pihak Keamanan Negara.     

Sengaja motornya diparkir agak jauh dari rumah target yang akan ia curi. Ia harus berjalan lagi sejauh 1 Kilometer menuju rumah target. Setelan yang ia pakai adalah sepatu kedap suara, celana training berbahan tebal warna hitam serta kaos yang ditutup hoodie hijau lumut. Ia bahkan membawa kacamata Infra merah untuk membantunya melihat dalam gelap.     

Perlengkapan yang cukup lengkap untuk ukuran seorang pencuri buku. Ya, dia akan mencuri sebuah buku yang pada sampulnya terdapat lambang daun pohon pinus. Dengan isi di dalamnya tertulis aksara-aksara jawa kuno. Entah apa jenis buku itu dia tidak peduli, yang jelas ia bisa mencurinya dan segera memberikan buku kuno itu kepada Profesor Mat Rudi. Lalu dia bisa mendapatkan imbalan uang yang telah disepakati.     

Sebagai seorang Polisi Sergap yang telah terbiasa mengindik-ngindik ketika memasuki rumah orang tak dikenal, tetap saja kali ini ia sedikit merasa grogi. Sebab, tentu berbeda pula niat dan tujuannya. Jika menjadi pemimpin pasukan Sergap tujuannya untuk menangkap para penjahat dalam rangka memberantas kejahatan, maka untuk yang ia lakukan kali ini justru melakukan tindak kejahatan itu sendiri. Meskipun barang yang ia curi kali ini bukanlah barang berharga menurutnya.     

Berharga atau tidak, semua tergantung dari bagaimana cara pemiliknya menyikapi kepemilikan barang tersebut. Jika setelah ini pemiliknya merasa dirugikan serta merasa kehilangan, maka sudah dipastikan bahwa benda itu berharga. Tetap saja, apa yang Jibril jalani saat ini adalah suatu hal yang salah.     

Ia melihat layar ponselnya untuk memastikan apakah alamat yang ia tuju ini benar. Sejuta pikiran berkecamuk di kepala Jibril saat penjelasannya terdengar pada saat bersamaan ketika tepat di depan pintu pagar tralis rumah tujuannya. "Tidak ada kamera ... Tidak ada yang menonton ... Tidak ada yang menghidupkan alarm ... Ini bukan masalah besar ... Jangan khawatir tentang itu ... " Sekarang matanya yang lebar dengan gugup mengamati jalanan di sekitar. Tidak ada apapun yang mengawasinya. Tidak ada pasang mata yang melihatnya.     

Dan tiba-tiba, ia memanjat pagar teralis dengan lincahnya. Ia memperagakan gerakan parkour yang pernah ia pelajari di sekolah kepolisian. Meskipun di bagian atasnya terdapat besi-besi runcing, ia bisa menghindarinya. Terdengar suara hentakan kakinya ketika mendarat di pelataran rumah nya yang berada di dalam gerbang. tapi tidak sekeras detak jantungnya.      

Dia yakin semua orang bisa mendengarnya jika saja ada yang di situ. Tetapi, Jibril berbalik dengan cepat, tetapi tidak secepat untuk menarik perhatian, dan berjalan berharap tidak ada yang mendengarnya. Menuju pintu, kaki yang beralas sepatu kedap suara itu melangkah namun dengan lemah dan gemetar. Pintu itu terkunci dari luar sepertinya.     

Sebuah langkah segar melengkapi sikapnya ketika lubang kunci pintu itu mampu ia akali dengan mudah dengan sebuah besi yang sudah dimodifikasi. Ia buka sedikit pintu itu, kemudian mengoleskan oli pada bagian engsel pintu sebelum membukanya terlalu lebar. Ini supaya tidak ada bunyi gesekan engsel pintu ketika dibuka lebih lebar.     

Seolah-olah beban yang sangat besar telah disingkirkan dari kepalanya, baginya jika sudah berada di dalam ia akan aman tanpa ada yang melihat. Suasana di dalam pun gelap karena lampunya sengaja dimatikan karena pemilik rumahnya sedang tidak ada di tempat. Ia memilih untuk memakai kacamata infra merah daripada harus menekan saklar menyalakan lampu, ia lakukan itu supaya tidak meninggalkan jejak.     

Ia memasuki sebuah ruangan yang bagian interiornya sama persis seperti yang terlihat di dalam video. Ia kemudian mengecek seluruh rak dan laci meja. Ada sesuatu yang bersinar pada kacamata infra merah nya itu, seolah sebuah benda yang memiliki energi tersendiri. Ia dekati sumbernya itu. Ternyata benar seperti dugaannya. Yang menyala-nyala pada tampilan kacamata infa merah itu adalah lambang daun pinus yang berada pada sampul buku itu. Kemudian ia pun bergegas meraih buku itu dan memasukkan ke dalam bajunya.     

Ia segera keluar kemudian. Ia sudah mendapatkan yang diinginkan, ia harus segera pergi dari rumah itu. Semua barang-barang yang ia geser-geser telah diletakan pada posisi semula, ia kembali mengunci pintu depan dengan alat khususnya sebelum meninggalkan pintu. Ia bahkan membersihkan kembali bekas oli yang ia lumuri pada engsel pintu. Bergegas ia kembali melompati pagar tralis dan keluar.     

***     

Buku itu begitu tebal, hingga ketika Jibril meletakkannya pada meja kerja Profesor Mat Rudi menimbulkan suara hentakan yang keras. Profesor tersenyum bahagia menyaksikan buku itu. Ia menciumi sampulnya lebih dulu sebelum membuka lembar pertamanya.     

"Kau paham aksara jawa, Jibril?" tanya Profesor Mat Rudi mengangkat kacamatanya.     

"Saya kan bukan orang jawa," jawabnya meninggi.     

"Saya juga bukan orang jawa, tapi saya paham." Profesor Mat Rudi tertawa mengekeh seolah bangga. Ia kemudian menoleh ke arah Hafiz yang tengah sibuk mengelap lukisan pada dinding. "Kamu, Hafiz?" tanya Profesor lagi.     

"Saya kenapa, Pak?" tanya balik Hafiz.     

Profesor menghela napas. "Kamu tahu aksara jawa?"     

"Tahu, saya pernah belajar di sekolah."     

"Nah kalau begitu, sini kamu," pinta Profesor. Hafiz kemudian meletakkan kain lapnya dan menghampiri pelan ke arah Profesor. "Nah, coba kamu baca ini..."     

"Niiit-Yaaa-Saaa... Nityasa?" ucap Hafiz.     

"Kamu tahu artinya apa?"     

"Tidak, Pak. Bahasa apa itu?" tanya Hafiz.     

"Nityasa adalah bahasa Sanskerta yang artinya 'Terus Menerus' atau sesuatu yang langgeng nan berumur panjang. Bisa juga dikatakan abadi. Jadi, kemungkinan isi buku ini adalah amalan dari sebuah kekuatan magis yang mampu membuat pemiliknya berumur pribadi."     

"Bapak mau hidup abadi?" tanya Hafiz dengan polosnya.     

"Tentu saja tidak." Profesor menepuk pundak Hafiz. "Ini tugas saya hanya meneliti saja. Saya mencari tahu apakah ini ada hubungannya dengan keris yang saya miliki."     

"Pak... " ceteluk Jibril yang sedari tadi masih berdiri di sampingnya. Profesor menoleh ke arahnya.     

"Kamu ngapain masih di sini?" tanya Profesor.     

"Mana bayaran saya?" tagih Jibril.     

"Makanya cek rekening kamu," kata Profesor yang sedang asik mengamati buku itu. "Sudah... Sudah... Sana ke kantor."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.