NITYASA : THE SPECIAL GIFT

59. Letih



59. Letih

0Malam itu sangat berkabut. Jayendra baru saja sampai di gapura Perguruan Wana Wira. Langkahnya sedikit menjinjit menghindari genangan air bekas hujan sore ini. Dilihatnya halaman pendopo depan sangat sepi, tak seorang pun nampak berjaga di sana tak seperti malam-malam biasanya. Dia merebahkan badannya pada sebuah dipan bambu yang terletak di serambi. Tubuhnya keletihan akibat terlalu jauh berjalan kaki, ditambah laki letak perguruan ini berada di atas kaki Gunung Galunggung yang tentu medannya adalah jalan menanjak.     

Dalam posisi rebah itu, matanya menatap kosong ke langit-langit kanopi. Pikirannya kini sudah sangat bercabang, tidak bisa berfokus memikirkan satu hal saja. Semenjak keluar dari ruangan Sang Patih, Jayendra memang terlihat lebih sering berpikir. Pikirannya seolah tercuci oleh Sang Patih yang ingin mengangkatnya sebagai seorang Senopati. Itu adalah keputusan yang berat baginya. Karena dia mempunyai prinsip untuk hidup bebas tanpa terkekang oleh pengabdian apapun, apalagi menjadi seorang pejabat negara. Di sisi lain dia merasa yang paling bertanggungjawab dalam mengejar Saga Winata, demi menunjukkan baktinya kepada Perguruan.     

Suara napasnya yang terengah-engah sampai kedengaran dari dalam. Sang Guru sudah hapal betul suara muridnya itu meski hanya hembusan napas. Tetapi ia heran kenapa tidak terdengar langkah dan ringkik kuda? Ia kemudian keluar menuju serambi, niatnya ingin menemani Jayendra beristirahat sambil mendengarkan cerita selama Jayendra dipanggil menghadap Sang Patih. Tetapi kini didapatinya Jayendra sudah tertidur lelap. Mahaguru sangat memahami kondisi letih Jayendra. Sudah jelas ia tidak akan tega membangunkannya.     

Tatapan Sang Guru melongok ke pelataran seolah mencari-cari keberadaan Kuda milik Jayendra guna memastikan tebakannya bahwa Jayendra tidak datang membawa kuda. Memang tidak ada ternyata. Biasanya Jayendra menambatkan tali kekangnya pada patok di sisi kanan bangunan. Tetapi kali ini benar-benar tidak ada. Kemudian Sang Guru kembali masuk ke dalam.     

***     

Keesokan paginya, Jayendra terbangun ketika matahari sudah sampai menyinari pelataran. Tanda bahwa hari sudah cukup siang untuk ukuran bangun pagi. Terdengar suara beberapa murid seperti sedang berlatih silat di pelataran. Ketika dia terbangun dan menoleh ke arah latar, memang benar. Sebagian murid sudah sedang semangat-semangatnya berlatih. Disertai Sang Guru ada di antara mereka untuk mengawasi latihan.     

Ia kemudian menggeliat sambil mulutnya menguap. Seorang wanita seumurannya keluar dari pondok membawa nampan berisi air teh dan beberapa kue basah. Wanita itu berjalan ke arahnya sambil tersenyum lebah. Dalam penampilan bangun tidur yang tidak karuan, Jayendra merasa risih dan malu. Dia hanya bisa membalas dengan senyum kecil.     

"Eh, sudah bangun, Kang," sapa wanita itu sembari meletakkan nampan berisi secangkir air teh hangat beserta kue.     

"Tidak perlu repot, Kalyani" Jayendra tersenyum melihatnya. "Kalau lapar kan aku bisa ke belakang sendiri."     

"Tidak apa-apa, Kang." balasnya kemudian. Mata Kalyani menyisir ke depan seolah mencari-cari seseorang. "Tidak bersama Seruni?"     

"Tidak...," jawab Jayendra. "...kenapa?"     

"Eh... Tidak apa-apa, Kang." Kalyani tak mau memberitahu maksud pertanyaannya. Sebetulnya dia hanya merasa tersaingi oleh Seruni. Sebab sebetulnya, dia menyukai Jayendra sudah sejak lama. Bahkan dia yang telah lebih dulu mengenal Jayendra daripada Seruni. Itulah kenapa dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Seruni. Dalam benaknya, Seruni yang baru saja kenal kemarin-kemarin bisa langsung mendapatkan hati Jayendra. Sementara dia sendiri yang sudah cukup lama memberi banyak perhatian selama di perguruan, tak cukup membuat Jayendra memahami perasaannya.     

Di sela-sela latihan, Sang Guru menoleh ke arah serambi, ia langsung berjalan menghampiri Jayendra setelah mendapati bahwa murid tertuanya itu sudah bangun dari tidur. Kalyani yang melihat kedatangan Mahaguru berniat undur diri.     

"Kang..., aku permisi ke dapur dulu kalau begitu," ucapnya pamit. Jayendra cukup mengangguk pelan. Tak lama Jayendra menyeruput air teh tersebut. Kemudian berlanjut memakan kue basah setelahnya. Kedatangan Sang Guru sontak membuatnya sedikit salah tingkah. Dia buru-buru meletakkan kue yang semula dimakannya sementara mulut masih mengunyah. Dia tidak ingin dianggap tidak sopan oleh Sang Guru ketika harus berhadapan sembari mengunyah makanan kalau bukan di meja makan.     

"Sudah, teruskan saja makan mu," ucap Sang Guru.     

"Sudah, Mahaguru," jawabnya mengelak.     

Guru kemudian duduk di sebelahnya. Dia seolah menunggu cerita dari Jayendra tentang apa yang dikatakan Sang Patih kemarin.     

"Bagaimana? Sudah bertemu Gusti Patih Adimukti?" tanya Sang Guru     

"Sudah, Guru." Jayendra menelan kunyahan terakhirnya. Kemudian mendorong sisa-sisa makanan di lehernya dengan air teh nya lagi. "Gusti Patih ingin aku memangku jabatan sebagai Senopati, untuk menggantikan mendiang Gusti Citra Wayang."     

Guru nampak tersenyum bangga mendengar hal itu, muridnya ini akhirnya akan menjadi seorang perwira tinggi. Hal yang sudah lama ia inginkan dari seorang Jayendra. Namun, tentu saja ekspresi senangnya tak sama dengan Jayendra. Dia justru tampak menunjukkan wajah pucat karena bingung.     

"Ternyata Dewata mengabulkan doa-ku," ujar Sang Guru bangga. Memang sudah sejak lama ia ingin Jayendra menjadi seorang perwira meski hanya prajurit biasa, namun ternyata hasilnya lebih dari apa yang dia harapkan. Jayendra adalah murid terbaik sejauh ini. Bukan hanya baik berdasar kemampuan kanuragan nya, tetapi juga secara pemikiran dan kebijaksanaan. "Aku tahu bahwa ini bertentangan dengan prinsip-prinsip mu, Jayendra."     

"Ini pilihan yang sulit bagiku, Guru. Di sisi lain aku harus berbakti kepada perguruan, juga kepada Mahaguru sendiri." Jayendra masih saja merasa berat mengambil keputusan. Dia hanya menunggu gurunya yang membantunya mengambil keputusan.     

"Bukan hanya soal itu, kamu termasuk sangat beruntung bisa langsung menggantikan Senopati tanpa harus meniti karir dari bawah atau melewati sebuah sayembara. Agaknya Gusti Senopati sendiri yang menitipkan mandat ini kepadamu sebelum beliau meninggal." Mahaguru kemudian berdiri lalu menatap ke arah beberapa muridnya yang sedang berlatih di pelataran.     

"Jika bukan kamu, aku harus menunggu beberapa tahun lagi untuk bisa melihat murid ku berhasil menjadi seorang perwira tinggi. Dan hanya mereka lah harapan ku kini." Ucapan Gurunya semakin membuat Jayendra merasa bersalah jika harus menolak permintaan Sang Patih.     

"Itu pun kalau umur ku panjang."     

"Aku tidak bermaksud mengecewakanmu, Guru."     

"Keputusannya ada di tangan mu, tetapi setahu ku, belum pernah ada orang yang berani menolak permintaan Mahapatih."     

"Baiklah, besok aku akan kembali ke Kotaraja untuk menerima mandat itu, Guru." Jayendra sangat berat memutuskan ini, tetapi inilah keputusan terbaik. Dia tidak ingin dianggap egois jika harus mementingkan prinsip-prinsipnya sendiri. Sang Guru tersenyum bahagia mendengar keputusan yang diambilnya itu.     

"Apalagi yang dikatakan Sang Patih?" tanya Gurunya lagi.     

"Beliau juga membicarakan sesuatu yang tidak aku mengerti."     

"Apa itu?"     

"Tentang wasiat Empu Kandang Dewa. Hanya ada satu ajian yang bisa mensiasati kekuatan Kalawasana milik Saga Winata."     

Mahaguru seolah tidak senang mendengar itu,     

"Aku tahu. Sudah... Lebih baik lupakan soal ajian itu."     

"Kenapa, Guru?"     

"Jangan sekali-kali kamu menginginkan ajian terkutuk itu. Atau kamu akan menyesal seumur hidup."     

"Jika memang itu satu-satunya yang bisa mengalahkan Saga Winata, bagaimana?"     

"Pasti ada cara lain."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.