NITYASA : THE SPECIAL GIFT

109. Tahan



109. Tahan

0Kembali ke istana Galuh Raya. Di Kotaraja Saunggalah. langit cerah seperti biasanya, angin mulai bertiup kencang karena memasuki musim pancaroba. Para penduduk kota Saunggalah sudah berkumpul di alun-alun. Hari ini acara besar akan dilaksanakan telat di pagi hari. Yaitu penobatan Senopati baru bernama Jayendra Anggada menggantikan Senopati Citra Wayang yang telah mangkat lebih dulu.     

Jayendra ditemani oleh Mahaguru Sutaredja, Utkarsa, dan Utpala. Sementara dia masih tengak-tengok mencari-cari keberadaan Seruni. Barangkali dia datang untuk menyaksikan penobatannya. Memang seharusnya dia hadir mengingat Jayendra adalah kekasihnya sendiri.     

Ketika seorang tetua adat meminta untuk acara segera dimulai, Jayendra bahkan memohon untuk menunda sebentar lagi demi menanti kedatangan kekasihnya itu. Namun, memang dia benar-benar tidak ada di alun-alun untuk menyaksikannya. Sudah tidak ada waktu lagi baginya menunggu kehadiran Seruni. Kini, dia harus mengiyakan ketika tetua meminta untuk acara segera dimulai.     

Seperti acara-acara besar lainnya, Maharaja Prabu Dharmasiksa duduk di Singgahsana di atas panggung bertingkat, ditemani dua orang permaisuri. Di bawahnya lagi ada Sang Patih Adimukti yang juga turut menyaksikan penobatan.     

Jayendra duduk di batu besar yang sengaja disediakan di tengah panggung. Dia duduk bersila di situ. Para tetua adat merapal doa-doa sebelum menyiramkan air kembang pada tubuh Jayendra. Pakaiannya langsung basah semua karena adat tak mengizinkannya untuk melepas pakaian. Kemudian Sang Patih memakaikannya mahkota simbol jabatan sebagai Senapati.     

Para dayang dan pembantu istana menggantikan pakaian Jayendra yang basah kuyup dengan pakaian simbol kebesaran Sang Senopati dari Kerajaan Galuh Raya. Pakaian dengan banyak perhiasan kalung menggantung di leher. Juga sebuah gelang yang dipasang di lengan.     

Penampilan Jayendra kini berubah drastis. Dari yang semula berpakaian lusuh tak terurus karena fokus menjadi seorang pendekar, kini dia mengenakan pakaian yang didominasi gemerlap sinar dari bajunya. Alas kaki yang awalnya adalah sebuah bakiak kayu, kini harus memakai sepatu berbahan dasar kulit ular.     

Mahaguru menangis haru melihat muridnya kini mengenakan pakaian seorang perwira istana. Dia bahkan yang paling keras bertepuk tangan ketika penobatan Jayendra dianggap sah dan resmi ditandai oleh gong yang dipukul. Namun, kebahagiaan itu bagi Jayendra tidak lah sempurna. Karena kekasihnya tidak hadir di hari pentingnya ini.     

***     

Sementara itu, jauh di bukit Pakembangan, di dekat Curug Sangkol, Saga Winata sedang berbincang dengan Nyari Rangkih pada sebuah serambi pondok. Kemudian datang seorang wanita yang wajahnya masih ayu berseri layaknya seorang gadis. Ia membawa nampan berisi air minum dan kue. Dia kemudian kembali lagi ke dapur.     

"Dia putri mu, Nyai?" tanya Saga yang terkagum dengan kecantikan wanita tersebut.     

"Orang-orang mengira kami sudah mati. Sehingga menjadikan kami sebagai Legenda," ujar Nyair Rangkih entah aoa maksudnya, tetapi Saga lebih memperhatikan kata 'kami' dalam ucapan Nyai Ringkih itu.     

"Kami?" tanya Saga memperjelas. Dia tak mengerti maksud dari legenda selain Nyai Rangkih itu sendiri. Jika dia menyebutnya Kami berarti lebih dari satu termasuk dirinya.     

"Iya. Wanita yang kau kira gadis itu adalah Nyai Senandung Wulan," ujar Nyai Rangkih membuat Saga terkejut. "Umurnya sama denganku, karena dia adalah sahabatku sedari kecil."     

Saga terkejut heran, bagaimana bisa seseorang dengan umur sama mempunyai fisik yang jauh berbeda.     

"Tetapi maaf, kenapa dia masih terlihat sangat muda sementara nyai... "     

"Ajian Nityasa membuat wajahnya bukan hanya muda, tetapi juga abadi."     

"Abadi?"     

"Di sini aku tinggal tidak hanya berdua. Tetapi bersembilan orang."     

"Mana yang lain?"     

"Yang tujuh adalah seorang yang sengaja kami angkat sebagai anak asuh, aku mendapatkan mereka ketika masih bayi, kehidupannya membahayakan."     

"Apakah mereka tahu soal Nyai?".     

" Jangan sampai mereka tahu."     

"Ada di mana mereka sekarang?"     

(Bersambung...)     

***     

HALO PEMBACA KALI INI AUTHOR AKAN MEMBEDAH BEBERAPA KARAKTER     

DARA HARINA : Seorang penyayang binatang yang polos dan apa adanya     

DARA LAHITA : Seorang penari yang dewasa     

DARA KALILOKA : Seorang pemusik yang tuna wicara.     

DARA KEMELING : Seorang gadis pecinta tumbuhan namun sifatnya keras dan tempramen     

DARA JENAR : Seorang gadis yang jago memasak.     

DARA CEMANI : Seorang gadis yang pandai dalam ilmu pengobatan.     

DARA MARGASARI : Seorang gadis yang pandai melukis.     

Kembali ke istana Galuh Raya. Di Kotaraja Saunggalah. langit cerah seperti biasanya, angin mulai bertiup kencang karena memasuki musim pancaroba. Para penduduk kota Saunggalah sudah berkumpul di alun-alun. Hari ini acara besar akan dilaksanakan telat di pagi hari. Yaitu penobatan Senopati baru bernama Jayendra Anggada menggantikan Senopati Citra Wayang yang telah mangkat lebih dulu.     

Jayendra ditemani oleh Mahaguru Sutaredja, Utkarsa, dan Utpala. Sementara dia masih tengak-tengok mencari-cari keberadaan Seruni. Barangkali dia datang untuk menyaksikan penobatannya. Memang seharusnya dia hadir mengingat Jayendra adalah kekasihnya sendiri.     

Ketika seorang tetua adat meminta untuk acara segera dimulai, Jayendra bahkan memohon untuk menunda sebentar lagi demi menanti kedatangan kekasihnya itu. Namun, memang dia benar-benar tidak ada di alun-alun untuk menyaksikannya. Sudah tidak ada waktu lagi baginya menunggu kehadiran Seruni. Kini, dia harus mengiyakan ketika tetua meminta untuk acara segera dimulai.     

Seperti acara-acara besar lainnya, Maharaja Prabu Dharmasiksa duduk di Singgahsana di atas panggung bertingkat, ditemani dua orang permaisuri. Di bawahnya lagi ada Sang Patih Adimukti yang juga turut menyaksikan penobatan.     

Jayendra duduk di batu besar yang sengaja disediakan di tengah panggung. Dia duduk bersila di situ. Para tetua adat merapal doa-doa sebelum menyiramkan air kembang pada tubuh Jayendra. Pakaiannya langsung basah semua karena adat tak mengizinkannya untuk melepas pakaian. Kemudian Sang Patih memakaikannya mahkota simbol jabatan sebagai Senapati.     

Para dayang dan pembantu istana menggantikan pakaian Jayendra yang basah kuyup dengan pakaian simbol kebesaran Sang Senopati dari Kerajaan Galuh Raya. Pakaian dengan banyak perhiasan kalung menggantung di leher. Juga sebuah gelang yang dipasang di lengan.     

Penampilan Jayendra kini berubah drastis. Dari yang semula berpakaian lusuh tak terurus karena fokus menjadi seorang pendekar, kini dia mengenakan pakaian yang didominasi gemerlap sinar dari bajunya. Alas kaki yang awalnya adalah sebuah bakiak kayu, kini harus memakai sepatu berbahan dasar kulit ular.     

Mahaguru menangis haru melihat muridnya kini mengenakan pakaian seorang perwira istana. Dia bahkan yang paling keras bertepuk tangan ketika penobatan Jayendra dianggap sah dan resmi ditandai oleh gong yang dipukul. Namun, kebahagiaan itu bagi Jayendra tidak lah sempurna. Karena kekasihnya tidak hadir di hari pentingnya ini.     

***     

Sementara itu, jauh di bukit Pakembangan, di dekat Curug Sangkol, Saga Winata sedang berbincang dengan Nyari Rangkih pada sebuah serambi pondok. Kemudian datang seorang wanita yang wajahnya masih ayu berseri layaknya seorang gadis. Ia membawa nampan berisi air minum dan kue. Dia kemudian kembali lagi ke dapur.     

"Dia putri mu, Nyai?" tanya Saga yang terkagum dengan kecantikan wanita tersebut.     

"Orang-orang mengira kami sudah mati. Sehingga menjadikan kami sebagai Legenda," ujar Nyair Rangkih entah aoa maksudnya, tetapi Saga lebih memperhatikan kata 'kami' dalam ucapan Nyai Ringkih itu.     

"Kami?" tanya Saga memperjelas. Dia tak mengerti maksud dari legenda selain Nyai Rangkih itu sendiri. Jika dia menyebutnya Kami berarti lebih dari satu termasuk dirinya.     

"Iya. Wanita yang kau kira gadis itu adalah Nyai Senandung Wulan," ujar Nyai Rangkih membuat Saga terkejut. "Umurnya sama denganku, karena dia adalah sahabatku sedari kecil."     

Saga terkejut heran, bagaimana bisa seseorang dengan umur sama mempunyai fisik yang jauh berbeda.     

"Tetapi maaf, kenapa dia masih terlihat sangat muda sementara nyai... "     

"Ajian Nityasa membuat wajahnya bukan hanya muda, tetapi juga abadi."     

"Abadi?"     

"Di sini aku tinggal tidak hanya berdua. Tetapi bersembilan orang."     

"Mana yang lain?"     

"Yang tujuh adalah seorang yang sengaja kami angkat sebagai anak asuh, aku mendapatkan mereka ketika masih bayi, kehidupannya membahayakan."     

"Apakah mereka tahu soal Nyai?".     

" Jangan sampai mereka tahu."     

"Di mana mereka sekarang?"     

***     

(Bersambung....)     

***     

Halo guys, kali ini kenalan yuk sama beberapa latar belakang karakter utama. Kali ini untuk Jayendra dan Saga Winata ya.     

JAYENDRA ANGGADA     

Hidup sebagai seorang murid generasi awal dari perguruan Wana Wira. Ketika semua teman-teman seangkatannya lulus perguruan dan mengabdikan diri sebagai perwira negara di Kerajaan Galuh, Jayendra memilih untuk mengabdikan diri kepada masyarakat sebagai pendekar bebas yang menjaga keamanan para warga desa dari ancaman-ancaman kejahatan, termasuk dari tindakan para tuan tanah yang lalim.     

Baginya, ada dua perbedaan besar antara pengabdian langsung kepada masyarakat dengan pengabdian keterikatan dengan negara. Pengabdian langsung tak membatasinya dalam mengambil keputusan yang menurutnya benar, pengabdian keterikatan terlalu banyak aturan prosedural yang justru terlalu rumit sehingga mengesampingkan hal-hal yang sifatnya disegerakan.     

SAGA WINATA aka SUKMARAGA     

Sebagai anak dari seorang pejabat negara, tak lantas membuat dirinya terpuaskan dengan segala kesediaan materi. Tetapi kebutuhannya untuk hidup sebagai pria dewasa lebih dari itu.     

Hidup dalam lingkungan kedaton membuatnya seolah terkurung dalam sangkar emas. Baginya, hidup sebagai manusia berkecukupan namun tak mampu berbuat sesuatu kepada yang membutuhkan adalah penjara kemiskinan yang sesungguhnya.     

Tanpa sepengetahuan Sang Ayah, seringkali Sukmaraga melarikan diri dari aturan-aturan pejabat. Dia mencoba bergaul ke dunia luar untuk mencari-cari siapapun yang membutuhkan pertolongannya.     

Dia lah anak pejabat yang justru membenci pejabat. Dia sangat tidak menyukai sifat-sifat orang kaya yang banyak menghamburkan harta untuk hal tak berguna sementara di sekitar masih banyak manusia kelaparan. Mereka juga mempunyai hak yang sama.     

Dia melakukan segala macam cara untuk memenuhi hak-hak manusia, termasuk dengan merampok harta-harta orang kaya untuk diberikan kepada warga desa yang miskin.     

Dia tidak beraksi sendiri. Beberapa tahun menjalani pekerjaannya itu, dia membentuk koloni yang terdiri dari orang-orang tuna wisma. Mereka menobatkan diri sebagai keluarga yang bernama Winata yang berarti kebebasan. Juga namanya yang dijuluki sebagai SAGA WINATA.     

Sebagai seorang guru yang menjadi mitra keluarga raja, Sutaredja atau bagi kalangan bangsawan menyebutnya Guru Su, seringkali menanamkan nilai-nilai kebaikan terlebih dahulu sebelum mengajarkan ilmu beladiri kepada murid-muridnya.     

Tak hanya mengajarkan secara lisan, juga tindakan. Beliau selalu mempertimbangkan segala keputusan yang diambilnya dalam kehidupan sehari-hari sebijak mungkin, karena apa yang dia lakukanlah yang akan menjadi contoh bagi murid-muridnya.     

Perguruan Wana Wira yang dia asuh, menjadi salah satu yang melahirkan bibit-bibit para abdi negara.     

selamat menikmati.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.