NITYASA : THE SPECIAL GIFT

104. Pertambangan emas



104. Pertambangan emas

0Hafiz sudah merasa dirinya aman dari kejaran warga. Ia pun bersembunyi pada sebuah peti sampah. Ia melipat tubuhnya agar muat di dalam. Kemudian ia tutup peti sampah itu dari dalam. Celah kecil digunakannya untuk mengintip keluar. Orang-orang yang mengejarnya semakin berdatangan. Kini jumlahnya lebih dari sepuluh orang dengan beberapa dari mereka mengangkat sebalok kayu yang sudah jelas akan digunakan untuk memukul dirinya jika tertangkap dan tidak kembali.     

Rupanya mereka tidak ada yang menyadari keneradaan Hafiz. Mereka hanya berlalu melewatinya. Hafiz masih dengan penuh kecemasan duduk melipat badannya di dalam peti sampah sembari memeluk buku tersebut. Meskipun baunya sangat menyengat dan tidak membuatnya nyaman.     

Dalam keadaan napas yang masih terengah-engah, ia merasa lega ketika tahu orang-orang tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Ia menelan ludah dan kembali membuka buku itu, ia buka halaman yang menunjukan rapalan Ajian Kelana Warsa. Butuh beberapa kali untuk ia kembali membaca dan berkonsentrasi pada tujuannya. Kemudian keadaan perpindahan menuju dimensi empat pun terjadi lagi. Dengan cahaya putih yang memancar dari buku.     

Cahaya bersinar terang memancar dari lembar buku itu, seketika tempat yang ia singgahi turut terpancar cahaya yang amat sangat menyilaukan mata, suasana di sekitar berubah memutih. Hafiz memejamkan mata karena kepedihan akibat matanya terpapar cahaya yang begitu benderang.     

Beberapa lama kemudian tubuhnya seolah terlempar jauh melayang-layang, tempat yang semula terang sampai memutih tiba-tiba redup kembali dan malah menjadi hitam dan gelap. Ia melewati semacam ruang hampa, bahkan ia kesulitan untuk bernapas karena tak ada materi oksigen di sana.     

Ia beralih ke materi kosong yang benar-benar gelap tanpa ada cahaya sedikit pun. Seketika sesuatu seperti menghisap tubuhnya. Semacam lubang berwarna lebih gelap lagi menganga menariknya masuk. Ia memasuki lorong yang sama seperti sebelumnya. Hafiz masih saja melihat penampakan visual dari beberapa bayangan kehidupannya yang terpampang pada dinding-dinding lorong. Namu ia tak tahu-menahu bagaimana caranya bisa menuju waktu yang tepat.     

Seketika matanya tertuju pada sebuah titik biru gelap di depan saja. Tempat yang belum pernah ia gagahi. Titik biru gelap itu semakin membesar selagi ia melayang semakin dekat. Ia berharap mampu menemukan sesuatu di sana. Barangkali mungkin semacam kemampuan untuk bisa lebih bebas memanipulasi waktu. Kemudian ia semakin mendekati titik biru gelap yang kini sudah berubah menjadi lingkaran besar. Ini seperti lubang di dalam lubang. Dengan memasukinya, kemungkinan ia akan menemukan kembali lorong yang lain.     

Lubang itu semakin menganga menerima tubuhnya untuk masuk. Di dalam sana ia merasakan suara gemuruh yang amat nyaring, hampir saja memecahkan gendang telinga. Suara itu berasal dari tampilan visual pada dinding lorong yang kini sudah semakin berbeda. Ini bukan seperti tampilan pengalaman hidupnya lagi. Ini lebih seperti tampilan pengalaman dunia. Bahkan mundur ke belakang melewati waktu kelahirannya sendiri.     

Visual dunia yang dimaksud adalah tampilan dari rentetan peristiwa-peristiwa penting yang dialami dunia yang berpengaruh terhadap peradaban manusia sekarang. Gambar pada visual itu diambil dari sudut pandang isi kepalanya ketika membayangkan suatu tragedi atau cerita dunia pada masa lalu.     

Semula ia menyaksikan peristiwa gerakan Reformasi tahun 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Begitulah tampilan yang sebagian besar didominasi adegan demo anarkis dan unjuk rasa, dan ditutup oleh pidato pengunduran diri presiden kala itu.     

Lalu selanjutnya digambarkan peristiwa perebutan Irian Jaya atau Papua. Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan Aksi Bebas Pilihan di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.     

Agak jauh ke belakang lagi, muncul gambaran peristiwa demonstrasi besar-besaran pada era orde lama, Yang dipicu oleh jatuhnya perekonomian Indonesia, lalu kemudian visual itu ditutup oleh kematian Presiden pertama dan pelantikan Presiden Kedua.     

Hingga tampilan berubah lagi dimana lambang Partai Komunis muncul pada dinding lorong, juga aksi-aksi pemberantasan pemberontakan kelompok tersebut yang telah menjadi tragedi kelam dalam sejarah indonesia.     

Semakin jauh tubuh Hafiz melayang-layang, semakin jauh pula mundurnya tampilan waktu. Kini ia harus melewati gambaran di awal-awal tahun kemerdekaan, ia melihat sebuah adegan ketika Presiden pertama membacakan teks proklamasi kemerdekaan, baru setelah itu berlanjut kepada zaman penjajahan di mana negeri ini dikuasai oleh pemerintah Belanda yang juga tanah ini bernama Hindia Belanda.     

Lalu gambaran bendera VOC turut muncul dalam dinding lorong tersebut, bendera yang terlihat berkibar diterpa angin. Sebuah peperangan antara kesultanan Mataram dan pasukan VOC tampil di sebuah lapangan luas di daerah Batavia. Nama kota lama Jakarta.     

Mundur kembali ke masa di mana VOC belum datang, yaitu peristiwa-peristiwa besar seperti perang antar kerajaan di nusantara, konflik-konflik daerah, bencana besar letusan Gunung api, banjir bandang dan gempa bumi, serta semua tragedi-tragedi penting yang terjadi di Tanah Jawa.     

Melayang-layang pada lorong yang semakin jauh itu menemui pangkal masa nya. Ia kemudian memasuki satu portal dimensi besar yang menjadi pembatas antara dimensi empat dan dimensi tiga. Di situlah akhirnya tubuhnya terlempar pada tanah permukaan bumi kembali. Portal itu menutup seketika berbarengan dengan jatuhnya tubuhnya di rerumputan.     

Bukan hanya waktu yang berubah, tampilannya juga berubah. Ia kini berpakaian sederhana dengan mengenakan rompi setengah telanjang dada, juga celana yang dibentuk dari kain jarik yang diikatkan pada pahanya. terompak kayu mengalasi telapak kakinya. Ini lebih seperti tampilan seorang pemuda desa pada zaman klasik. Sepertinya tubuhnya kini telah terlempar jauh. Jauh ke masa di mana pakaian tersebut dipakai selayaknya manusia pada zaman itu.     

Tempat itu tadinya terlihat seperti padang rumput luas, Ia tidak tahu, matanya masih belum terbuka sepenuhnya karena masih merasakan sakit pada punggungnya akibat terbentur tanah. Namun, ketika Hafiz akhirnya membuka mata, didapati bahwa tanah berrumput itu hanya satu petak saja. Sedangkan di sekelilingnya hanyalah tanah gembur berwarna merah. Ia masih terbaring kesakitan saat melihat sekeliling. Ini bukanlah tanah subuh yang dipenuhi tumbuhan hijau nan lembab, bukan pula tanah gersang nan kering.     

Matanya terbelalak kaget melihat tak jauh dari sekitarnya terdapat banyak sekali tanah cekungan, juga beberapa orang yang sedang menggali tanah dengan gancu. Bahkan dalam cekungan itu terdapat lubang-lubang lagi yang sepertinya mengarah ke bawah tanah.     

Seseorang menghampirinya saat ia belum mengusaikan kekagetannya. Orang itu berpakaian layaknya pekerja lain, hanya saja ia memakai helm logam yang menutupi kepala bagian atas. Ia terlihat sedang bergegas menghampiri Hafiz dengan wajah penuh kegeraman. Di tangan kanan orang itu tergenggam sebilah batang kayu.     

Ketika ia mendekat, orang itu langsung memukul Hafiz. Sehingga Hafiz mengaduh kesakitan. Bahkan ia dibuat kebingungan kenapa tiba-tiba orang tersebut memukulnya. Orang yang penampilannya berumur sekitar 40 tahunan ini terus saja memukul paha Hafiz dengan batang kayu itu tanpa berkata apapun. Sepertinya memang ia tidak diizinkan berada di situ. Maka Hafiz pun terbangun dari posisi rebahnya.     

Ia kemudian berlari menjauh darinya. Tetapi, tiba-tiba orang itu menahannya.     

"Mau kemana kamu!?" serunya setengah membentak.     

Hafiz menghentikan langkah dan menoleh ke arah pria itu. Wajah pria tersebut terlihat merah dan tidak ramah.     

"Sini, kamu!" panggilnya membentak. "Sini!"     

Hafiz setengah ragu menghampiri pria tersebut pelan. Ia memandangi bilah kayu yang digenggam oleh pria tersebut, takut sewaktu-waktu orang itu memukulnya lagi. Benar saja, ketika Hafiz sudah mendekat, ia kembali memukulkan bilah kayu ke paha kanan Hafiz hingga ia jatuh kembali.     

"Yang lain kerja, kamu malas-malasan, hah!?" kata pria itu bertolak pinggang melototinya.     

"Ampun, Pak. Ini ada apa?" tanya Hafiz.     

"Kamu tahu bagaimana akibatnya kalau ada pekerja yang malas-malasan?" tanya pria itu.     

"Pekerja?" gumam Hafiz lirih.     

"Akibatnya Gusti Adipati bisa marah dan menutup tempat ini. Kamu mau tanggung jawab? Hah? Kamu mau menghidupi mereka?" pria itu menunjuk ke arah pekerja lainnya yang tengah sibuk menyebar untuk menggali tanah.     

"Sekarang, ambil gancu mu, mulai menggali bersama ku." Pria itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah gubuk yang menjadi tempat penyimpanan peralatan.     

Hafiz berjalan memungut sebuah gancu yang telah tersedia di tempat itu. Sementara orang yang semula memarahinya kini meninggalkannya. Ia bersiap mengikuti para pekerja lain yang sedang menggali tanah. Kebingungan ini sungguh tak berpangkal. Ia semakin tidak tahu apa yang sedang terjadi, di mana ini? Tahun berapa ini? Kenapa ia harus mengikuti perintag pria nyaris tua itu?     

Namun, keluhan itu tak lantas membuatnya membelot. Ia mengalah untuk menuruti perintah pria itu. Kepada seorang pekerja lainnya yang tengah sibuk menggali dengan menggunakan cangkul, ia menghampiri.     

"Maaf, mana yang harus saya gali?" tanya Hafiz kepada dia seorang pekerja.     

"Di samping ku saja, akan lebih ringan kalau kita kerjakan berdua," jawab pekerja itu. Hafiz bahkan tidak tahu dengan apa yang ia gali. Ya, tentu saja tanah. Tetapi, benda apa yang sedang mereka cari, itulah pertanyaannya.     

"Siapa nama kamu?" tanya Hafiz kepada pekerja di sebelahnya itu.     

"Lana. Dan kamu?"     

"Hafiz." Ia bersalaman dengan menggoyangkan tangannya.     

"Knapa kamu tidur di hari pertama kerja?" tanya Lana.     

"Saya...? Tidur...?"     

"Baru pertama kali kerja di pertambangan?"     

"Pertambangan...?"     

"Sepertinya kamu baru saja ditipu teman," kata Lana tersenyum. "Siapa yang mengajakmu bekerja di sini? Teman kamu itu tidak mengatakan kalau kamu akan bekerja di tambang emas?"     

"Emas...?"     

Lana menghentikan penggaliannya sambil menggeleng kepala. Ia menghela napas .     

"Kamu pikir kita menggali untuk apa?" kata Lana sedikit tertawa. "Kamu ini polos atau benar-benar tidak tahu?"     

"Saya beneran nggak tau." Hafiz terus menggali tanah dengan mengayunkan gancu nya. "Orang tadi siapa namanya?"     

"Yang menggebuk mu?" tanya Lana tertawa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.