NITYASA : THE SPECIAL GIFT

84. Tentang Harga Diri



84. Tentang Harga Diri

0"Maafkan atas kelancangan hamba, Gusti," kata Utkarsa pelan.     

"Tidak apa-apa, Paman." Jayendra kemudian menuruni kuda dan membalas hormatnya. "Aku masih Jayendra kerabat Paman. Bersikap lah seperti biasa."     

"Hamba hanya tidak habis pikir, kenapa makhluk laknat ini Gusti ajak kemari." Sambil menunjuk Ki Menyawak.     

"Apakah dia punya salah dengan mu, paman?" tanya Jayendra.     

"Dia pernah merampok adikku yang seorang pedagang kecil." Utkarsa menunjuk wajah Ki Menyawak. kemudian Ki Menyawak turun dari kuda merasa geram kemudian berbalas melotot.     

"Salahmu sendiri lebih memilih melindungi para pedagang lainnya dibanding adikmu sendiri...!" Seru Ki Menyawak berbalas menunjuk.     

Tanpa basa-basi lagi, Utkarsa langsung memukul wajahnya. Maka terpental Ki Menyawak ke belakang. Ia belum siap menerima serangan sehingga mudah terkena pukulan.     

"Aku pikir perdebatannya akan lebih lama." Ki menyawak mengelap luka di keningnya akibat terkena goresan cincin yang dikenakan Utkarsa.     

"Gayaku bukanlah petarung yang banyak omong!" ujar Utkarsa.     

Ki Menyawak akhirnya bangkit dan kembali melawan. Ia mengeluarkan pedang dari sarungnya. Sementara Utkarsa sudah pasang kuda-kuda sambil bersiap melawan. Ia memegangi tombaknya mengarah kepada Ki Menyawak.     

Kini Pedang dihunuskan dengan cepat dan lincah. Sementata tombak Utkarsa masih terus menahannya. Ia masih cukup lincah pula mengimbangi serangan Ki Menyawak. Tubuhnya terus menari-nari menanggapi serangan Ki Menyawak.     

Jayendra yang menyaksikan itu tak mau turut campur, ia kemudian mendekari gurunya. Ia mencium tangan gurunya dan kembali menyaksikan pertarungan mereka kembali.     

"Bagaimana ini, Guru?" tanya Jayendra.     

"Biarkan mereka mengurusi urusannya sendiri, ketika keadaan sudah menjelang fatal, baru kita tolong."     

Utkarsa mengayunkan tombaknya mengarah ke depan. Ki Menyawak mampu mengendalikan serangan yang dilancarkan oleh Utkarsa. Ketika tombak menghunus ke arah pinggang, ia memundurkan perutnya supaya tidak terkena sabetan gagang tombak. Kemudian Utkarsa menyerang kaki Ki Menyawak yang beralaskan terompak kayu itu. Gelang pada kakinya mengeluarkan bunyi gemerincing ketika mengangkat untuk menghindari serangan tombak.     

Beberapa kali ia hanya bisa menghindari serangan. Ki Menyawak tak mau kalah. Ia tak mau hanya menghindari serangan saja. Ia kali ini juga bersiap untuk menyerang. Pedang kemudian ia sabet ke depan sehingga mengenai dada Utkarsa. Pendekar tua itu mundur beberapa langkah setelah terkena sabetan pedang. Ia menunduk mengecek kondisi dadanya yang tersayat itu. Rupanya ujung mata pedang hanya mampu merobek pakaiannya. Sedangkan bagian dadanya tidak terluka sedikit pun.     

Ki Menyawak tak mau menyerah, ia langsung melancarkan serangan pedangnya lagi. Melihat kelihaian Utkarsa ketika menghindari serangan lawan, ia harus berpikir keras untuk mensiasatinya. Kali ini ia harus menggunakan satu teknik serangan yang tidak mudah ditebak. Maka ia melompat salto ke atas melewati tubuh Utkarsa sehingga tiba-tiba ia sudah di belakangnya. Namun, karena salto Ki Menyawak terlalu lambat, menjadi sangat mudah bagi Utkarsa untuk mengetahui rencanya Ki Menyawak.     

Kemudian tombak disapu ke belakang. Ki Menyawak baru saja mendarat dari lompatan saltonya, ia harus menerima satu serangan tombak. Terkejutlah ia tiba-tiba ayunan tombak berada di depan kepalanya. Ia sudah sangat berhati-hati sehingga mampu menghindari serangan tombak milik Utkarsa. Ia pun berbangga diri karena sudah mampu menghindari serangan Utkarsa yang tiba-tiba itu. Tawanya mengakak menggema di antara pepohonan pinus di sekitar Perguruan Wana Wira.     

"Ilmu mu cetek, Pendekar tolol!" umpat Ki Menyawak meremehkan. Ia kemudian memperagakan sebuah gerakan jurus yang ia namai Biawak Lapar Menerkam Itik. Gerakannya benar-benar seperti seekor biawak. Kedua tangan dan kakinya bertumpu ke tanah. Layaknya hewan melata, ia merayap dengan cepat melewati kolong selangkangan Utkarsa hingga ketika ia berdiri langsung mengigit leher Utkarsa dari belakang.     

Utkarsa meraung raung kesakitan, Darah mengalir dari lehernya itu. Gigitan yang begitu kuat tak kunjung lepas membuat rasa sakitnya tak berkesudahan. Semula ia ingin memukulkan tombaknya ke belakang, namun karena kondisinya kini sedang kesakitan, maka genggaman tangan pada tombaknya pun terlepas.     

Jayendra yang menyaksikan itu sedikit geram, ia kemudian segera berlari ke arah mereka. Namun tiba-tiba Utpala mengulurkan lengan ke samping untuk menahannya.     

"Biarkan, Gusti. Dia bisa mengatasinya sendiri!" kata Utpala. Jayendra kemudian kembali mundur dengan raut wajah khawatirnya.     

Tak mau kalah, Utkarsa juga hendak mempersiapkan jurus yang tidak kalah menyakitkan. Jurus Gulat Kerbau yang pernah ia pelajari dari lawannya terdahulu. Jurus ini sebetulnya lebih cocok untuk menghadapi lawan yang tubuhnya lebih besar darinya. Tetapi dalam keadaan terdesak apalagi tanpa senjata, ini pun bisa ia gunakan.     

Kaki kanan Utkarsa dimundurkan ke belakang memasuki celah langkah Ki Menyawak. Saat itulah kedua tangannya menggapit kepala Menyawak kemudian ia membungkuk untuk mengangkat tubuh lawannya itu agar bisa diputar lalu dihempaskan ke tanah. Utkarsa membanting tubuh lawannya itu. Tubuhnya benar-benar dibanting ke tanah hingga mengeluarkan suara gebrakan yang nyaring. Tanah seketika menjadi retak dan berasap.     

Ki Menyawak tentu saja merasakan kesakitan yang amat sangat. Wajahnya meringis kesakitan. Ia tergeletak tidak bisa bangun lagi. Tidak ada luka luar yang ia miliki, hanya saja mungkin tulang belakangnya retak atau patah.     

Pada kesempatan itu, Utkarsa memungut kembali tombaknya, dengan leher bagian belakang masih berlumur darah bekas gigitan, Ia pungut senjata andalannya itu. Ia mengerang penuh dendam. Sesaat kemudian ia ayunkan ke belakang tombaknya untuk mengumpulkan tenaga. Ia mengincar ulu hati Ki Menyawak yang akan ia tikam dengan senjata pamungkasnya. Ketika tenaga sudah terkumpul, barulah ia bersiap melancarkan ujung tombaknya.     

"Berhenti!" seru Jayendra. Ia lalu berlari mendekati mereka. Utkarsa yang melihat itu langsung mengurungkan niatnya. "Jangan bunuh dia, Paman!"     

"Orang ini harus mati sekarang juga , Gusti."     

"Jangan! Aku membutuhkan dia. Hanya dia satu-satunya jalan bagiku untuk menemukan keberadaan Saga Winata." Bujukan Jayendra yang meyakinkan membuat Utkarsa kini menjatuhkan tombaknya sendiri. Ia pun harus meredam nafsu ingin membunuhnya karena sangat menghormati permintaan Jayendra.     

"Lihat, kamu masih aku kasihani. Kamu masih punya kesempatan hidup." Utkarsa menunjuk-nunjuk wajah Ki Menyawak yang sekarat itu. Meskipun dalam keadaan kesakitan, Ki Menyawak masih sempat tersenyum meledek. Ia tahu betul pergolakan batin Utkarsa yang batal membunuhnya adalah keuntungan bagi dia sendiri.     

"Kamu berhutang pada Gusti Jayendra. Jika kamu tidak bisa membantu Jayendra untuk melancarkan urusannya, kamu akan aku cari dan langsung ku bunuh." Utkarsa kembali menunjuk-nunjuk. Kali ini bernada mengancam.     

"Terima kasih, Paman," ucap Jayendra ketika Utkarsa memungut kembali tombaknya. Ia berterima kasih karena permintaannya dituruti meskipun Utkarsa harus menanggalkan dendam pribadinya.     

Meski begitu, rasanya tak sepenuh hati Utkarsa melakukannya. Sebab, ia juga tiba-tiba memasang wajah masam kepada Jayendra. Meskipun selama ini ia sudah menganggap Jayendra sebagai saudara sendiri. Namun, atas tindakannya itu memaksa dia harus mengorbankan kesempatan untuk membalas dendam kepada Ki Menyawak.     

"Ayo, Pala. Kita pergi." Utkarsa mengajak Utpala untuk pergi. Mereka memang semula hendak berniat pergi, bahkan sebelum Jayendra datang. Utpala menghampirinya sambil memberikan buntalan kain berisi pakaian. Ia membungkuk hormat ke arah Jayendra hendak meminta izin.     

"Kalian hendak kemana, Paman?" tanya Jayendra.     

"Kami akan kembali ke Gunung Pangrango. Di sini sudah tidak ada urusan lagi." Setelah mengatakan itu, Utkarsa dan Utpala menaiki kuda yang sudah menunggunya di depan gapura. Utkarsa berlalu meninggalkan perguruan tanpa memberi salam hormat kepada Jayendra. Tidak seperti yang dilakukan Utpala.     

Ketika mereka berjalan beberapa jarak dari gapura perguruan, Utpala berbisik pelan. "Kamu terlihat kesal sama Jayendra?"     

"Apa kelihatan begitu?" tanya Utkarsa kembali.     

"Kamu bisa membunuh Menyawak lain kali, Karsa. Tapi, kali ini Jayendra memang butuh Ki Menyawak untuk mencari Saga Winata. Sepertinya Jayendra sudah sangat putus asa." Utpala menenangkan saudara kembarnya itu.     

Kini kuda yang mereka tunggangi sudah memasuki jalanan menurun yang berisi jajaran pohon pinus berbaris rapi. Mereka terlihat memelankan jalannya kuda karena berhati-hati dengan jalanan yang terjal.     

"Sebenarnya bukan cuma karena itu yang membuatku sedikit kecewa dengan Jayendra," kata Utkarsa lagi.     

"Lantas?" tanya Utpala penasaran. Ia menunggu pernyataan yang lebih mengejutkan dan masuk akal dari saudara kembarnya itu.     

"Kita sudah membantunya mencari Saga Winata, bahkan aku pernah turut berkorban dan terbaring sakit beberapa minggu. Sementara dia meraih jabatan, kita tidak dapat apa-apa."     

"Tidak boleh iri begitu, Jayendra dipilih mungkin karena punya kemampuan lain. Jadi seorang Senopati itu bukan cuma modal kesaktian. Tetapi juga olah pikiran."     

"Aku tidak perlu jabatan, sama sekali tidak. Aku sadar diri kalau aku bukan orang pintar seperti Jayendra. Modalku hanya pengalaman bertarung yang lebih banyak. Tetapi, setidaknya dia ingat budi kita, kan bisa saja dia kasih kita beberapa imbalan uang atau barang. Lagipula dulu Senopati Citra Wayang yang berjanji ingin menyisihkan harta pribadi, sekarang harapan itu pupus karena beliau meninggal, harusnya Jayendra pula yang mewarisi janji itu."     

"Kalau begitu ayo kita kembali ke Wana Wira. Kita bicarakan ini kepada Jayendra." Utpala menghentikan laju kudanya. Kemudian Utkarsa pun turut berhenti.     

"Tidak usah ngawur. Kita pendekar bukan pengemis, Pala." Utkarsa meskipun mempunyai keinginan besar, namun ia juga punya prinsip yang harus terus ia genggam. Tidak mungkin serta merta ia meminta suatu imbalan dengan cara memalukan. Meskipun itu sudah menjadi haknya sendiri.     

"Jika memang kamu merasa itu adalah hak kita, kenapa tidak?" tanya Utpala meyakinkannya kembali.     

"Jelas tidak. Ini soal harga diri." Utkarsa masih kuat dengan prinsip-prinsip hidup yang dijalani. Tentu sajania tidak akan mengorbankan harga diri hanya untuk kepuasan duniawi. Meskipun secara penuh, Dia memang sangat menginginkannya.     

Utpala juga bukan berarti mengabaikan harga diri, hanya saja dia lebih memilih untuk bersikap terbuka dengan siapapun jika memang memiliki keluhan dan keinginan. Maka jalannya akan lebih mudah.     

"Harga diri tidak akan berkurang hanya karena memiliki keberanian menyampaikan kebenaran," kata Utpala.     

"Kebenaran ada pada kebijaksanaan. Sementara orang bijak tidak pernah meminta imbalan. Jadi, kamu yakin kalau kita benar?" kata Utkarsa lagi.     

"Selama kita tidak menentang kebenaran, maka itu juga termasuk kebenaran."     

(bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.