NITYASA : THE SPECIAL GIFT

86. Majinang



86. Majinang

0Saga menaiki kudanya kembali, ia kemudian menuju ke lokasi yang telah diberitahu oleh pria tua itu. Baru beberapa meter, bau busuk sudah tercium. Di situlah ia menemukan rumah besar di dekat lumbung padi namun dengan kondisi yang sangat kotor dan jorok. Ia kemudian memasuki rumah itu dengan memaksakan diri. Tangannya masih meminjat hidungnya sendiri meskipun sudah ditutupi kain cadar, namun masih terasa menyengat baunya itu.     

Rumah yang sangat sepi, seperti tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Namun ada selembar kain tirai yang menutupi pintu, tirai itu bahkan dikerubungi sekumpulan lalat. Dibukanya tirai tersebut. Di dalam terdapat seseorang yang berbaring di ranjang. Namun tubuhnya ditutupi selimut yang juga dipenuhi lalat. Baunya semakin menyengat membuat Saga merasa ingin muntah.     

"Guru..."     

Ia mengindik pelan menghampiri gurunya itu meski dengan aroma yang sangat menyiksa. Sekumpulan lalat pun turut mengerubungi tubuhnya yang mendekat itu.     

"Guru, ini aku, Saga," ucapnya lagi.     

Tak ada jawaban dari gurunya. Ia masih saja bersembunyi dibalik selimut. Namun, dengan tak ingin terjadi sesuatu dengan gurunya, Saga memberanikan diri menyingkap selimut yang menutupi tubuh gurunya. Ia pelan meraih ujung selimut berwarna merah keunguan itu. Baru pelan sekumpulan lalat saja lalat sudah menggerombol keluar dari dalam. Ada bercak pada ubun-ubunnya.     

Karena aroma terlalu busuk, ia pun kemudian segera membuka dengan cepat. Alangkah terkejutnya ia mendapati tubuh gurunya itu sudah tak berbentuk. Ia sudah menjadi mayat nyaris hanya tulang-belulang saja. Secuil daging masih menempel di tulangnya. Bahkan sebagian pakaiannya pun telah habis dimangsa belatung dan serangga.     

Saga kemudian berlari keluar hendak meminta tolong kepada warga sekitar.     

***     

Seorang Guru yang menjadi harapan terakhirnya untuk menolong, pupus sudah. Ia kini terpaksa membuka cadar karena tak tahan karena muntah akibat beberapa kali menghirup aroma busuk. Ia harus menyaksikan upacara pemakaman gurunya malam ini. Jasadnya dibakar di atas tumpulan kayu, pemakaman diurus oleh ketua adat setempat. Ia hanya berdiri mematung di sisi kobaran api yang membakar jasad gurunya itu.     

Ternyata upacara pemakaman itu tidak hanya satu-satunya. Beberapa penduduk lain yang hari ini dinyatakan mati karena wabah juga turut dimakamkan dengan cara dibakar. Ada sekitar 4 orang jenazah hari ini. Jayendra, Ruwah dan Ki Menyawak turut hadir pada pemakaman warga lainnya. Upacara itu berlangsung di lapangan pinggir sungai.     

Baik Jayendra maupun Saga Winata memiliki kepentingan masing-masing. Jayendra dengan urusan mengatasi bencana wabah karena sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai pejabat negara, sementara Saga Winata hendak meminta perlindungan kepada gurunya yang diharapkan mampu membersihkan namanya.     

Namun kini mereka berdua dipertemukan dalam satu kesempatan. Mereka sudah saling tahu keberadaan masing-masing. Namun, baik Saga maupun Jayendra masing-masing menahan diri untuk tidak membuat kekacauan. Mereka sangat mengerti bahwa dalam suasana duka ini tidak layak jika mereka saling bertarung.     

"Itu, Saga Winata," kata Jayendra berucap kepada Ki Menyawak.     

"Kita serang sekarang, Gusti!" seru Ki Menyawak.     

"Jangan. Di sini ramai orang sedang berduka. Lebih baik kita cari tempat lain saja. Kita tunggu dia di jalur samping kanal." Jayendra mengajak Ki Menyawak untuk menghadang Saga Winata. "Ruwah, kamu di sini saja. Layani para warga yang membutuhkan bantuanmu."     

"Baik, Kakang." Ruwah tugasnya hanyalah membantu para warga yang tengah dilanda kesulitan menghadapi wabah ini. Ruwah adalah seorang tabib muda terbaik di perguruan Wana Wira. Bahkan kemampuan pengobatannya bisa diperhitungkan di seluruh Kerajaan Galuh.     

Saga bukannya tidak tahu, ia sadar bahkan dirinya kini sudah tidak mengenakan cadar dan caping untuk menutupi kepala, pasti Jayendra tahu keberadaannya. Ia kemudian berusaha untuk menjauhi kerumunan dan hendak kabur. Ia meninggalkan kudanya supaya langkah kaburnya ini tidak meninggalkan jejak sehingga tidak diketahui.     

Dengan menggunakan Ajian meringankan tubuh, Saga melesat menembus angin berlari tanpa menapakkan kaki ke tanah. Kecepatannya setara seperti harimau ketika berlari. Ia mencoba menghindari jalan besar. Melewati kanal pun ia lakukan dengan berlari di atas aliran airnya yang kehitaman. Kakinya menjajaki permukaan air tanpa tenggelam. Ia layaknya sedang berlari biasa di atas tanah.     

Langkahnya terhadang ketika dari belakang, pundaknya ada yang menarik. Seseorang yang begitu ia menoleh ia langsung tahu siapa. Dia adalah Jayendra yang sudah bisa menebak keputusannya untuk kabur. Saga pun jatuh terpeleset dan akhirnya tercebur ke dalam kanal. Rupanya Jayendra pun menggunakan jurus peringan tubuh yang sama.     

Kemudian tubuh Jayendra melompat ke atas menginjak kepala Saga Winata hingga tenggelam ke air kanal. Saga kesulitan lepas dari kaki Jayendra yang menahan kepalanya. Ia juga kesulitan bernapas karena seluruh tubuhnya kini tenggelam di bawah permukaan air. Beginilah cara Jayendra supaya Saga bisa dilumpuhkan dan dibawa ke pengadilan hidup-hidup. Ia menenggelamkan Saga Winata supaya kemudian pingsan sehingga dengan mudah bisa ia bawa.     

Tiba-tiba sebuah anak panah melesat mengenai paha Jayendra. Ia langsung terjatuh sambil berteriak kesakitan. Ia tercebur ke air bersama Saga Winata. Buru-buru ia cabut anak panah itu dari pahanya. Saga Winata memanfaatkan kesempatan itu untuk keluar ke permukaan. Ia kembali menggunakan ajian peringan tubuh untuk melesat ke tepi kanal.     

Dari mana asalnya panah itu? Ternyata dari sisi tepi kanal. Mereka adalah sisa-sisa kelompok Saga Winata. Di sana juga terdapat Lingga, Saksana, dan juga Abdul. Bahkan Saksana lah yang melesatkan anak panah itu.     

"Maaf, Kakang. Aku bukan bermaksud membalas serangan panahmu tempo hari, tetapi Kakang perlu dihentikan!" seru Saksana.     

Jayendra yang melihat kedua adik seperguruannya itu ada bersama kelompok Saga Winata pun terkejut.     

"Hei... Kenapa kalian bersama mereka?" murka Jayendra.     

"Kami akan menghentikan semua kesalahpahaman ini," ujar Lingga.     

"Cukup, Lingga. Kau tidak tahu apa-apa." Jayendra masih menenggelamkan separuh tubuhnya di air kanal.     

"Bukan Saga yang menjadi dalang dari balik terbunuhnya adik-adik seperguruan kita, Kang!" kata Lingga berseru lagi. "Pelakunya adalah dia..." Lingga menunjuk ke arah Ki Menyawak.     

Kenyataan ini sudah semakin membuat Jayendra kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa jadi serumit ini?     

***     

(Bersambung...)     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

***     

Saga menaiki kudanya kembali, ia kemudian menuju ke lokasi yang telah diberitahu oleh pria tua itu. Baru beberapa meter, bau busuk sudah tercium. Di situlah ia menemukan rumah besar di dekat lumbung padi namun dengan kondisi yang sangat kotor dan jorok. Ia kemudian memasuki rumah itu dengan memaksakan diri. Tangannya masih meminjat hidungnya sendiri meskipun sudah ditutupi kain cadar, namun masih terasa menyengat baunya itu.     

Rumah yang sangat sepi, seperti tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Namun ada selembar kain tirai yang menutupi pintu, tirai itu bahkan dikerubungi sekumpulan lalat. Dibukanya tirai tersebut. Di dalam terdapat seseorang yang berbaring di ranjang. Namun tubuhnya ditutupi selimut yang juga dipenuhi lalat. Baunya semakin menyengat membuat Saga merasa ingin muntah.     

"Guru..."     

Ia mengindik pelan menghampiri gurunya itu meski dengan aroma yang sangat menyiksa. Sekumpulan lalat pun turut mengerubungi tubuhnya yang mendekat itu.     

"Guru, ini aku, Saga," ucapnya lagi.     

Tak ada jawaban dari gurunya. Ia masih saja bersembunyi dibalik selimut. Namun, dengan tak ingin terjadi sesuatu dengan gurunya, Saga memberanikan diri menyingkap selimut yang menutupi tubuh gurunya. Ia pelan meraih ujung selimut berwarna merah keunguan itu. Baru pelan sekumpulan lalat saja lalat sudah menggerombol keluar dari dalam. Ada bercak pada ubun-ubunnya.     

Karena aroma terlalu busuk, ia pun kemudian segera membuka dengan cepat. Alangkah terkejutnya ia mendapati tubuh gurunya itu sudah tak berbentuk. Ia sudah menjadi mayat nyaris hanya tulang-belulang saja. Secuil daging masih menempel di tulangnya. Bahkan sebagian pakaiannya pun telah habis dimangsa belatung dan serangga.     

Saga kemudian berlari keluar hendak meminta tolong kepada warga sekitar.     

***     

Seorang Guru yang menjadi harapan terakhirnya untuk menolong, pupus sudah. Ia kini terpaksa membuka cadar karena tak tahan karena muntah akibat beberapa kali menghirup aroma busuk. Ia harus menyaksikan upacara pemakaman gurunya malam ini. Jasadnya dibakar di atas tumpulan kayu, pemakaman diurus oleh ketua adat setempat. Ia hanya berdiri mematung di sisi kobaran api yang membakar jasad gurunya itu.     

Ternyata upacara pemakaman itu tidak hanya satu-satunya. Beberapa penduduk lain yang hari ini dinyatakan mati karena wabah juga turut dimakamkan dengan cara dibakar. Ada sekitar 4 orang jenazah hari ini. Jayendra, Ruwah dan Ki Menyawak turut hadir pada pemakaman warga lainnya. Upacara itu berlangsung di lapangan pinggir sungai.     

Baik Jayendra maupun Saga Winata memiliki kepentingan masing-masing. Jayendra dengan urusan mengatasi bencana wabah karena sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai pejabat negara, sementara Saga Winata hendak meminta perlindungan kepada gurunya yang diharapkan mampu membersihkan namanya.     

Namun kini mereka berdua dipertemukan dalam satu kesempatan. Mereka sudah saling tahu keberadaan masing-masing. Namun, baik Saga maupun Jayendra masing-masing menahan diri untuk tidak membuat kekacauan. Mereka sangat mengerti bahwa dalam suasana duka ini tidak layak jika mereka saling bertarung.     

"Itu, Saga Winata," kata Jayendra berucap kepada Ki Menyawak.     

"Kita serang sekarang, Gusti!" seru Ki Menyawak.     

"Jangan. Di sini ramai orang sedang berduka. Lebih baik kita cari tempat lain saja. Kita tunggu dia di jalur samping kanal." Jayendra mengajak Ki Menyawak untuk menghadang Saga Winata. "Ruwah, kamu di sini saja. Layani para warga yang membutuhkan bantuanmu."     

"Baik, Kakang." Ruwah tugasnya hanyalah membantu para warga yang tengah dilanda kesulitan menghadapi wabah ini. Ruwah adalah seorang tabib muda terbaik di perguruan Wana Wira. Bahkan kemampuan pengobatannya bisa diperhitungkan di seluruh Kerajaan Galuh.     

Saga bukannya tidak tahu, ia sadar bahkan dirinya kini sudah tidak mengenakan cadar dan caping untuk menutupi kepala, pasti Jayendra tahu keberadaannya. Ia kemudian berusaha untuk menjauhi kerumunan dan hendak kabur. Ia meninggalkan kudanya supaya langkah kaburnya ini tidak meninggalkan jejak sehingga tidak diketahui.     

Dengan menggunakan Ajian meringankan tubuh, Saga melesat menembus angin berlari tanpa menapakkan kaki ke tanah. Kecepatannya setara seperti harimau ketika berlari. Ia mencoba menghindari jalan besar. Melewati kanal pun ia lakukan dengan berlari di atas aliran airnya yang kehitaman. Kakinya menjajaki permukaan air tanpa tenggelam. Ia layaknya sedang berlari biasa di atas tanah.     

Langkahnya terhadang ketika dari belakang, pundaknya ada yang menarik. Seseorang yang begitu ia menoleh ia langsung tahu siapa. Dia adalah Jayendra yang sudah bisa menebak keputusannya untuk kabur. Saga pun jatuh terpeleset dan akhirnya tercebur ke dalam kanal. Rupanya Jayendra pun menggunakan jurus peringan tubuh yang sama.     

Kemudian tubuh Jayendra melompat ke atas menginjak kepala Saga Winata hingga tenggelam ke air kanal. Saga kesulitan lepas dari kaki Jayendra yang menahan kepalanya. Ia juga kesulitan bernapas karena seluruh tubuhnya kini tenggelam di bawah permukaan air. Beginilah cara Jayendra supaya Saga bisa dilumpuhkan dan dibawa ke pengadilan hidup-hidup. Ia menenggelamkan Saga Winata supaya kemudian pingsan sehingga dengan mudah bisa ia bawa.     

Tiba-tiba sebuah anak panah melesat mengenai paha Jayendra. Ia langsung terjatuh sambil berteriak kesakitan. Ia tercebur ke air bersama Saga Winata. Buru-buru ia cabut anak panah itu dari pahanya. Saga Winata memanfaatkan kesempatan itu untuk keluar ke permukaan. Ia kembali menggunakan ajian peringan tubuh untuk melesat ke tepi kanal.     

Dari mana asalnya panah itu? Ternyata dari sisi tepi kanal. Mereka adalah sisa-sisa kelompok Saga Winata. Di sana juga terdapat Lingga, Saksana, dan juga Abdul. Bahkan Saksana lah yang melesatkan anak panah itu.     

"Maaf, Kakang. Aku bukan bermaksud membalas serangan panahmu tempo hari, tetapi Kakang perlu dihentikan!" seru Saksana.     

Jayendra yang melihat kedua adik seperguruannya itu ada bersama kelompok Saga Winata pun terkejut.     

"Hei... Kenapa kalian bersama mereka?" murka Jayendra.     

"Kami akan menghentikan semua kesalahpahaman ini," ujar Lingga.     

"Cukup, Lingga. Kau tidak tahu apa-apa." Jayendra masih menenggelamkan separuh tubuhnya di air kanal.     

"Bukan Saga yang menjadi dalang dari balik terbunuhnya adik-adik seperguruan kita, Kang!" kata Lingga berseru lagi. "Pelakunya adalah dia..." Lingga menunjuk ke arah Ki Menyawak.     

Kenyataan ini sudah semakin membuat Jayendra kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa jadi serumit ini?     

***     

(Bersambung...)     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.