NITYASA : THE SPECIAL GIFT

159. Pembaharuan Elemen



159. Pembaharuan Elemen

0Di Wisma Pengobatan Perguruan Wana Wira, Utkarsa sudah mulai kembali pulih dari sakitnya. Ruwah, seorang kepala tabib di perguruan itu sudah memperbolehkannya untuk bangkit dari istirahatnya di kamar pengobatan. Dia juga memperbolehkan Utkarsa untuk keluar ruangan asalkan masih di dalam kawasan perguruan. Sudah beberapa hari Utkarsa dirawat di perguruan Wana Wira. Mahaguru Sutaredja sudah sangat banyak membantunya menyediakan keperluannya untuk berobat. Termasuk dalam memberikan jasa salah satu murid pengobatan terbaiknya, Ruwah.     

Kini ditemani Utpala, Utkarsa menuju ke pelataran belakang pondok yang cukup luas. Halaman belakang itu juga biasa digunakan untuk latihan para murid perguruan. Kini Utkarsa sedang melatih diri untuk melakukan beberapa gerakan ilmu silatnya untuk mengembalikan tubuh primanya, dan juga sekadar melemaskan otot-ototnya. Tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali hanya memainkan beberapa pukulan dan tendangan kosong.     

Awalnya Utkarsa seperti kesulitan untuk berdiri, sesekali Utpala membantu membimbingnya. Dia menjadi seperti layaknya bayi yang baru belajar berjalan. Beberapa kali ia sempat terjatuh, namun Utpala selalu membantunya untuk berdiri. Sampai kemudian dia mampu berdiri sendiri tanpa dibantu. Kini dia sudah terlihat mahir memainkan beberapa gerakan tendangan dan pukulan meskipun terhuyung-huyung ketika melangkahkan kaki.     

Kemudian dia berlatih dengan memegang ranting kayu yang dimainkannya layaknya tombak yang biasa ia pakai untuk senjatanya. Ia terus melakukan itu setiap hari dari sebelum terbitnya fajar hingga sore hari tanpa mau makan dan minum sebelum dia benar-benar pulih. Padahal Mahaguru Sutaredja dan Utpala sendiri melarangnya untuk berlatih terlalu keras terhadap dirinya sendiri, tetapi motivasinya untuk pulih sangatlah besar.     

Setelah lima hari melakukan latihan sendiri, kini dia meminta Utpala untuk menjadi lawan dalam latihannya. Beberapa kali Utpala melayaninya tidak sepenuh hati karena takut kondisi Utkarsa belum benar-benar pulih tenaganya. Namun, Utkarsa tentunya mampu membaca kadar kemampuan lawannya, dia tahu bahwa Utpala tidak benar-benar melawannya dengan sepenuh hati.     

"Kau tidak ingin saudaramu ini sembuh, Pala?" tanya Utkarsa kesal ketika mengetahui Utpala tidak melawannya dengan sungguh-sungguh.     

"Tentu saja aku ingin kamu sembuh, Karsa," balasnya. "Tapi kamu belum pulih betul saat ini."     

"Semua manusia juga makhluk lemah, tetapi tantangan lah yang membuatnya mampu menaikan tingkatan kemampuannya." Utkarsa kini memaksa diri untuk mengambil tombak andalannya. Tombak dengan ujung logam berbahan perunggu dengan batangnya terbuat dari tulang gajah. Ia kemudian melawan Utpala dengan sungguh-sungguh layaknya melawan musuh. Hal ini dilakukannya supaya Utpala juga melakukan hal yang sama.     

Setelah seharian mereka berlatih, akhirnya Utkarsa kembali menemukan daya primanya lagi. Dia kini semakin mahir memainkan jurus-jurus tombak andalannya seperti sedia kala. Mahaguru yang menyaksikan itu sangat senang melihat sahabatnya itu mampu pulih kembali dan siap meramaikan jagad persilatan.     

Di ruang makan, Mahaguru Sutaredja, Utkarsa, Utpala, dan Jayendra sedang melakukan kegiatan santap malam dengan cara lesehan. Mereka memakan banyak hidangan nasi, sayur, dan ikan. Utkarsa terlihat yang paling banyak makan. Semua turut gembira melihat Utkarsa seolah kembali menjadi dirinya sendiri. Sebab, selama masa sakitnya, dia benar-benar sangat jarang untuk makan. Bukan karena tidak enak makan, tetapi Utkarsa sengaja membuat ikrar terhadap dirinya sendiri kalau dia tidak akan makan makanan terlalu banyak sebelum benar-benar sembuh. Itu merupakan caranya memotivasi diri untuk pulih dari sakit.     

"Aku senang melihatmu sehat kembali, Paman." Jayendra membuka pembicaraan sambil menyantap makanan. Wajahnya kini sudah nampak tersenyum sumringah seperti tanpa beban. Pasalnya dia sudah bulat mengambil keputusan perihal pilihan besarnya yang sempat menjadi beban pikiran.     

"Aku baru melihatmu beberapa hari ini, Jayendra." Utkarsa berterung terang. Jayendra terdiam dan hanya tersenyum kecil. Kemudian menatap ke arah gurunya seolah dia meminta agar gurunya saja yang menjelaskan.     

"Tiga hari lagi dia akan diangkat menjadi Senopati Galuh." Mahaguru memberitahu. Utkarsa dan Utpala terbelalak gembira. Semula dia hampir tidak percaya, tetapi karena yang mengatakan adalah Mahaguru Sutaredja sehingga mustahil untuk orang itu berbohong. "Kalian harus menyaksikan penobatannya."     

"Yang benar kau, Suta?" tanya Utkarsa memastikan meskipun dia yakin bahwa Mahaguru benar. Kemudian dia beralih pandangannya ke arah Jayendra. "Tetapi bukankah itu bertentangan dengan prinsipmu, Jayendra?"     

"Semula iya. Tetapi akhirnya aku menemukan setitik cahaya terang berkat Sang Guru." Jayendra meletakan piring tanah liatnya, kemudian mencelupkan tangannya ke air kobokan.     

"Kalau begitu bagus. Artinya kamu akan lebih leluasa lagi untuk menangkap Saga Winata." Utpala kini turut memberi pendapat.     

"Seruni ke mana Jayendra?" tanya Utkarsa yang sedari tadi tidak melihat keberadaan kekasih hati Jayendra tersebut. Jayendra terdiam cukup lama dan gugup. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan masalah pelik tentang percintaannya.     

"Aku sendiri tidak tahu. Wanita memang sulit dimengerti."     

"Bukan mereka yang sulit dimengerti. Kita sebagai kaum lelaki yang sebenarnya kurang bisa memahami." Utkarsa menasehati. "Sedari muda hingga sekarang, istriku, Rosami, masih memiliki pikiran-pikiran yang kadang sulit untuk aku mengerti. Tetapi aku selalu berusaha memahaminya meskipun sebenarnya aku kurang mengerti."     

"Kamu belum pernah cerita kalau kamu punya istri, Karsa," Mahaguru berujar seolah bernada protes karena tersinggung sebagai seorang sahabat tidak menceritakan latar belakang keluarganya sekarang.     

"Dia kini menjadi pemimpin penduduk di pulau Sabalana, di laut Flores." Dia mengingat istrinya yang kini masih tinggal di pulau yang jauh dari pulau jawa. Dia merindukan istri dan anak-anaknya yang sudah lama tidak ia temui semenjak Utkarsa berniat untuk mengikuti sayembara mencari Saga Winata.     

"Negara mana?" tanya Mahaguru Sutaredja.     

"Itu pulau bebas yang tidak berada di bawah negara manapun." Pulau Sabalana memang terkenal dengan kebebasannya. Rakyat di sana hidup secara mandiri dan cukup makmur. Istrinya adalah pemimpin di sana karena merupakan seorang ahli waris dari pemilik pulau tersebut.     

Sang Guru kemudian terdiam cukup lama. Dia terlihat memikirkan sesuatu yang membuatnya tak bisa tenang.     

"Guru? Ada apa?" tanya Jayendra memastikan gurunya baik-baik saja.     

"Tidak apa-apa. Aku hanya sedang teringat dengan Lingga dan Saksana yang sedang pergi mencari Saga Winata."     

"Mencari Saga Winata?" tanya Utkarsa memastikan lagi. Mahaguru mengangguk mengiyakan.     

"Itu sangat berbahaya bagi mereka jika mereka akhirnya bertemu dengan Saga Winata."     

"Itulah yang aku khawatirkan."     

Jayendra juga merasa khawatir terhadap adik-adik seperguruannya itu. Dia paham betul sejauh mana kekuatan Saga Winata. Bahkan Senopati Citra Wayang saja bisa tewas di tangannya, Utkarsa bisa terluka dan sakit beberapa hari, serta dia sendiri kewalahan untuk melawannya. Bagaimana jika Lingga dan Saksana yang sejatinya ilmu mereka belum mampu melampaui Jayendra.     

Mahaguru merasa menyesal karena telah mengizinkan mereka untuk turut mencari Saga Winata, semula ia tidak tahu kalau Saga mempunyai kekuatan yang luar biasa.     

"Setelah penobatanmu nanti, lebih baik cepat-cepat kamu menyusun rencana untuk mencari Saga Winata," pinta Mahaguru. Harapannya adalah supaya Saga Winata berhasil ditangkap sebelum dia bertemu dengan Lingga dan Saksana yang malah akan sangat membahayakan murid-muridnya itu.     

"Baik, Mahaguru."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.