NITYASA : THE SPECIAL GIFT

209. Aroma Mawar Hitam



209. Aroma Mawar Hitam

0Tak terlihat ada rasa lelah bagi sepasang kekasih ini meski telah cukup lama menggenggam pelana kuda dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa kali pantatnya harus terbanting di punggung kuda karena hentakan langkah kuda yang kuat. Bukan pendekar pilih tanding namanya kalau belum terlatih mengendarai seekor kuda. Bagi mereka, justru ini adalah hal yang menyenangkan.     

Ketika mereka memasuki hutan pinus, gelegar petir menyambar kuat, disusul dengan gerimis yang semakin lama semakin deras. Maka turunlah hujan deras membasahi pakaian dan kuda mereka.     

"Kita cari tempat berteduh, Kang!" teriak Seruni di belakang memecah suara riuh hujan yang menghantam dedaunan pinus.     

"Sudah kepalang basah. Kita harus cepat sampai perguruan sore ini."     

Ada sedikit rasa kecewa di wajah Seruni, bagaimana mungkin kekasihnya itu tega membiarkannya basah-basahan. Bagaimanapun, meski Seruni seorang pendekar pilih tanding, Jayendra juga harus bisa memikirkan kesehatan kekasihnya itu, seorang pendekar pun bisa sakit demam ketika tubuhnya sudah merasa terlalu kedinginan. Baginya, Jayendra sungguh bukan pria yang peka terhadap perempuan. Dia malah semakin cepat melajukan kuda alih-alih menuruti permintaannya.     

Jayendra semakin jauh melaju hingga secara sadar suara telapak kudanya tak semeriah sebelumnya, seolah kini hanya ada seekor kuda saja yang didengar. Dan begitu ia menoleh ke belakang, benar saja, Seruni menghilang dari pandangan.     

"Seruni!" panggilnya menyeru, tiada jawaban apapun dari kekasihnya itu. Dia mulai berpikiran buruk tentang kekasihnya itu. Kuda masih melaju cepat ketika Jayendra menoleh ke belakang. Sebatang pohon pinus dengan cabangnya yang rendah menghantam dari depan hingga membuatnya terjatuh dan terguling. Sementara kudanya masih melaju cepat meninggalkannya tanpa sadar tuannya sudah tak berada di punggungnya lagi.     

"Sial!" keluhnya sambil mengerang kesakitan karena batang pohon itu tepat mengenai wajahnya. Tangannya memegangi wajahnya yang memar terguyur hujan deras. Hari yang cukup sial, bahkan kudanya sendiri meninggalkannya. Namun, pikirannya kini tertuju pada Seruni. Dia bergegas bangkit dan berlari kembali melalui jalan yang telah dia lewati. Kakinya sesekali terperosok ke jalanan berlumpur.     

Langkahnya terhenti sampai tempat ketika Seruni mengeluh kepadanya untuk beristirahat. Namun, tidak terlihat adanya tanda-tanda keberadaan kekasihnya itu.     

"Seruni...!!!" Teriaknya lagi selama berulang-ulang.     

"Cari siapa, Ki Sanak?" terdengar suara seseorang dari atas pohon besar. Jayendra mendongak ke atas, ternyata itu adalah orang yang sedang dicarinya. Seruni malah sedang asyik berteduh di atas batang pohon Oak besar. Jayendra menghela napas panjang. Ada sedikit perasaan kesal kepada kekasihnya itu.     

"Kenapa tidak bilang kalau kamu berhenti?" tanya Jayendra bernada kesal.     

"Aku sudah memintamu untuk berteduh. Tapi kamu tidak peduli," ketus Seruni tanpa memandangnya. Jayendra kini menyadari kesalahannya sendiri. Dia kemudian menaiki pohon besar itu untuk mendekati Seruni. Namun wanita itu buru-buru turun kemudian menaiki kudanya yang dikekang pada akar besar pohon Oak.     

"Jadi laki-laki kok egois," pungkas Seruni yang kemudian melajukan kudanya dengan cepat menjauh dari Jayendra. Dia hanya pasrah membiarkan kekasihnya itu pergi. Sebab, ini sudah kesekian kali dia pergi begitu saja, cukup lelah jika Jayendra harus terus-terusan mengejar dan membujuknya. Lagipula dia yakin, jika marahnya reda, pasti Seruni akan kembali.     

Bebannya hari ini sudah cukup banyak. Dia harus segera menemui gurunya di Perguruan Wana Wira. Jaraknya masih cukup jauh sementara kudanya kini sudah hilang. Terpaksa dia berjalan kaki sekarang. Sepertinya akan cukup melelahkan karena harus menaiki bukit dan kaki gunung.     

***     

Di tepi sungai, Saga dan Abdul menyaksikan seorang tabib yang sedang mengobati Lingga dan Saksana. Tampak tabib itu sedang mengolesi beberapa ramuan untuk mencairkan peredaran darah yang tersumbat akibat memar terkena pukulan.     

"Luka dalam kalian tidak begitu parah. Untung kalian seorang pendekar. Jika tidak, mungkin kalian sudah mati," ucap Tabib itu menjelaskan. "Kalian harus memulihkan keadaan dengan beristirahat selama tiga hari."     

Mereka semua mengangguk mengerti, beberapa saat kemudian Sang Tabib berpamitan untuk meninggalkan mereka. Kemudian Lingga dan Saksana kembali mengucapkan terima kasih kepada Saga dan Abdul.     

"Sebenarnya kalian dari mana mau kemana?" tanya Saga penasaran.     

"Kami murid perguruan Wana Wira," ucap Lingga yang membuat Saga terkejut. Begitu pula Abdul yang sudah banyak tahu tentang perguruan itu. "Kami sedang mencari seorang buronan yang bernama Saga Winata. Dia lah yang menjadi otak pembantaian dua lusin murid perguruan kami."     

Mendengar hal itu, Saga dan Abdul saling tatap kemudian terdiam cukup lama, hingga membuat Lingga merasa ada yang aneh.     

"Ki Sanak?" tegur Lingga memastikan semuanya baik-baik saja. "Kenapa diam begitu? kalian mengenalnya?"     

"Sebentar... " Saga mengajak Abdul untuk menjauh sejenak dari mereka untuk membicarakan perihal ini. Di samping sebuah pohon, mereka saling berbisik.     

"Aku harus menunjukannya kepada mereka," bisik Saga pelan.     

"Apa kamu sudah siap?" tanya Abdul memastikan.     

"Barangkali mereka bisa membantu membersihkan nama-ku." Saga mulai memikirkan hal ini. Dia harus segera terbebas dari status buron nya. Mungkin setelah Lingga dan Saksana tahu, mereka bisa membantunya membersihkan nama.     

Mereka kembali ke tempat semula. Abdul mengangguk pelan ke arah Saga seolah memberinya keputusan supaya Saga menunjukkan jati dirinya. Dengan perlahan Saga pun membuka caping dan cadarnya. Alangkah terkejut bercampur jengkel Lingga dan Saksana. Namun, kondisi nya yang sedang tidak memungkinkan untuk bertarung membuat mereka pasrah ketika membangkitkan badan saja rasanya sudah tidak karuan. Rasa sakit masih menyelimuti sekujur tubuh mereka.     

"Jangan dipaksa. Dengar dulu penjelasan kami." Abdul menahan mereka dan kembali merebahkan badan mereka di atas tanah yang beralaskan dedaunan dan kain.     

"Bajingan ini telah membunuh saudara-saudara kami...!!!" teriak Lingga memaki.     

"Bukan aku," ujar Saga yang membuat Lingga dan Saksana mengerutkan dahi. "Ada yang mengadu domba. Ini adalah tindakan orang lain yang mengatasnamakan aku."     

"Tapi kau memang seorang penjahat!" seru Lingga lagi.     

"Aku memang perampok. Tapi, aku tidak pernah merencanakan pembunuhan kepada siapapun. Aku membunuh hanya ketika melindungi diri saat melakukan aksi perampokan. Itu pun jika dianggap perlu."     

Penjelasan itu cukup membuat mereka sedikit terbuka. Namun tak bisa sepenuhnya percaya begitu saja.     

"Tidak kalian tidak percaya tidak apa-apa. Jika aku benar-benar membunuh saudara kalian, mungkin aku juga sudah dengan mudah membunuh kalian juga dengan keadaan yang lemah seperti sekarang ini," ujar Saga meyakinkan.     

Ucapan Saga ini cukup membuat mereka sedikit yakin. Tapi jika bukan dia lalu siapa? itulah yang masih menjadi pertanyaan mereka.     

Gemuruh langit menemani perjalanan Jayendra yang melajukan kuda begitu cepat untuk buru-buru sampai di kaki Galunggung sebelum hujan tiba. Belum jauh dirinya meninggalkan Istana Galuh. Seruni mengikuti di belakangnya dengan laju kuda yang sama cepatnya. Mereka menyusuri tanjakan bebatuan yang terjal hingga kuda-kuda mereka meringkik keras. Suara ringkikan yang nyaring membuat beterbangan burung-burung yang tengah asyik bersarang di pepohonan. Serangga hutan seolah menyambut kehadiran mereka berdua dengan suara-suaranya yang khas.     

Tak terlihat ada rasa lelah bagi sepasang kekasih ini meski telah cukup lama menggenggam pelana kuda dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa kali pantatnya harus terbanting di punggung kuda karena hentakan langkah kuda yang kuat. Bukan pendekar pilih tanding namanya kalau belum terlatih mengendarai seekor kuda. Bagi mereka, justru ini adalah hal yang menyenangkan.     

Ketika mereka memasuki hutan pinus, gelegar petir menyambar kuat, disusul dengan gerimis yang semakin lama semakin deras. Maka turunlah hujan deras membasahi pakaian dan kuda mereka.     

"Kita cari tempat berteduh, Kang!" teriak Seruni di belakang memecah suara riuh hujan yang menghantam dedaunan pinus.     

"Sudah kepalang basah. Kita harus cepat sampai perguruan sore ini."     

Ada sedikit rasa kecewa di wajah Seruni, bagaimana mungkin kekasihnya itu tega membiarkannya basah-basahan. Bagaimanapun, meski Seruni seorang pendekar pilih tanding, Jayendra juga harus bisa memikirkan kesehatan kekasihnya itu, seorang pendekar pun bisa sakit demam ketika tubuhnya sudah merasa terlalu kedinginan. Baginya, Jayendra sungguh bukan pria yang peka terhadap perempuan. Dia malah semakin cepat melajukan kuda alih-alih menuruti permintaannya.     

Jayendra semakin jauh melaju hingga secara sadar suara telapak kudanya tak semeriah sebelumnya, seolah kini hanya ada seekor kuda saja yang didengar. Dan begitu ia menoleh ke belakang, benar saja, Seruni menghilang dari pandangan.     

"Seruni!" panggilnya menyeru, tiada jawaban apapun dari kekasihnya itu. Dia mulai berpikiran buruk tentang kekasihnya itu. Kuda masih melaju cepat ketika Jayendra menoleh ke belakang. Sebatang pohon pinus dengan cabangnya yang rendah menghantam dari depan hingga membuatnya terjatuh dan terguling. Sementara kudanya masih melaju cepat meninggalkannya tanpa sadar tuannya sudah tak berada di punggungnya lagi.     

"Sial!" keluhnya sambil mengerang kesakitan karena batang pohon itu tepat mengenai wajahnya. Tangannya memegangi wajahnya yang memar terguyur hujan deras. Hari yang cukup sial, bahkan kudanya sendiri meninggalkannya. Namun, pikirannya kini tertuju pada Seruni. Dia bergegas bangkit dan berlari kembali melalui jalan yang telah dia lewati. Kakinya sesekali terperosok ke jalanan berlumpur.     

Langkahnya terhenti sampai tempat ketika Seruni mengeluh kepadanya untuk beristirahat. Namun, tidak terlihat adanya tanda-tanda keberadaan kekasihnya itu.     

"Seruni...!!!" Teriaknya lagi selama berulang-ulang.     

"Cari siapa, Ki Sanak?" terdengar suara seseorang dari atas pohon besar. Jayendra mendongak ke atas, ternyata itu adalah orang yang sedang dicarinya. Seruni malah sedang asyik berteduh di atas batang pohon Oak besar. Jayendra menghela napas panjang. Ada sedikit perasaan kesal kepada kekasihnya itu.     

"Kenapa tidak bilang kalau kamu berhenti?" tanya Jayendra bernada kesal.     

"Aku sudah memintamu untuk berteduh. Tapi kamu tidak peduli," ketus Seruni tanpa memandangnya. Jayendra kini menyadari kesalahannya sendiri. Dia kemudian menaiki pohon besar itu untuk mendekati Seruni. Namun wanita itu buru-buru turun kemudian menaiki kudanya yang dikekang pada akar besar pohon Oak.     

"Jadi laki-laki kok egois," pungkas Seruni yang kemudian melajukan kudanya dengan cepat menjauh dari Jayendra. Dia hanya pasrah membiarkan kekasihnya itu pergi. Sebab, ini sudah kesekian kali dia pergi begitu saja, cukup lelah jika Jayendra harus terus-terusan mengejar dan membujuknya. Lagipula dia yakin, jika marahnya reda, pasti Seruni akan kembali.     

Bebannya hari ini sudah cukup banyak. Dia harus segera menemui gurunya di Perguruan Wana Wira. Jaraknya masih cukup jauh sementara kudanya kini sudah hilang. Terpaksa dia berjalan kaki sekarang. Sepertinya akan cukup melelahkan karena harus menaiki bukit dan kaki gunung.     

***     

Di tepi sungai, Saga dan Abdul menyaksikan seorang tabib yang sedang mengobati Lingga dan Saksana. Tampak tabib itu sedang mengolesi beberapa ramuan untuk mencairkan peredaran darah yang tersumbat akibat memar terkena pukulan.     

"Luka dalam kalian tidak begitu parah. Untung kalian seorang pendekar. Jika tidak, mungkin kalian sudah mati," ucap Tabib itu menjelaskan. "Kalian harus memulihkan keadaan dengan beristirahat selama tiga hari."     

Mereka semua mengangguk mengerti, beberapa saat kemudian Sang Tabib berpamitan untuk meninggalkan mereka. Kemudian Lingga dan Saksana kembali mengucapkan terima kasih kepada Saga dan Abdul.     

"Sebenarnya kalian dari mana mau kemana?" tanya Saga penasaran.     

"Kami murid perguruan Wana Wira," ucap Lingga yang membuat Saga terkejut. Begitu pula Abdul yang sudah banyak tahu tentang perguruan itu. "Kami sedang mencari seorang buronan yang bernama Saga Winata. Dia lah yang menjadi otak pembantaian dua lusin murid perguruan kami."     

Mendengar hal itu, Saga dan Abdul saling tatap kemudian terdiam cukup lama, hingga membuat Lingga merasa ada yang aneh.     

"Ki Sanak?" tegur Lingga memastikan semuanya baik-baik saja. "Kenapa diam begitu? kalian mengenalnya?"     

"Sebentar... " Saga mengajak Abdul untuk menjauh sejenak dari mereka untuk membicarakan perihal ini. Di samping sebuah pohon, mereka saling berbisik.     

"Aku harus menunjukannya kepada mereka," bisik Saga pelan.     

"Apa kamu sudah siap?" tanya Abdul memastikan.     

"Barangkali mereka bisa membantu membersihkan nama-ku." Saga mulai memikirkan hal ini. Dia harus segera terbebas dari status buron nya. Mungkin setelah Lingga dan Saksana tahu, mereka bisa membantunya membersihkan nama.     

Mereka kembali ke tempat semula. Abdul mengangguk pelan ke arah Saga seolah memberinya keputusan supaya Saga menunjukkan jati dirinya. Dengan perlahan Saga pun membuka caping dan cadarnya. Alangkah terkejut bercampur jengkel Lingga dan Saksana. Namun, kondisi nya yang sedang tidak memungkinkan untuk bertarung membuat mereka pasrah ketika membangkitkan badan saja rasanya sudah tidak karuan. Rasa sakit masih menyelimuti sekujur tubuh mereka.     

"Jangan dipaksa. Dengar dulu penjelasan kami." Abdul menahan mereka dan kembali merebahkan badan mereka di atas tanah yang beralaskan dedaunan dan kain.     

"Bajingan ini telah membunuh saudara-saudara kami...!!!" teriak Lingga memaki.     

"Bukan aku," ujar Saga yang membuat Lingga dan Saksana mengerutkan dahi. "Ada yang mengadu domba. Ini adalah tindakan orang lain yang mengatasnamakan aku."     

"Tapi kau memang seorang penjahat!" seru Lingga lagi.     

"Aku memang perampok. Tapi, aku tidak pernah merencanakan pembunuhan kepada siapapun. Aku membunuh hanya ketika melindungi diri saat melakukan aksi perampokan. Itu pun jika dianggap perlu."     

Penjelasan itu cukup membuat mereka sedikit terbuka. Namun tak bisa sepenuhnya percaya begitu saja.     

"Tidak kalian tidak percaya tidak apa-apa. Jika aku benar-benar membunuh saudara kalian, mungkin aku juga sudah dengan mudah membunuh kalian juga dengan keadaan yang lemah seperti sekarang ini," ujar Saga meyakinkan.     

Ucapan Saga ini cukup membuat mereka sedikit yakin. Tapi jika bukan dia lalu siapa? itulah yang masih menjadi pertanyaan mereka.     

Gemuruh langit menemani perjalanan Jayendra yang melajukan kuda begitu cepat untuk buru-buru sampai di kaki Galunggung sebelum hujan tiba. Belum jauh dirinya meninggalkan Istana Galuh. Seruni mengikuti di belakangnya dengan laju kuda yang sama cepatnya. Mereka menyusuri tanjakan bebatuan yang terjal hingga kuda-kuda mereka meringkik keras. Suara ringkikan yang nyaring membuat beterbangan burung-burung yang tengah asyik bersarang di pepohonan. Serangga hutan seolah menyambut kehadiran mereka berdua dengan suara-suaranya yang khas.     

Tak terlihat ada rasa lelah bagi sepasang kekasih ini meski telah cukup lama menggenggam pelana kuda dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa kali pantatnya harus terbanting di punggung kuda karena hentakan langkah kuda yang kuat. Bukan pendekar pilih tanding namanya kalau belum terlatih mengendarai seekor kuda. Bagi mereka, justru ini adalah hal yang menyenangkan.     

Ketika mereka memasuki hutan pinus, gelegar petir menyambar kuat, disusul dengan gerimis yang semakin lama semakin deras. Maka turunlah hujan deras membasahi pakaian dan kuda mereka.     

"Kita cari tempat berteduh, Kang!" teriak Seruni di belakang memecah suara riuh hujan yang menghantam dedaunan pinus.     

"Sudah kepalang basah. Kita harus cepat sampai perguruan sore ini."     

Ada sedikit rasa kecewa di wajah Seruni, bagaimana mungkin kekasihnya itu tega membiarkannya basah-basahan. Bagaimanapun, meski Seruni seorang pendekar pilih tanding, Jayendra juga harus bisa memikirkan kesehatan kekasihnya itu, seorang pendekar pun bisa sakit demam ketika tubuhnya sudah merasa terlalu kedinginan. Baginya, Jayendra sungguh bukan pria yang peka terhadap perempuan. Dia malah semakin cepat melajukan kuda alih-alih menuruti permintaannya.     

Jayendra semakin jauh melaju hingga secara sadar suara telapak kudanya tak semeriah sebelumnya, seolah kini hanya ada seekor kuda saja yang didengar. Dan begitu ia menoleh ke belakang, benar saja, Seruni menghilang dari pandangan.     

"Seruni!" panggilnya menyeru, tiada jawaban apapun dari kekasihnya itu. Dia mulai berpikiran buruk tentang kekasihnya itu. Kuda masih melaju cepat ketika Jayendra menoleh ke belakang. Sebatang pohon pinus dengan cabangnya yang rendah menghantam dari depan hingga membuatnya terjatuh dan terguling. Sementara kudanya masih melaju cepat meninggalkannya tanpa sadar tuannya sudah tak berada di punggungnya lagi.     

"Sial!" keluhnya sambil mengerang kesakitan karena batang pohon itu tepat mengenai wajahnya. Tangannya memegangi wajahnya yang memar terguyur hujan deras. Hari yang cukup sial, bahkan kudanya sendiri meninggalkannya. Namun, pikirannya kini tertuju pada Seruni. Dia bergegas bangkit dan berlari kembali melalui jalan yang telah dia lewati. Kakinya sesekali terperosok ke jalanan berlumpur.     

Langkahnya terhenti sampai tempat ketika Seruni mengeluh kepadanya untuk beristirahat. Namun, tidak terlihat adanya tanda-tanda keberadaan kekasihnya itu.     

"Seruni...!!!" Teriaknya lagi selama berulang-ulang.     

"Cari siapa, Ki Sanak?" terdengar suara seseorang dari atas pohon besar. Jayendra mendongak ke atas, ternyata itu adalah orang yang sedang dicarinya. Seruni malah sedang asyik berteduh di atas batang pohon Oak besar. Jayendra menghela napas panjang. Ada sedikit perasaan kesal kepada kekasihnya itu.     

"Kenapa tidak bilang kalau kamu berhenti?" tanya Jayendra bernada kesal.     

"Aku sudah memintamu untuk berteduh. Tapi kamu tidak peduli," ketus Seruni tanpa memandangnya. Jayendra kini menyadari kesalahannya sendiri. Dia kemudian menaiki pohon besar itu untuk mendekati Seruni. Namun wanita itu buru-buru turun kemudian menaiki kudanya yang dikekang pada akar besar pohon Oak.     

"Jadi laki-laki kok egois," pungkas Seruni yang kemudian melajukan kudanya dengan cepat menjauh dari Jayendra. Dia hanya pasrah membiarkan kekasihnya itu pergi. Sebab, ini sudah kesekian kali dia pergi begitu saja, cukup lelah jika Jayendra harus terus-terusan mengejar dan membujuknya. Lagipula dia yakin, jika marahnya reda, pasti Seruni akan kembali.     

Bebannya hari ini sudah cukup banyak. Dia harus segera menemui gurunya di Perguruan Wana Wira. Jaraknya masih cukup jauh sementara kudanya kini sudah hilang. Terpaksa dia berjalan kaki sekarang. Sepertinya akan cukup melelahkan karena harus menaiki bukit dan kaki gunung.     

***     

Di tepi sungai, Saga dan Abdul menyaksikan seorang tabib yang sedang mengobati Lingga dan Saksana. Tampak tabib itu sedang mengolesi beberapa ramuan untuk mencairkan peredaran darah yang tersumbat akibat memar terkena pukulan.     

"Luka dalam kalian tidak begitu parah. Untung kalian seorang pendekar. Jika tidak, mungkin kalian sudah mati," ucap Tabib itu menjelaskan. "Kalian harus memulihkan keadaan dengan beristirahat selama tiga hari."     

Mereka semua mengangguk mengerti, beberapa saat kemudian Sang Tabib berpamitan untuk meninggalkan mereka. Kemudian Lingga dan Saksana kembali mengucapkan terima kasih kepada Saga dan Abdul.     

"Sebenarnya kalian dari mana mau kemana?" tanya Saga penasaran.     

"Kami murid perguruan Wana Wira," ucap Lingga yang membuat Saga terkejut. Begitu pula Abdul yang sudah banyak tahu tentang perguruan itu. "Kami sedang mencari seorang buronan yang bernama Saga Winata. Dia lah yang menjadi otak pembantaian dua lusin murid perguruan kami."     

Mendengar hal itu, Saga dan Abdul saling tatap kemudian terdiam cukup lama, hingga membuat Lingga merasa ada yang aneh.     

"Ki Sanak?" tegur Lingga memastikan semuanya baik-baik saja. "Kenapa diam begitu? kalian mengenalnya?"     

"Sebentar... " Saga mengajak Abdul untuk menjauh sejenak dari mereka untuk membicarakan perihal ini. Di samping sebuah pohon, mereka saling berbisik.     

"Aku harus menunjukannya kepada mereka," bisik Saga pelan.     

"Apa kamu sudah siap?" tanya Abdul memastikan.     

"Barangkali mereka bisa membantu membersihkan nama-ku." Saga mulai memikirkan hal ini. Dia harus segera terbebas dari status buron nya. Mungkin setelah Lingga dan Saksana tahu, mereka bisa membantunya membersihkan nama.     

Mereka kembali ke tempat semula. Abdul mengangguk pelan ke arah Saga seolah memberinya keputusan supaya Saga menunjukkan jati dirinya. Dengan perlahan Saga pun membuka caping dan cadarnya. Alangkah terkejut bercampur jengkel Lingga dan Saksana. Namun, kondisi nya yang sedang tidak memungkinkan untuk bertarung membuat mereka pasrah ketika membangkitkan badan saja rasanya sudah tidak karuan. Rasa sakit masih menyelimuti sekujur tubuh mereka.     

"Jangan dipaksa. Dengar dulu penjelasan kami." Abdul menahan mereka dan kembali merebahkan badan mereka di atas tanah yang beralaskan dedaunan dan kain.     

"Bajingan ini telah membunuh saudara-saudara kami...!!!" teriak Lingga memaki.     

"Bukan aku," ujar Saga yang membuat Lingga dan Saksana mengerutkan dahi. "Ada yang mengadu domba. Ini adalah tindakan orang lain yang mengatasnamakan aku."     

"Tapi kau memang seorang penjahat!" seru Lingga lagi.     

"Aku memang perampok. Tapi, aku tidak pernah merencanakan pembunuhan kepada siapapun. Aku membunuh hanya ketika melindungi diri saat melakukan aksi perampokan. Itu pun jika dianggap perlu."     

Penjelasan itu cukup membuat mereka sedikit terbuka. Namun tak bisa sepenuhnya percaya begitu saja.     

"Tidak kalian tidak percaya tidak apa-apa. Jika aku benar-benar membunuh saudara kalian, mungkin aku juga sudah dengan mudah membunuh kalian juga dengan keadaan yang lemah seperti sekarang ini," ujar Saga meyakinkan.     

Ucapan Saga ini cukup membuat mereka sedikit yakin. Tapi jika bukan dia lalu siapa? itulah yang masih menjadi pertanyaan mereka.     

Gemuruh langit menemani perjalanan Jayendra yang melajukan kuda begitu cepat untuk buru-buru sampai di kaki Galunggung sebelum hujan tiba. Belum jauh dirinya meninggalkan Istana Galuh. Seruni mengikuti di belakangnya dengan laju kuda yang sama cepatnya. Mereka menyusuri tanjakan bebatuan yang terjal hingga kuda-kuda mereka meringkik keras. Suara ringkikan yang nyaring membuat beterbangan burung-burung yang tengah asyik bersarang di pepohonan. Serangga hutan seolah menyambut kehadiran mereka berdua dengan suara-suaranya yang khas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.