NITYASA : THE SPECIAL GIFT

208. Permata Tanah Galuh



208. Permata Tanah Galuh

0Ki Menyawak yang tidak sabaran dibuat geram, ia kemudian memiting leher pria itu dari belakang. Kemudian membantingnya ke tanah. Pria itu berteriak meminta tolong. Tiba-tiba datang serombongan orang berpakaian prajurit penjaga kota menghampiri. Mereka berjumlah sekitar lima orang.     

"Ada masalah apa?" seru salah satu prajurit bertanya.     

"Orang-orang ini memaksa ku menjawab pertanyaan yang tidak bisa aku jawab." Pria itu mengadu sambil wajahnya meringis kesakitan.     

"Kalian ditangkap karena telah merusuh di sini. Turunkan senjata kalian, Pendekar." Beberapa pajurit tersebut menodongkan tombak ke arah Jayendra dan Ki Menyawak. Membuat Ki Menyawak melirik Jayendra. Lalu alih-alih meletakkan senjata, Jayendra malah membuka capingnya.     

Kelima Prajurit Penjaga Kota tersebut seketika bersimpuh dan memohon ampun ketika melihat orang yang akan mereka tangkap adalah seorang Senopati Galuh. Yang tentu saja adalah atasan mereka.     

"Ampun, Gusti Senopati. Hamba minta ampun karena tidak tahu. Ampun atas kelancangan hamba." Kata seorang prajurit.     

"Bangun!" tegas Jayendra. "Kami sudah bertanya baik-baik, tetapi pria ini bersikeras tidak mau menjawab kejadian yang sebenarnya, ada apa?"     

Beberapa prajurit itu gugup, mereka seolah mempunyai dua pilihan berat antara mengatakannya dan tidak. Mereka terdiam cukup lama. Tetapi, karena seorang senopati yang bertanya, maka terpaksa akhirnya mereka menjawab.     

"Kota ini diserang, Gusti?"     

"Diserang? Oleh siapa?"     

"Maaf Gusti, bukannya hamba ingin menolak perintah, tetapi alangkah lebih baik, jika Tuan Walikota lah yang berhak menjelaskan ini, hamba tidak punya kewenangan dan telah disumpah untuk tidak mengatakannya."     

"Baiklah. Ayo antarkan aku ke kediaman Walikota."     

"Baik, Gusti."     

***     

Jayendra dan Ki Menyawak diantar oleh kelima orang Prajurit Penjaga Kota yang ditemuinya di pemukiman, dikiranya rumah Walikota tak jauh dari pemukiman tersebut, tetapi ternyata, mereka harus berjalan lagi cukup jauh hingga melewati dua perkampungan. Para prajurit itu berjalan kaki sementara Jayendra dan Ki Menyawak menaiki kuda. Tidak ada yang tahu pasti berapa jauh lagi jarak yang akan ditempuh.     

Kini mereka harus melewati sebuah sungai yang airnya cukup dalam, tidak ada rakit yang bisa digunakan untuk menyeberang bersama kuda, hanya ada dua sampan kecil yang dinaiki bergantian. Maka kuda-kuda mereka terpaksa harus ditinggal di tepi sungai. Sehingga terpaksa setelah melewati sungai, mereka berlanjut berjalan kaki.     

Perbedaan kekuatan antara prajurit dan seorang pendekar terletak pada staminanya. Prajurit sudah terlatih untuk medan tempur yang sedemikian rupa sehingga stamina bisa terjaga, rasa lelah pun tidak cepat melemahkan seorang prajurit, sementara bagi pendekar, sesakti apapun, stamina biasanya tidak cukup baik. Itu karena di dalam pengembaraan, seringkali pendekar banyak berhenti karena melakukan istirahat dalam perjalanan jauh sekalipun.     

Tidak cukup sampai di situ perjuangan Jayendra dan Ki Menyawak, kini mereka harus melewati perbukitan dengan tanjakan curam dan terjal. Begitu lelah jalan yang harus ditempuh sehingga mereka harus sesekali berhenti. Namun, karena para prajurit itu terus saja berjalan, mereka terpaksa mengikuti nya selalu. Sebenarnya bisa saja Jayendra menyuruh mereka beristirahat sejenak. Namun, cukup malu baginya jika harus merasa lebih lelah dari anak buahnya.     

Sampailah mereka di puncak perbukitan. Puncak perbukitan itu dipenuhi beberapa pohon jati yang daunnya telah berguguran, ranting-ranting kering berserakan di bawahnya, terlihat ada sebuah bangunan besar di sana. Sudah sejak ratusan tahun yang silam bangunan itu berdiri di bangun di atas bukit. Di sekeliling bukit itu terlihat gersang, padahal ini sudah memasuki musim penghujan. Tidak satupun pepohonan berdaun tumbuh di sana.     

Entah siapa yang mendirikan bangunan ini. Tidak ada seorang pun yang tahu. Ada yang mengatakan konon bangunan megah dengan keempat sisi yang menjulang ke langit itu dibangun oleh seorang legenda setempat bernama Jaka Timbang hanya dalam waktu setengah malam. Jika ini merupakan kenyataan, tidak terbayangkan bagaimana saktinya ilmu yang dimiliki oleh seorang legenda yang bernama Jaka Timbang tersebut.     

Salah satu tiang penyangga bangunan tersebut saja besarnya tujuh kaki pria dewasa. Sedangkan jumlah tiang seluruhnya sebanyak 50 buah. Masing-masing dari 25-nya berwarna emas dan perak. Tujuan didirikannya bangunan tersebut tidak ada yang tahu. Maka cukuplah menjadi teka-teki bagi warga setempat.     

"Aku tidak yakin ada orang yang mau tinggal di tempat seperti ini...," ujar Jayendra.     

"Luarnya saja yang terlihat lusuh, Gusti. Di dalamnya sangat bersih," kata seorang prajurit.     

Ia kemudian mengetuk pintu yang terbuat dari potongan kayu lempeng yang hanya diikat oleh bambu tali. Dibukanya pintu itu setengah oleh seorang gadis muda berkulit sawo matang dengan wajah penuh bintik-bintik merah. Ia tak berani membuka penuh pintu itu takut kalau-kalau yang datang bukan berniat baik. Ia kemudian terkejut melihat seorang berpakaian prajurit yang berada di depannya.     

Ketika pintu dibuka, bau busuk tiba-tiba tercium sangat menyengat, bau yang sama seperti saat Jayendra dan Ki Menyawak mendapati seseorang yang ditandu ketika di pemukiman tadi.     

"Bapak ada?" Kata prajurit bertanya.     

"Ada," jawab gadis itu, ia menyisir pandangan ke arah lima orang prajurit di depannya, Jayendra, dan Ki Menyawak. "Kalian mau apa?"     

"Ada tamu ingin bertemu Walikota. Gusti Senopati Jayendra dari Saunggalah."     

"Silakan masuk. Tapi hanya Gusti Senopati saja. Dan jangan sentuh apapun," kata Gadis itu yang kemudian membuka pintunya secara penuh. Jayendra mengangguk ketika si prajurit melirik ke arahnya. Gadis itu lalu mempersilakan Jayendra untuk masuk dan menemui Walikota yang sedang terbaring di ranjang. Tubuhnya kurus kerontang dengan tubuh banyak bercak merah bernanah. Bau busuk tercium dari badannya. Persis seperti kondisi orang yang ditemuinya di pemukiman tadi. Para prajurit menunggu di depan. Begitu juga Ki Menyawak. Hanya Jayendra yang diperbolehkan masuk.     

"Gusti Senopati?" sapa Walikota setengah bertanya, Ia belum terlalu yakin. Ia belum pernah bertemu Jayendra karena tidak hadir ketika dilangsungkan upacara pelantikan Senopati.     

"Iya Tuan Walikota." Jayendra berusaha bersikap pelan dan penuh lemah lembut karena merasa iba dengan Walikota yang kondisinya sangat mengenaskan. Ia bercampur perasaan tidak nyaman karena sumber aroma menyengat itu kini malah berada di depan matanya. bahkan berbicara dengan ucapan terbata-bata.     

"Ada keperluan apa Gusti Senopati berkunjung?" tanya Walikota seakan sangat tersiksa hanya untuk mengucap sepatah dua patah kata.     

"Tidak ada, hanya berusaha membesuk."     

Jayendra tidak tahan lagi. Ia kemudian bergegas keluar menemui si prajurit tadi. Mulut dan hidungnya masih ditutup kain rapat-rapat. Supaya bau busuknya berkurang barang sedikit.     

"Bagaimana aku bisa mendapatkan penjelasan kalau bicara saja dia sulit," kata Jayendra kepada Si Prajurit. "Kenapa tidak kamu saja yang jelaskan."     

"Ampun, Gusti. Hamba memang tidak mempunyai wewenang untuk itu."     

"Beliau menderita penyakit kulit Iblis Betina...," serobot gadis yang merupakan anak dari Walikota itu. "Untuk itulah sengaja kami tinggal menjauh dari penduduk desa supaya orang-orang tidak tertular."     

"Apakah sudah diobati?" tanya Jayendra     

"Segala jenis pengobatan sudah dijalani. Bahkan keadaan Ayahku ini lebih baik daripada orang-orang yang lebih dulu tertular. Mereka bahkan ada yang sampai tidak sadarkan diri selama berminggu-minggu. Kata seorang Tabib, mereka baru akan sadar jika penyakitnya benar-benar sembuh. Kemungkinan Ayahku akan sampai seperti itu sangat besar sekali."     

"Di pemukiman sana sudah ada yang tertular penyakit serupa. Bagaimana bisa? Apakah masih ada penderita yang berkeliaran?" tanya Jayendra kembali.     

"Kami sudah berusaha menjauhkan Walikota dari pemukiman. Namun, sepertinya kini sudah semakin banyak orang yang tertular entah darimana. Kemungkinan dari orang-orang seperti kalian yang sengaja mengunjungi Walikota kemari. Atau bisa jadi daei sumber pertama. Orang yang telah menularkan penyakit ini kepada Walikota."     

"Siapa sumber pertama?" Jayendra bertanya dengan penuh kejelian mendengar penjelasan gadis itu.     

"Seorang pertapa tua, namanya Ki Banyak Winata."     

Mendengar itu tentu saja membuat Ki Menyawak dan Jayendra sangat terkejut. Rupanya ia adalah orang yang sedang dicari-cari. Banyak Winata guru dari Saga Winata.     

"Di mana dia sekarang?" tanya Jayendra mengulik.     

"Aku tidak tahu." Jawab gadis itu yang kemudian tanpa permisi menutup pintu keras-keras. Membuat semuanya terkejut karena suara pintu yang mengagetkan.     

"Maaf, Gusti. Hamba tahu di mana Ki Banyak Winata berada. Dia biasanya melakukan tapa di goa Bukit Wuni tidak jauh dari sini." Prajurit tersebut mencoba memberikan informasi.     

"Kenapa kalian tidak pernah melaporkan hal ini ke Istana?"     

"Penyakit ini adalah aib bagi seluruh penduduk Kota Majinang. Jadi, melaporkan sama dengan membuka aib sendiri."     

"Tapi kalian tahu kan kalau dengan melapor ke istana, maka pihak istana juga akan membantu mencari jalan untuk kesembuhan kalian? Jika wabah dibiarkan, maka ini akan cepat menyebar ke seluruh kota, bahkan ke luar daerah dan akan semakin sulit diatasi."     

"Siap Dipahami, Gusti." jawab prajurit.     

"Jadi, bagaimana? kita lanjut cari Banyak Winata?" tanya Ki Menyawak.     

"Tidak. aku akan ke Galunggung, meminta bantuan adikku untuk menangani wabah ini. Bagiku hal ini lebih penting. Banyak manusia harus ditolong. Galuh Raya harus diselamatkan."     

"Sejak kapan Gusti peduli dengan nasib seluruh Galuh? Kenapa tiba-tiba Gusti ingin menyelamatkan seluruh Galuh Raya?"     

"Karena aku tinggal di dalamnya. Bodoh!"     

(bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     

Sebab, pengetahuan akan sejarah bangsa sendiri sangatlah penting di era milenium seperti sekarang. Meskipun ada embel-embel fiksi, sejatinya genre sejarah mempunyai ruh sendiri dalam membawa kisah-kisah klasik yang sesuai dengan kondisi pada zaman yang diceritakan tersebut. Paling tidak dengan mengkombinasikan sejarah nyata dengan fiksi, mampu membuat sejarah tidak terasa membosankan, justru akan terlihat menyenangkan.     

"Dengar Ki Sanak. Mau kalian pendekar hebat sekalipun, jika kalian berlama-lama berada di kota ini, tentu akan sangat bahaya. Karena ancaman yang akan kalian hadapi akan lebih buruk daripada apa yang pernah kalian lawan." Pria tersebut bersikeras berusaha agara Jayendra dan Ki Menyawak segera pergi dari kota ini.     

"Siapa? Aku pernah melawan iblis dan siluman, jadi itu tidak jadi masalah buat ku." Ki Menyawak sesumbar karena merasa yakin bahwa musuh yang dibicarakan ini mampu ia hadapi.     

Ki Menyawak yang tidak sabaran dibuat geram, ia kemudian memiting leher pria itu dari belakang. Kemudian membantingnya ke tanah. Pria itu berteriak meminta tolong. Tiba-tiba datang serombongan orang berpakaian prajurit penjaga kota menghampiri. Mereka berjumlah sekitar lima orang.     

"Ada masalah apa?" seru salah satu prajurit bertanya.     

"Orang-orang ini memaksa ku menjawab pertanyaan yang tidak bisa aku jawab." Pria itu mengadu sambil wajahnya meringis kesakitan.     

"Kalian ditangkap karena telah merusuh di sini. Turunkan senjata kalian, Pendekar." Beberapa pajurit tersebut menodongkan tombak ke arah Jayendra dan Ki Menyawak. Membuat Ki Menyawak melirik Jayendra. Lalu alih-alih meletakkan senjata, Jayendra malah membuka capingnya.     

Kelima Prajurit Penjaga Kota tersebut seketika bersimpuh dan memohon ampun ketika melihat orang yang akan mereka tangkap adalah seorang Senopati Galuh. Yang tentu saja adalah atasan mereka.     

"Ampun, Gusti Senopati. Hamba minta ampun karena tidak tahu. Ampun atas kelancangan hamba." Kata seorang prajurit.     

"Bangun!" tegas Jayendra. "Kami sudah bertanya baik-baik, tetapi pria ini bersikeras tidak mau menjawab kejadian yang sebenarnya, ada apa?"     

Beberapa prajurit itu gugup, mereka seolah mempunyai dua pilihan berat antara mengatakannya dan tidak. Mereka terdiam cukup lama. Tetapi, karena seorang senopati yang bertanya, maka terpaksa akhirnya mereka menjawab.     

"Kota ini diserang, Gusti?"     

"Diserang? Oleh siapa?"     

"Maaf Gusti, bukannya hamba ingin menolak perintah, tetapi alangkah lebih baik, jika Tuan Walikota lah yang berhak menjelaskan ini, hamba tidak punya kewenangan dan telah disumpah untuk tidak mengatakannya."     

"Baiklah. Ayo antarkan aku ke kediaman Walikota."     

"Baik, Gusti."     

***     

Jayendra dan Ki Menyawak diantar oleh kelima orang Prajurit Penjaga Kota yang ditemuinya di pemukiman, dikiranya rumah Walikota tak jauh dari pemukiman tersebut, tetapi ternyata, mereka harus berjalan lagi cukup jauh hingga melewati dua perkampungan. Para prajurit itu berjalan kaki sementara Jayendra dan Ki Menyawak menaiki kuda. Tidak ada yang tahu pasti berapa jauh lagi jarak yang akan ditempuh.     

Kini mereka harus melewati sebuah sungai yang airnya cukup dalam, tidak ada rakit yang bisa digunakan untuk menyeberang bersama kuda, hanya ada dua sampan kecil yang dinaiki bergantian. Maka kuda-kuda mereka terpaksa harus ditinggal di tepi sungai. Sehingga terpaksa setelah melewati sungai, mereka berlanjut berjalan kaki.     

Perbedaan kekuatan antara prajurit dan seorang pendekar terletak pada staminanya. Prajurit sudah terlatih untuk medan tempur yang sedemikian rupa sehingga stamina bisa terjaga, rasa lelah pun tidak cepat melemahkan seorang prajurit, sementara bagi pendekar, sesakti apapun, stamina biasanya tidak cukup baik. Itu karena di dalam pengembaraan, seringkali pendekar banyak berhenti karena melakukan istirahat dalam perjalanan jauh sekalipun.     

Tidak cukup sampai di situ perjuangan Jayendra dan Ki Menyawak, kini mereka harus melewati perbukitan dengan tanjakan curam dan terjal. Begitu lelah jalan yang harus ditempuh sehingga mereka harus sesekali berhenti. Namun, karena para prajurit itu terus saja berjalan, mereka terpaksa mengikuti nya selalu. Sebenarnya bisa saja Jayendra menyuruh mereka beristirahat sejenak. Namun, cukup malu baginya jika harus merasa lebih lelah dari anak buahnya.     

Sampailah mereka di puncak perbukitan. Puncak perbukitan itu dipenuhi beberapa pohon jati yang daunnya telah berguguran, ranting-ranting kering berserakan di bawahnya, terlihat ada sebuah bangunan besar di sana. Sudah sejak ratusan tahun yang silam bangunan itu berdiri di bangun di atas bukit. Di sekeliling bukit itu terlihat gersang, padahal ini sudah memasuki musim penghujan. Tidak satupun pepohonan berdaun tumbuh di sana.     

Entah siapa yang mendirikan bangunan ini. Tidak ada seorang pun yang tahu. Ada yang mengatakan konon bangunan megah dengan keempat sisi yang menjulang ke langit itu dibangun oleh seorang legenda setempat bernama Jaka Timbang hanya dalam waktu setengah malam. Jika ini merupakan kenyataan, tidak terbayangkan bagaimana saktinya ilmu yang dimiliki oleh seorang legenda yang bernama Jaka Timbang tersebut.     

Salah satu tiang penyangga bangunan tersebut saja besarnya tujuh kaki pria dewasa. Sedangkan jumlah tiang seluruhnya sebanyak 50 buah. Masing-masing dari 25-nya berwarna emas dan perak. Tujuan didirikannya bangunan tersebut tidak ada yang tahu. Maka cukuplah menjadi teka-teki bagi warga setempat.     

"Aku tidak yakin ada orang yang mau tinggal di tempat seperti ini...," ujar Jayendra.     

"Luarnya saja yang terlihat lusuh, Gusti. Di dalamnya sangat bersih," kata seorang prajurit.     

Ia kemudian mengetuk pintu yang terbuat dari potongan kayu lempeng yang hanya diikat oleh bambu tali. Dibukanya pintu itu setengah oleh seorang gadis muda berkulit sawo matang dengan wajah penuh bintik-bintik merah. Ia tak berani membuka penuh pintu itu takut kalau-kalau yang datang bukan berniat baik. Ia kemudian terkejut melihat seorang berpakaian prajurit yang berada di depannya.     

Ketika pintu dibuka, bau busuk tiba-tiba tercium sangat menyengat, bau yang sama seperti saat Jayendra dan Ki Menyawak mendapati seseorang yang ditandu ketika di pemukiman tadi.     

"Bapak ada?" Kata prajurit bertanya.     

"Ada," jawab gadis itu, ia menyisir pandangan ke arah lima orang prajurit di depannya, Jayendra, dan Ki Menyawak. "Kalian mau apa?"     

"Ada tamu ingin bertemu Walikota. Gusti Senopati Jayendra dari Saunggalah."     

"Silakan masuk. Tapi hanya Gusti Senopati saja. Dan jangan sentuh apapun," kata Gadis itu yang kemudian membuka pintunya secara penuh. Jayendra mengangguk ketika si prajurit melirik ke arahnya. Gadis itu lalu mempersilakan Jayendra untuk masuk dan menemui Walikota yang sedang terbaring di ranjang. Tubuhnya kurus kerontang dengan tubuh banyak bercak merah bernanah. Bau busuk tercium dari badannya. Persis seperti kondisi orang yang ditemuinya di pemukiman tadi. Para prajurit menunggu di depan. Begitu juga Ki Menyawak. Hanya Jayendra yang diperbolehkan masuk.     

"Gusti Senopati?" sapa Walikota setengah bertanya, Ia belum terlalu yakin. Ia belum pernah bertemu Jayendra karena tidak hadir ketika dilangsungkan upacara pelantikan Senopati.     

"Iya Tuan Walikota." Jayendra berusaha bersikap pelan dan penuh lemah lembut karena merasa iba dengan Walikota yang kondisinya sangat mengenaskan. Ia bercampur perasaan tidak nyaman karena sumber aroma menyengat itu kini malah berada di depan matanya. bahkan berbicara dengan ucapan terbata-bata.     

"Ada keperluan apa Gusti Senopati berkunjung?" tanya Walikota seakan sangat tersiksa hanya untuk mengucap sepatah dua patah kata.     

"Tidak ada, hanya berusaha membesuk."     

Jayendra tidak tahan lagi. Ia kemudian bergegas keluar menemui si prajurit tadi. Mulut dan hidungnya masih ditutup kain rapat-rapat. Supaya bau busuknya berkurang barang sedikit.     

"Bagaimana aku bisa mendapatkan penjelasan kalau bicara saja dia sulit," kata Jayendra kepada Si Prajurit. "Kenapa tidak kamu saja yang jelaskan."     

"Ampun, Gusti. Hamba memang tidak mempunyai wewenang untuk itu."     

"Beliau menderita penyakit kulit Iblis Betina...," serobot gadis yang merupakan anak dari Walikota itu. "Untuk itulah sengaja kami tinggal menjauh dari penduduk desa supaya orang-orang tidak tertular."     

"Apakah sudah diobati?" tanya Jayendra     

"Segala jenis pengobatan sudah dijalani. Bahkan keadaan Ayahku ini lebih baik daripada orang-orang yang lebih dulu tertular. Mereka bahkan ada yang sampai tidak sadarkan diri selama berminggu-minggu. Kata seorang Tabib, mereka baru akan sadar jika penyakitnya benar-benar sembuh. Kemungkinan Ayahku akan sampai seperti itu sangat besar sekali."     

"Di pemukiman sana sudah ada yang tertular penyakit serupa. Bagaimana bisa? Apakah masih ada penderita yang berkeliaran?" tanya Jayendra kembali.     

"Kami sudah berusaha menjauhkan Walikota dari pemukiman. Namun, sepertinya kini sudah semakin banyak orang yang tertular entah darimana. Kemungkinan dari orang-orang seperti kalian yang sengaja mengunjungi Walikota kemari. Atau bisa jadi daei sumber pertama. Orang yang telah menularkan penyakit ini kepada Walikota."     

"Siapa sumber pertama?" Jayendra bertanya dengan penuh kejelian mendengar penjelasan gadis itu.     

"Seorang pertapa tua, namanya Ki Banyak Winata."     

Mendengar itu tentu saja membuat Ki Menyawak dan Jayendra sangat terkejut. Rupanya ia adalah orang yang sedang dicari-cari. Banyak Winata guru dari Saga Winata.     

"Di mana dia sekarang?" tanya Jayendra mengulik.     

"Aku tidak tahu." Jawab gadis itu yang kemudian tanpa permisi menutup pintu keras-keras. Membuat semuanya terkejut karena suara pintu yang mengagetkan.     

"Maaf, Gusti. Hamba tahu di mana Ki Banyak Winata berada. Dia biasanya melakukan tapa di goa Bukit Wuni tidak jauh dari sini." Prajurit tersebut mencoba memberikan informasi.     

"Sejak kapan Gusti peduli dengan nasib seluruh Galuh? Kenapa tiba-tiba Gusti ingin menyelamatkan seluruh Galuh Raya?"     

"Kenapa kalian tidak pernah melaporkan hal ini ke Istana?"     

"Penyakit ini adalah aib bagi seluruh penduduk Kota Majinang. Jadi, melaporkan sama dengan membuka aib sendiri."     

"Tapi kalian tahu kan kalau dengan melapor ke istana, maka pihak istana juga akan membantu mencari jalan untuk kesembuhan kalian? Jika wabah dibiarkan, maka ini akan cepat menyebar ke seluruh kota, bahkan ke luar daerah dan akan semakin sulit diatasi."     

"Siap Dipahami, Gusti." jawab prajurit.     

"Jadi, bagaimana? kita lanjut cari Banyak Winata?" tanya Ki Menyawak.     

"Tidak. aku akan ke Galunggung, meminta bantuan adikku untuk menangani wabah ini. Bagiku hal ini lebih penting. Banyak manusia harus ditolong. Galuh Raya harus diselamatkan."     

"Sejak kapan Gusti peduli dengan nasib seluruh Galuh? Kenapa tiba-tiba Gusti ingin menyelamatkan seluruh Galuh Raya?"     

"Dengar Ki Sanak. Mau kalian pendekar hebat sekalipun, jika kalian berlama-lama berada di kota ini, tentu akan sangat bahaya. Karena ancaman yang akan kalian hadapi akan lebih buruk daripada apa yang pernah kalian lawan." Pria tersebut bersikeras berusaha agara Jayendra dan Ki Menyawak segera pergi dari kota ini.     

"Siapa? Aku pernah melawan iblis dan siluman, jadi itu tidak jadi masalah buat ku." Ki Menyawak sesumbar karena merasa yakin bahwa musuh yang dibicarakan ini mampu ia hadapi.     

"Segala jenis pengobatan sudah dijalani. Bahkan keadaan Ayahku ini lebih baik daripada orang-orang yang lebih dulu tertular. Mereka bahkan ada yang sampai tidak sadarkan diri selama berminggu-minggu. Kata seorang Tabib, mereka baru akan sadar jika penyakitnya benar-benar sembuh. Kemungkinan Ayahku akan sampai seperti itu sangat besar sekali."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.