Bara

Unveil 4



Unveil 4

0Lewat tengah hari, Bara kembali terbangun. Kepalanya sudah tidak terlalu nyeri seperti sebelumnya. Bara terduduk dan berusaha turun dari tempat tidur. Namun ia mengalami sedikit kesulitan karena tangannya masih dipasangi selang infus. Dengan hati-hati Bara berdiri sambil memegangi tiang penyangga infus dan perlahan berjalan menuju pintu kamar Pak Haryo.     

Begitu Bara hendak membuka pintu kamar Pak Haryo, tiba-tiba ada seseorang yang terlebih dahulu membuka pintu tersebut dari luar. Bara segera memundurkan langkahnya. Dan orang yang membuka pintu kamar Pak Haryo masuk ke dalam.     

Arga terkejut begitu melihat Bara sudah berdiri di belakang pintu. "Lu udah bangun?"     

Bara tersenyum menyambut Arga. "Gue baru mau cari orang buat lepasin ini." Bara mengangkat satu tangannya yang terhubung dengan selang infus.     

Arga segera meletakkan baki yang sedari tadi ia bawa di meja terdekat. "Sebentar, biar gue panggilin. Lu tunggu aja dulu di sini."     

Bara mengangguk sementara Arga berjalan menuju pesawat telpon yang ada di dalam kamar Pak Haryo dan segera menghubunginya. Selesai menelpon, Arga kembali menghampiri Bara. "Sebentar lagi mereka naik. Lu duduk aja dulu."     

Bara segera berjalan kembali menuju tempat tidur Pak Haryo dan duduk di tepi tempat tidur sambil menunggu. Arga kembali berjalan menghampiri Bara dengan membawa segelas air yang tadi ia bawa.     

"Minum dulu, Bar." Arga menyodorkan gelas yang ia bawa pada Bara.     

Bara segera menerimanya dan langsung meneguk habis isinya lalu kembali memberikan gelas yang sudah kosong tersebut pada Arga. "Thanks, Ga."     

Arga mengangguk canggung. Baru kali ini ia canggung menemui Bara.     

Bara menyadari Arga yang bersikap sedikit canggung padanya. "Lu kenapa kaya baru pertama kali ketemu sama gue gitu?"     

Arga tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ngga. Lu udah ngga kenapa-napa?" Arga mencoba mengalihkan pembicaraan.     

"Ngga, kok. Udah biasa," sahut Bara ringan.     

Arga mencoba untuk tersenyum setelah mendengar ucapan Bara. Berulang kali Arga mencoba untuk mengatakan sesuatu tetapi semua itu tertahan di mulutnya.     

"Ada yang mau lu sampaikan?" Tanya Bara tiba-tiba.     

Arga tergagap dan segera menggeleng cepat. "Nanti aja, tunggu Bapak yang cerita sama lu."     

Meski merasa keheranan dengan sikap yang ditunjukkan Arga, tetapi Bara tidak ingin ambil pusing. "Oke."     

Beberapa saat kemudian Pak Haryo datang ke kamarnya, diikuti seorang perawat yang berjalan di belakangnya. Perawat itu dengan cekatan segera menghampiri Bara dan melepaskan selang infus yang ada di punggung tangan Bara.     

"Makasih, Sus," ujar Bara begitu perawat yang datang bersama Pak Haryo selesai melepaskan jarum infusnya. Perawat itu hanya menggangguk dan pamit undur diri.     

Pak Haryo berjalan mendekati Bara. "Sudah lebih baik?"     

Bara mengangguk sembari menggoyang-goyangkan tangannya yang terasa pegal akibat jarum infus. Ia lalu bangkit berdiri.     

"Kamu mau ke mana?" tanya Pak Haryo.     

"Saya mau ke kamar saya dulu."     

"Kamu di sini saja. Biar Arga yang ambilkan barang-barang kamu di kamar," ujar Pak Haryo sambil menoleh pada Arga.     

Bara ikut menoleh pada Arga. Arga mengangguk kepalanya. "Lu bilang aja lu perlu apa, nanti gue yang ambil ke bawah," bujuk Arga.     

"Ngga usah. Biar gue turun ke bawah," sahut Bara.     

"Ya udah, kalo gitu, biar gue temenin ke bawah." Arga kembali mencoba untuk membujuk Bara.     

Bara tidak menjawab. "Saya ke bawah dulu, Eyang. Setelah ini, saya akan menemui Eyang di ruang kerja. Sepertinya banyak yang harus Eyang jelaskan sama saya." Ucapan Bara terdengar tenang, tetapi ia memberi ketegasan dalam setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.     

Pak Haryo tersenyum sambil mengangguk pelan dan Bara segera berjalan keluar dari kamar Pak Haryo. Pak Haryo kemudian berpaling pada Arga dan memberinya isyarat untuk segera menyusul Bara. Secepat kilat Arga segera menyusul Bara keluar dari kamar Pak Haryo.     

----     

"Bara, tunggu," seru Arga ketika ia sudah berada di luar kamar Pak Haryo.     

Bara menoleh. "Ada apa?"     

"Biar gue temenin." Arga berjalan cepat menghampiri Bara.     

"Ngga perlu. Gue bisa sendiri, kok."     

Arga mensejajarkan langkahnya dengan langkah Bara. "Pokoknya tetap gue temenin."     

"Terserah lu aja."     

Keduanya berjalan berdampingan dalam diam. Arga sesekali melirik takut-takut pada Bara. Ia diam-diam memperhatikan Bara yang sama sekali tidak tampak seperti apa yang diceritakan Pak Haryo. Bara tampak sangat sehat. Bahkan Bara tampak lebih serius dan mengeluarkan aura yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Auranya begitu mengintimidasi Arga yang berjalan di sebelahnya.     

Begitu tiba di depan kamarnya, Bara segera masuk ke dalamnya dan menutup pintunya di depan muka Arga. Arga buru-buru menahan dirinya agar tidak menabrak pintu tersebut.     

"Mati, gue." Arga bergidik dan kemudian pergi meninggalkan kamar Bara.     

----     

Arga berjalan lesu dan menghampiri Pak Agus yang sedang duduk di meja makan.     

"Kenapa kamu?" tanya Pak Agus.     

"Kayanya Bara bakalan marah sama saya juga, Pak."     

Pak Agus mengernyit keheranan. "Sok tahu, kamu."     

"Barusan saya lihat sendiri, Pak. Tampangnya Bara udah serius banget. Waktu dia ngomong sama Pak Haryo kalau dia bakal nemuin Bapak di ruang kerja, ngomongnya pelan, tapi bikin Pak Haryo ngga berkutik."     

Pak Agus berdecak pelan. "Wah, berarti dia benar-benar keturunannya Haryo. Saya jadi ngga sabar mau lihat mereka berdua berhadapan."     

"Ye, si Bapak. Masih sempet-sempetnya becanda."     

Pak Agus tertawa pelan. "Saya sudah sering lihat marahnya Haryo, saya mau tahu kalau dia berhadapan sama orang yang mirip sama dia, reaksinya bakal seperti apa."     

Arga mendelik kesal pada Pak Agus. Pak Agus tampak sangat santai menanggapi kegelisahannya.     

"Kamu mau saya kasih tahu rahasianya si Haryo, ngga?" Pak Agus berusaha memancing rasa penasaran Arga.     

Arga segera mendekatkan telinganya pada Pak Agus. "Rahasia apa, Pak?"     

Pak Agus kemudian berbisik di telinga Arga. "Asal kamu tahu, Haryo itu punya lisensi kepemilikan senjata api. Ngga ada yang tahu selain saya. Tapi, sekarang kamu tahu."     

Arga menjauhkan telinganya dan menatap Pak Agus tidak percaya. "Serius, Pak?"     

Pak Agus mengangguk yakin. "Dia punya revolver. Saya juga tahu di mana dia menyimpan senjatanya." Ia kemudian kembali meminta Arga untuk mendekatkan telinganya. Arga menurut dan Pak Agus kembali berbisik. "Bara juga diam-diam berlatih bela diri sama pelatih pribadinya."     

Sekali lagi Arga melongo. "Bara berlatih bela diri?"     

Pak Agus mengangguk cepat. "Krav Maga. Kamu tahu ngga?"     

Arga menggeleng. "Saya, mah, sering dengernya Pencak Silat, Taekwondo, Karate. Itu juga karena itu bela diri yang sering di ajarin di sekolah. Waktu SMP, saya sempat belajar Pencak silat, soalnya itu masuk dalam pelajaran tambahan di sekolah saya. Kalo Krav Maga, kayanya baru denger. Emang itu bela diri dari mana, Pak?"     

"Itu bela dirinya tentara Israel. Dia memang masih baru belajar. Tapi kalo pas kebetulan saya liat dia latihan, ngeliat sorot matanya yang serius bikin saya jadi ngeri sendiri."     

"Wah!" Arga bergumam tidak percaya. "Apa yang mereka ngga bisa ya, Pak? Kelihatannya mereka serba bisa."     

Pak Agus merangkul bahu Arga. "Selama kamu punya uang, kamu bisa ngelakuin apa aja." Pak Agus lalu tersenyum lebar pada Arga.     

"Tapi, buat apa Pak Haryo sampai punya lisensi kepemilikan senjata api dan Bara belajar bela diri? Toh mereka, kan, punya pengawal, Pak."     

"Ya, apa lagi? Selain untuk melindungi diri mereka sendiri. Kamu lupa sama penyerangan yang dialami Bara? Mungkin kalau ada waktu luang, saya akan minta dia untuk kursus menembak juga."     

"Jangan, lah, Pak. Lagian, kan, di negara kita ngga bisa sembarangan pegang senjata," ujar Arga tidak setuju.     

"Justru itu, kamu harus punya lisensi sendiri supaya kamu bisa punya izin kepemilikan senjata api."     

Bara yang memperhatikan Pak Agus dan Arga sedang asyik mengobrol di meja makan segera menghampiri mereka. Ia tidak sengaja mendengar Pak Agus yang berniat untuk memintanya mengikuti latihan menembak.     

"Boleh, tuh, Pak," seru Bara tenang.     

Arga segera menengok ke belakang dan melihat Bara sedang berjalan ke arah meja makan. Bara benar-benar sudah tampak bugar dan terlihat segar.     

"Mas Bara berminat untuk latihan menembak?" tanya Pak Agus antusias.     

"Bagus, kan, kalau saya juga bisa menembak?" Bara balik bertanya pada Pak Agus.     

"Hmm, bagus," sahut Arga dengan senyum yang sedikit dipaksakan.     

"Atau, Bapak daftarkan Arga aja untuk ikut latihan menembak," ujar Bara sambil melirik Arga.     

Arga terperangah setelah mendengar ucapan Bara. "Gue? Latihan nembak? Nembak cewek aja ngga becus."     

Bara tertawa pelan. "Ya gimana lu mau nembak cewek, kalau setiap hari lu di sini."     

Arga memanyunkan bibirnya mendengar candaan yang dilemparkan Bara. "Mentang-mentang punya gebetan Model." Arga mencibir pelan.     

"Kamu mau, Ga? Kalau mau, saya carikan tempat latihan menembak yang bagus," sahut Pak Agus.     

Arga buru-buru menggeleng. "Ngga, Pak. Saya latihan yang lain aja."     

Pak Agus menyunggingkan separuh senyumnya untuk meledek Arga. "Cemen kamu."     

"Ya udah, latihan bela diri bareng gue aja," tawar Bara. "Lumayan, jadi ada temen sparring."     

"Temen sparring apa samsak hidup?" Sahut Arga cepat.     

Bara kembali tertawa menanggapi pertanyaan Arga. "Lu terlalu curiga sama gue, Ga. Ngga mungkin, lah, gue jadiin lu samsak hidup."     

"Nanti, lah, gue pikirin lagi." Arga geleng-geleng kepala.     

Bara kemudian kembali berubah serius. "Bapak sama Arga ngga ikut ke ruang kerja Eyang?"     

"Biar Pak Haryo sendiri yang menjelaskan semuanya sama Mas Bara," jawab Pak Agus tenang.     

"Oh, ya sudah kalau begitu. Saya mau ke ruang kerja Eyang dulu. Habis ini, gue mau ngomong lu, Ga," ujar Bara sambil menatap serius ke arah Arga.     

Arga menelan ludahnya akibat tatapan yang ditujukan Bara padanya. "Iya."     

"Yuk." Bara berjalan meninggalkan Pak Agus dan Arga di meja makan.     

Selepas Bara meninggalkan meja makan. Arga meratap pada Pak Agus. "Kayanya saya mau dijadiin samsak hidup, Pak."     

Pak Agus menepuk-nepuk bahu Arga. "Oh, ya, saya lupa bilang. Saya juga dulu pernah merasakan bogem mentahnya si Haryo waktu dia marah."     

Arga semakin meratap. "Apa saya ke pemancingan aja ya, Pak?"     

Pak Agus menggeleng sembari tersenyum lebar. "Lebih baik, kamu duduk manis di sini sampai Bara selesai berbicara dengan Haryo." Pak Agus kemudian berjalan cepat meninggalkan Arga di ruang makan.     

****     

Pak Haryo sudah menunggu Bara di ruang kerjanya. Ia segera meminta Bara untuk duduk di hadapannya begitu Bara masuk ke dalam ruang kerjanya. Bara duduk dan menatap serius ke arah Pak Haryo. Ia menanti penjelasan yang akan disampaikan Pak Haryo.     

Melihat sikap Bara, Pak Haryo menghela napasnya dan mulai menceritakan semuanya. "Dari awal, saya tidak pernah koma."     

Kalimat pertama yang keluar dari mulut Pak Haryo membuat Bara terpaku.     

"Saya sengaja melakukan ini untuk memberi kamu kuasa di perusahaan dan melakukan apa yang kamu inginkan."     

Bara menatap Pak Haryo tidak percaya. Perkataan Pak Haryo benar-benar di luar dugaannya.     

"Sementara kamu melakukan pekerjaan saya di perusahaan, saya melakukan penyelidikan terhadap penyerangan yang menimpa saya dan kamu. Tidak ada yang tahu tentang hal ini terkecuali Agus dan Arga."     

"Wah," gumam Bara. "Saya sedikit merasa dibodohi."     

"Saya tidak bermaksud membodohi kamu, saya memang sudah lama menyiapkan surat kuasa itu untuk berjaga-jaga. Dan ternyata apa yang saya khawatirkan terjadi. Lalu tercetuslah ide untuk membuat saya seolah-olah mengalami koma."     

"Kenapa Eyang ngga ngasih tahu saya dari awal?"     

"Supaya semuanya terlihat alami. Kalau kamu tahu rencana saya dari awal, sikap kamu pasti akan sedikit berbeda. Kamu sendiri lihat, kan. Bagaimana Angga dan orang-orangnya bergerak setelah mereka tahu saya mengalami koma."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.