Bara

Suspicious Witness 10



Suspicious Witness 10

0Ben menemani Ibu Kasmira ke kamar. Untuk sementara waktu Ibu Kasmira akan tinggal bersama Ben dan yang lainnya.     

"Ben," ujar Ibu Kasmira ketika Ben hendak keluar dari kamarnya.     

Ben segera menghentikan langkahnya dan menoleh pada Ibu Kasmira. "Kenapa?"     

Ibu Kasmira tersenyum pada Ben. "Saya senang kamu dikelilingi teman-teman yang peduli sama kamu."     

Ben berdecak menanggali ucapan Ibu Kasmira. "Saya juga senang bisa ketemu Ibu lagi," sahut Ben.     

"Jadi, kita akan bekerjasama lagi?" tanya Ibu Kasmira pada Ben.     

"Ya, begitulah," sahut Ben.     

Ibu Kasmira menyadari ekspresi Ben yang terlihat letih. "Kenapa ekspresi kamu seperti itu?"     

Ben menghela napasnya. "Capek. Udah lama saya ngga kaya tadi. Badan saya jadi sakit semua."     

"Ooh," gumam Ibu Kasmira. "Saya pikir gara-gara cedera kamu waktu itu."     

Ben mendengus. "Cedera saya waktu itu sudah sembuh total."     

Ibu Kasmira kemudian melirik pada Ben sambil tersenyum jahil. "Apa saya harus merencanakan latihan fisik agar kamu lebih banyak bergerak?"     

Ben langsung menggeleng cepat. "Udah, udah, Ibu tidur aja. Jangan ngerencanain apa-apa. Pokoknya besok saya mau bangun siang. Jangan coba-coba bangunin saya pagi-pagi."     

Ibu Kasmira tertawa mendengar ucapan Ben. "Iya, iya. Saya ngga akan ganggu kamu. Ya sudah selamat istirahat. Sekali lagi, terima kasih ya. Kamu masih bersedia menolong saya."     

"Hmm," gumam Ben. Ia menghela napasnya dan segera keluar dari kamar Ibu Kasmira.     

----     

Asisten Hanggono terperangah melihat anak buahnya yang bergelimpangan di lantai rumahnya. Ia pun langsung berlari ke kamar yang berada di lantai dua rumah tersebut.     

"Wanita sialan," teriaknya begitu melihat kamar yang tadinya dihuni Ibu Kasmira sudah kosong melompong.     

Ia kemudian mendengar salah satu anak buahnya yang bergerak di lantai. Ia segera menghampiri anak buahnya tersebut. "Apa wanita itu melarikan diri sendirian?"     

Sambil meringis menahan sakit, anak buahnya menggeleng. "Ada yang menolongnya."     

"Siapa yang menolongnya?" tanya Asisten Hanggono.     

Anak buahnya menggeleng. "Bapak lihat aja di CCTV. Orang itu pake helm."     

Asisten pribadi Hanggono mendengus kesal. Ia kembali memperhatikan anak buahnya yang satu per satu mulai bangun dan meringis kesakitan. Ia kemudian segera berlari menuju ruang kerjanya untuk melihat rekaman CCTV di dalam rumah.     

----     

Hanggono langsung berdiri di kursinya begitu Asisten pribadinya menelpon untuk memberitahukan bahwa Ibu Kasmira berhasil kabur dari rumahnya.     

"Wanita itu berhasil kabur?" tanya Hanggono tidak percaya.     

"Iya, Pak. Sepertinya ada yang membantunya keluar dari sini," jawab Asistennya. Ia sedang melihat rekaman video di dalam rumah yang seolah tidak terjadi apa-apa. Ia terus mengulang-ulang rekaman video tersebut untuk menemukan sesuatu yang mungkin luput dari perhatiannya.     

"Siapa yang membantunya?" Hanggono kembali bertanya.     

"Saya juga kurang tahu, Pak. Yang jelas, orang membantunya pasti punya kemampuan. Karena dia berhasil melumpuhkan semua penjaga di rumah saya. Dan anehnya, aksinya itu tidak terekam sama sekali oleh kamera pengawas," terang Asistennya.     

Hanggono berdecak kesal. "Cepat temukan kembali Kasmira. Saya tidak mau tahu." Ia pun langsung mematikan sambungan telpon dengan asistennya. Ia kemudian berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya. Napasnya naik turun menahan amarah. Ia menggebrak meja kerjanya berkali-kali sambil berteriak kesal.     

"Akan saya habisi kamu, begitu saya berhasil menemukan kamu," gumam Hanggono penuh amarah.     

-----     

Ben kembali harus berhadapan dengan Bara, Arga dan Reno. Kali ini mereka duduk berempat di ruang keluarga dan saling berpandangan.     

"Untungnya di apartemen ini ada dua kamar," ujar Bara memulai pembicaraan. "Jadi, Ibu Kasmira bisa tinggal sementara disini."     

Ben mengangguk. "Thanks, Bar. Gue yakin dia ngga bakal lama disini. Setelah situasi di luar aman, dia pasti akan langsung pergi lagi."     

"It's okay, dia bisa tinggal selama yang dia mau," sahut Bara. "Dia juga mau, kan, sementara bantuin kita disini?"     

Ben mengangguk. "Dunia ini sempit banget ternyata. Gue ngga nyangka ternyata dia juga dikejar sama Hanggono."     

"Lebih ngga nyangka lagi karena dia juga kenal Axel," timpal Reno.     

Arga tiba-tiba menyela. "Tadi, dia bilang Axel dalam bahaya, kan? Gimana caranya kita ngelindungin Axel tanpa bikin Hanggono curiga."     

"Di sekitar Axel sekarang ada Raya dan Bang Jali. Mungkin kita bisa minta tolong Bang Jali untuk jagain Axel selama di kantor," ujar Reno.     

"Masalahnya, Axel masih ada di lingkungan keluarga Hanggono. Kita bakal sulit deketin keluarganya," timpal Ben.     

"Apa gue harus pura-pura kerja di rumah orang tuanya Axel?" sela Arga.     

"Siapa yang mau masukin lu kesana?" tanya Ben.     

"Mau ngga mau kita harus ngasih tahu tentang ini ke Axel supaya dia juga bisa waspada," ujar Bara. "Biar gue nanti yang ngomong sama dia."     

"Masalah Ibu Dijah gimana?" tanya Reno.     

Bara, Arga dan Ben langsung menoleh pada Reno. Ketiganya kemudian kompak menghela napas panjang. Reno pun ikut menghela napas panjang.     

"Gini aja," sela Bara. Arga, Ben dan Reno langsung memandang serius pada Bara.     

"Kalian bertiga fokus ke Axel. Mumpung ada Ibu Kasmira, gue rasa dia bisa kerjasama sama Pak Dirga buat ngawasin Ibu Dijah. Gimana menurut kalian?" ujar Bara pada ketiganya.     

Arga, Ben dan Reno saling lirik. Ben kemudian kembali menatap Bara. "Oke, gue setuju."     

"Gue juga," sahut Arga.     

"Gue ikut," timpal Reno.     

"Oke, kalo gitu kita sepakat. Nanti gue bakal bicarain ini juga sama Axel," ucap Bara.     

Bara kemudian bangkit berdiri. "Kalo gitu, gue balik dulu. Tadinya gue kesini cuma mau ngecek Ibu Dijah. Ngga taunya malah dapet jackpot begitni." Ia menepuk-nepuk bahu Ben. "Yuk." Bara pun segera meninggalkan apartemen itu.     

----     

Selepas Bara pergi meninggalkan apartemen, Ben masuk ke kamar dan membasuh tubuhnya di kamar mandi. Ia sedikit meringis kesakitan ketika menyentuh tubuh bagian belakangnya.     

"Harusnya gue ngga perlu berantem kaya tadi," gumam Ben sambil menahan sakit. Cedera punggung yang pernah dialaminya menjadi salah satu alasan ia keluar dari pelatihannya. Karena cedera itu cukup parah, Ben tidak sanggup melanjutkan pelatihan lanjutannya dan akhirnya keluar.     

Ben terduduk di toilet sambil membungkukkan badannya. Sesekali ia meringin kesakitan ketika mengulangi gerakan yang diajarkan oleh terapisnya untuk mengurangi rasa sakit pada punggungnya.     

Setelah rasa sakitnya sedikit mereda, Ben segera keluar dari kamar mandi. Ia terkejut melihat bantal, guling dan selimutnya sudah ada di lantai. Sementara Arga sudah merebahkan tubuh di atas kasurnya. "Apa-apaan," sergah Ben.     

"Ssst," sahut Arga cepat. "Karena kamar gue dipake Ibu Kasmira, sementara kasur lu, gue pake. Terserah lu mau tidur dimana."     

Ben mendengus tidak percaya dengan apa yang baru saja Arga ucapkan. "Tega lu."     

"Pilihan lu, tidur di lantai, di sofa depan, atau--" Arga melirik pada Reno yang sudah tertidur di kasurnya.     

"Mending gue di sofa, daripada tidur sama dia," gerutu Ben. Ia pun akhirnya berjalan keluar kamar sambil membawa bantal, guling dan selimutnya.     

Ben menghela napas panjang sembari menjatuhkan perlengkapan tidurnya di sofa. Ia kemudian menata bantalnya dan segera merebahkan dirinya di sofa. Ben terdiam cukup lama sampai akhirnya ia meringkuk sambil memeluk gulingnya dan mulai memejamkan matanya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.