Bara

Break the Shell 9



Break the Shell 9

0Bang Jali mengetuk pintu ruang kerja Pak Angga sebelum ia masuk ke dalamnya sambil membawakan teh hangat. Sesuai dugaan Bang Jali, Pak Angga tidak akan terlalu menghiraukan kehadirannya. Ia hanya melirik sedikit ketika Bang Jali meletakkan teh hangat tersebut di atas meja kerjanya dan tetap melanjutkan menelpon.     

Tanpa sengaja Bang Jali melirik ke balik lukisan yang ada di belakang meja kerja Pak Angga. Bagian belakang lukisan tersebut sedikit membuka serupa dengan daun pintu lemari yang sedang membuka.     

Melihat Pak Angga yang bahkan tidak menoleh ke arahnya, Bang Jali memberanikan diri untuk melongok sedikit ke balik lukisan tersebut. Ia lalu memfotonya menggunakan kacamata yang ia gunakan saat ini.     

"Lihat apa kamu?" seru Pak Angga tiba-tiba.     

Bang Jali tergagap, "Eh, anu, Pak. Cuma lihat lukisan Bapak. Lukisannya bagus, Pak."     

Pak Angga melirik tidak percaya, ia berjalan mendekati lukisannya dan menekannya sedikit agar celah dibalih lukisan kembali tersembunyi.     

"Sudah, sana." Pak Angga menyuruh Bang Jali untuk segera keluar dari ruangannya. "Lain kali jangan sembarangan lihat punya orang."     

Bang Jali mengangguk. "Maaf, Pak. Saya cuma terkesima aja liat lukisan Bapak."     

"Ya, sudah, sudah," sergah Pak Angga sambil mengibas-ngibaskan tangannya.     

Bang Jali mengerti maksud Pak Angga dan segera meninggalkan ruang kerja Pak Angga.     

----     

Ben menerima gambar yang baru saja dikirimkan Bang Jali dan berdecak pelan.     

"Ga, Ren, sini bentar," pinta Ben.     

Arga dan Reno segera menghampiri Ben.     

"Liat, nih. Barusan gue dapat kiriman gambar." Ben menunjuk Gambar sebuah celah yang ada di layar monitornya. "Pasti dibalik itu ada tempat penyimpanan."     

Arga dan Reno kompak menganggukkan kepalanya.     

"Malam ini, kita cek sendiri ke dalam situ," ujar Ben antusias. "Kamera keamanan bakal gue atur supaya ngga ada yang ngerekam pas kita masuk."     

"Oke, semoga apa yang kita cari ada disitu," ujar Reno.     

"Gue pasti ikut, lu butuh orang yang kenal seluk beluk kantor itu," timpal Arga.     

"Sipp, lah. Kalo begitu."     

-----     

"Sebenernya, kemaren itu Pak Angga mau ngomongin apa, sih, sama gue?" tanya Raya pada Axel.     

Mereka berdua sedang duduk menunggu pesanan makanan yang mereka pesan datang. Raya mencoba bersikap sesantai mungkin di depan Axel. Meskipun sebenarnya ia sudah kesal setengah mati dengan Axel.     

Axel mengangkat bahunya. "Gue juga ngga tahu."     

"Ngomong-ngomong, kok, lu bisa sesantai itu sama Pak Angga?"     

Axel tertawa pelan mendengar pertanyaan Raya. "Mungkin karena pada dasarnya gue ini kurang ajar."     

"Iya, lu emang kurang ajar. Sampe pengen gue tonjok rasanya," batin Raya.     

"By the way, gue boleh, kan, kasih saran," ujar Axel tiba-tiba.     

Raya mengernyitkan keningnya. "Lu mau kasih saran apa?"     

"Jangan terlibat terlalu dalam sama urusan keluarga mereka. Pak Angga sendiri udah ngeluarin ancamannya, kan."     

"Gimana sama lu? Bukannya lu sendiri juga terlibat?" Raya balik bertanya Axel.     

"Well, itu karena gue butuh uangnya," sahut Axel.     

"Ooh," gumam Raya. "Apa kemaren lu juga dapet uang karena udah bawa gue buat nemuin Pak Angga?"     

Axel mengangguk sembari mengaduk-aduk gelas berisi es teh manis miliknya yang baru saja diantarkan oleh Pramusaji.     

Raya menatap Axel tidak percaya. "Lu sampe segitunya nyari duit?"     

Axel kembali mengangkat wajahnya dan menatap Raya. "Lu sendiri gimana? Apa alesan lu sampai bela-belain ngumpulin informasi buat Bara?"     

Raya tersenyum mendengar pertanyaan Axel. "Kena juga lu," batin Raya. "Bukan apa-apa," sahut Raya. Ia kemudian memicingkan matanya pada Axel. "Lu tahu darimana kalo gue ngumpulin informasi buat Bara?"     

"Darimana lagi, kalo bukan dari Pak Angga."     

"Lu tahu informasi apa yang gue dapet?"     

Axel mengangkat bahunya. Tiba-tiba seorang Pramusaji datang dengan membawakan makanan yang sudah dipesan oleh Axel dan Raya. Axel segera menyambut makanannya, sementara itu Raya masih mencoba memahami sikap Axel yang terlihat sangat tenang. Ia bahkan tidak mencoba untuk menyembunyikan fakta bahwa dirinya memang membantu Pak Angga.     

"Jujur, ya, kalau gue dari awal membantu Bara, gue ngga dapat bayaran apa-apa," ujar Raya tiba-tiba.     

Dahi Axel berkerut mendengar pernyataan Raya. Ia bedecak pelan. "Rugi banget gue kalo jadi lu."     

"Menurut gue, ngga semuanya bisa dihitung sama uang."     

"Kalo gitu, cara pandang kita emang beda. Menurut gue, semua harus dihitung sama uang. Gue bukan pertugas sosial yang bekerja secara sukarela."     

Raya tertawa mendengar pengakuan Axel. "Kalo gitu, gue ini petugas sosial yang kerja secara sukarela. Tapi, gue cukup puas, kok."     

"Hello, Bunda Teresa," sindir Axel.     

"Tapi, kalo dipikir-pikir, kita bisa kerjasama. Itu kalo lu mau bagi-bagi penghasilan tambahan sama gue."     

"Tell me," sahut Axel.     

"Gue sukarela bantuin Bara nyari informasi, tapi gue bisa jual informasi yang gue dapat ke Pak Angga lewat lu. Win-win, kan? Toh, kita berdua ngga ada urusan apa-apa sama masalah keluarga mereka."     

"Waah, Bunda Teresa mau berubah jadi Lucifer kayanya," sindir Axel.     

"Ya, itu kalo lu mau," timpal Raya.     

"Selama itu menghasilkan uang, why not?" Axel tersenyum lebar pada Raya.     

"Jadi, lu mau?"     

"Ya, ngga ada salahnya bagi-bagi keuntungan sedikit."     

"Tenang aja, gue ngga bakal minta banyak sama lu, kok." Raya kemudian mengulurkan tangannya pada Axel.     

Axel tanpa ragu menyambut jabat tangan Raya. Yang ada di benaknya hanyalah bagaimana ia bisa dapat uang lebih banyak dengan menjual informasi yang diberikan Raya padanya. Ia juga tidak perlu repot diam-diam menyelidiki Raya.     

Raya tersenyum lebar sambil menjabat tangan Axel.     

----     

Sementara itu, Bara yang ikut mendengarkan percakapan antara Axel dan Raya, tersenyum puas. Raya berhasil membujuk Axel untuk bekerjasama dengannya. Selanjutnya ia tinggal mempersiapkan laporan palsu yang nantinya akan Raya berikan pada Axel.     

"Did I miss something?" tanya Damar yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Bara dan melihatnya sedang tersenyum-senyum sendiri.     

"Cuma berhasil masang jebakan tikus," jawab Bara.     

"Tikusnya pasti besar."     

"Ngga juga, cuma tikus biasa. Tapi justru yang biasa itu yang sangat menganggu."     

"Ooh, siapa emangnya?" tanya Damar.     

"Lu masih inget sama orang yang bikin keributan pas gue ikut tes buat jadi pegawai magang?" Bara balik pada Damar.     

Damar berpikir sejenak. "Oh, anak magang yang baru itu?"     

Bara mengangguk. "Yep, ternyata Eyang Angga yang ada di belakang dia."     

"Lu tahu dari mana?"     

"Raya. Orang itu kemarin bawa Raya nemuin Eyang Angga di luar kantor. Dia juga sengaja ngambil flashdisk Raya dan nyalin semua isinya," terang Bara.     

Damar terkejut begitu mendengar orang yang dimaksud Bara memiliki salinan informasi milik Raya. "Jadi, sekarang Eyang tahu informasi yang kita punya?"     

"Kurang lebih begitu. Makanya gue lagi masang jebakan biar informasi yang ada di dia berbalik buat ngerusak kerjasama dia sama Eyang Angga."     

"Ooh, I see," gumam Damar. "Perlu bantuan dari gue juga ngga?"     

"Oh, iya. Apa lu tahu di kantor Eyang Angga ada brankas rahasianya?"     

Damar mengerutkan dahinya. "Kayanya gue baru denger."     

"Nah, Bang Jali ngga sengaja liat brankas itu. Ada di balik lukisan. Mungkin lu bisa pastiin sekali lagi," ujar Bara pada Damar. "Oh, ya, ada apa lu kesini?"     

"Oh, hampir lupa." Damar meletakkan kertas yang sedari tadi ia bawa. "Gue dapat informasi tentang perusahaan yang disebut dilaporannya Raya."     

Bara menerima kertas pemberian Damar dan membacanya. "Oke bakal gue periksa."     

Damar mengangguk lalu kembali keluar dari ruang kerja Bara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.