Bara

Begin Again



Begin Again

0Sebulan berlalu setelah rapat Direksi yang dihadiri Bara. Selama sebulan itu pula banyak perubahan yang terjadi dalam keseharian Bara. Hari-harinya menjalankan tugas sebagai pengganti Pak Haryo sangat padat. Meski begitu, Pak Agus dengan setia membimbing Bara melalui semuanya.     

Bara pun benar-benar menjalankan apa yang dikatakannya pada rapat bulan lalu. Ia mengundang pihak ketiga untuk melakukan audit keuangan secara menyeluruh. Saking sibuknya menjalani rutinitas barunya, Bara sampai melupakan terapi yang harus dijalaninya.     

"Gue pikir lu udah pulang, ternyata masih disini." Damar muncul dari balik pintu ruang kerja Pak Haryo yang kini menjadi ruang kerja Bara. Damar melangkah masuk ke dalam dan duduk di salah satu sofa yang ada di sana.     

"Gue perhatiin, sebulan ini lu lembur terus," ujar Damar yang kini menemani Bara di dalam ruangannya.     

Bara tertawa pelan menanggapinya. "Gue kan masih belum sepintar lu, wajar lah kalau gue jadi lembur terus," timpal Bara.     

"Terima kasih atas pujiannya Bapak Bara Aditya Pradana, saya sangat tersanjung mendengarnya."     

Damar meletakkan tangan kanan di depan dadanya sambil sedikit membungkuk.     

"Apaan sih lu, sinetron kali tersanjung."     

Bara melemparkan tutup dari pulpen yang sedang digunakannya ke arah Damar. Dengan sigap Damar menghindar. Damar kemudian memungut tutup pulpen milik Bara yang terjatuh di dekatnya.     

"Lu tahu ngga harga pulpen yang tutupnya barusan lu lempar ke gue?" Damar bertanya pada Bara sambil memandangi tutup pulpen milik Bara.     

"Ngga," jawab Bara singkat.     

Bara tidak mengalihkan perhatian dari dokumen yang sedang ia periksa.     

"Ini bisa seharga pabrik pulpen," ujar Damar ringan sambil terus memandangi tutup pulpen yang berhiaskan berlian. Berlian tersebut disusun menyerupai ulir berbentuk gunung.     

Bara melongo mendengar perkataan Damar. Perhatiannya beralih pada pulpen yang sedang berada di tangannya.     

"Setahu gue ini pulpen limited edition dan cuma di produksi tiga puluh sembilan buah. Lu ngga tahu kalau pulpen ini terbuat dari berlian dan emas putih?" Damar melirik pada Bara.     

Bara menggeleng. Dirinya tidak menyangka jika pulpen yang sedang dipegangnya saat ini berharga sangat mahal. Pak Agus yang memberikannya pada Bara. Pak Agus tidak mengatakan apa-apa selain bahwa pulpen yang saat ini ia gunakan adalah pulpen yang sering digunakan oleh Pak Haryo.     

"Buruan balikin tutupnya," Bara segera meminta kembali tutup pulpennya yang sedang di pegang Damar.     

"Bukannya udah lu buang barusan?" canda Damar.     

"Cepetan balikin," sergah Bara.     

"Ambil sini," Damar menantang Bara.     

"Wah, nantangin ini orang."     

Bara bangkit berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri Damar. Begitu Bara tiba di dekatnya, Damar dengan sigap berdiri untuk menghindarinya. Damar menjahili Bara dengan mengangkat tinggi-tinggi lengannya yang sedang memegangi tutup pulpen milik Bara. Namun, Bara dengan mudah meraih lengan Damar dan merebut tutup pulpen miliknya.     

"Lu takut, ya, pas tahu harga pulpen itu," Damar kembali menggoda Bara.     

"Besok gue bakalan pake pulpen biasa aja, gila aja pulpen seharga pabrik," timpal Bara.     

"Harga segitu wajar untuk barang koleksi," sahut Damar.     

"Bagi gue ngga wajar," ujar Bara. "Besok gue kembaliin lagi ke Pak Agus. Biar dia simpan baik-baik." Bara memasang kembali tutup pulpen tersebut.     

"Lu tahu ngga apa alasan Pak Agus ngasih pulpen itu buat lu pakai?" tanya Damar.     

"Karena ini punya Eyang?" jawab Bara ragu. Bara juga tidak yakin dengan alasan mengapa Pak Agus berani memberikan pulpen koleksi Pak Haryo padanya.     

Damar menggeleng. "Bukan itu alasannya. Alasan sebenarnya itu supaya orang-orang ngga gampang mengintimidasi lu," terang Damar.     

"Maksudnya?"     

"Para Eksekutif seperti Eyang Haryo pasti tahu harga pulpen ini. Kalau mereka lihat lu pakai pulpen ini, mereka pasti akan sedikit segan sama lu. Karena secara ngga langsung, pulpen ini menandakan siapa bos yang sebenarnya."     

Bara hanya bergumam 'oh' menanggapi penjelasan Damar.     

"Jadi, pulpen ini jangan dikembalikan ke Pak Agus. Simpan baik-baik pulpen ini di kantong lu sampai semua ini selesai." Damar mengambil pulpen yang sedari tadi Bara pegang dan memasukannya ke dalam saku celana Bara.     

"Lu masih lama disini?" Damar kembali bertanya pada Bara. Damar menilik jam tangannya. Sudah lewat pukul sebelas.     

"Sebentar lagi," jawab Bara.     

"Yaudah, selamat lembur. Gue balik duluan." Damar menepuk bahu Bara dan kemudian pergi meninggalkan ruang kerjanya.     

Bara hanya geleng-geleng kepala melihat Damar yang melangkah keluar dari ruangannya.     

"Bukannya bantuin, malah pulang duluan," ujar Bara pelan.     

Bara kemudian kembali ke meja kerjanya dan kembali menekuri dokumen yang sedari tadi sedang ia periksa.     

----     

Lewat dini hari, Bara baru menyelesaikan pekerjaannya dan baru akan kembali ke apartemennya.     

"Maaf ya, Pak. Gara-gara saya lembur terus, waktu istirahat Bapak jadi berkurang," ujar Bara pada Pak Pam ketika sudah masuk ke dalam mobilnya.     

"Ngga masalah itu, Mas. Saya malahan khawatir sama Mas Bara yang tiba-tiba sering lembur begini," sahut Pak Pam sambil memandang Bara dari kaca spion. Wajah Bara tampak lelah.     

Bara menanggapi ucapan Pak Pam dengan tersenyum simpul. "Makasih sudah khawatir sama saya, Pak."     

Mobil yang mereka tumpangi keluar dari area gedung perkantoran tersebut. Jalan Sudirman masih bergeliat meski hari sudah lewat tengah malam. Mungkin karena esok adalah akhir pekan. Biasanya menjelang akhir pekan, kebanyakan orang akan mampir terlebih dahulu untuk menghabiskan waktu bersama rekan kerjanya. Mereka bisa berkumpul menghabiskan waktu tanpa peduli besok harus bangun pagi untuk kembali bekerja. Karena esok adalah akhir pekan dan mereka bisa bangun sesiang yang mereka mau.     

"Bukannya itu Mbak Raya, Mas?" tanya Pak Pam tiba-tiba ketika mobil mereka hampir memasuki area lobi apartemen Bara.     

Bara mengalihkan perhatiannya keluar. Raya sedang berdiri di depan pusat perbelanjaan yang masih satu area dengan apartemennya. Melihat dari waktunya, Bara menebak Raya baru selesai nonton bersama rekan-rekannya. Mereka pasti menonton show terakhir dan baru selesai pada dini hari.     

"Mau kita hampiri, Mas?" Pak Pam kembali bertanya.     

Bara berpikir sejenak.     

"Ngga perlu, Pak." Jawab Bara singkat.     

Meskipun di dalam hatinya Bara sangat ingin sekali menghampiri Raya. Namun ia memilih untuk mengabaikannya.     

"Saya suka ngga tega kalau lihat perempuan malam-malam sendirian di jalan. Takut kenapa-kenapa." Pak Pam berusaha memancing Bara. Dia ingin mengetahui apakah Bara memang sudah benar-benar tidak peduli pada Raya. Pak Pam memperhatikan perubahan ekspresi Bara. Bara nampak terusik dengan apa yang dikatakannya barusan.     

Mobil yang mereka tumpangi tiba di lobi apartemen Bara. Bara tidak segera turun meskipun Pak Pam sudah membukakan pintu untuknya. Ucapan Pak Pam benar-benar sudah mengusiknya.     

"Masuk lagi, Pak." Bara meminta Pak Pam untuk kembali masuk ke dalam mobilnya.     

Pak Pam dengan sigap kembali menutup pintu mobil dan segera memutar untuk kembali duduk di balik kemudi. Pak Pam segera mengarahkan kendaraan yang mereka naiki untuk keluar dari lobi apartemen dan menuju lobi tempat perbelanjaan.     

Dari kejauhan, Bara memperhatikan Raya yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.     

"Ngapain sih dia nonton sampai malam begini," batin Bara.     

Bara merasa kesal sekaligus khawatir dengan Raya. Mobil yang dinaiki Bara hampir sampai di depan Raya ketika ada sebuah taksi yang tiba-tiba berhenti tepat di depan Raya. Raya pun segera menaiki taksi tersebut.     

"Ikutin taksi itu, Pak." Bara meminta Pak Pam untuk segera mengikuti taksi yang ditumpangi Raya.     

"Siap." Pak Pam bersemangat menjalankan apa yang diperintahkan Bara.     

"Jangan sampai ketahuan ya, Pak." Bara mengingatkan Pak Pam.     

"Tenang saja, Mas."     

Pak Pam menjaga jarak mobilnya dengan taksi yang ditumpangi Raya dengan sangat hati-hati. Sepanjang jalan Pak Pam tidak hentinya tersenyum. Meskipun tadi Bara sempat bersikap acuh, tapi pada kenyataannya Bara masih menyimpan perhatian pada Raya. Mereka mengikuti Raya sampai Raya turun dari taksi yang di tumpanginya. Setelah memastikan Raya sampai di depan gang rumahnya dengan selamat, Pak Pam dan Bara langsung kembali menuju ke apartemen Bara.     

----     

Raya memandang heran pada mobil yang baru saja melewatinya tidak lama setelah ia turun dari taksi. Mobil itu nampak tidak asing. Raya bahkan mengetahui nomor plat mobil tersebut. Mobil itu adalah mobil yang sama dengan mobil yang pernah menjemput dan membawanya ke kediaman Pak Haryo.     

"Bara?" ujar Raya tidak percaya.     

"Ah, mana mungkin itu dia. Pasti gue salah liat. Ngga mungkin lah dia lewat sini." Raya bermonolog seorang diri.     

Raya kemudian melangkahkan kakinya ke dalam gang menuju rumahnya. Sambil berjalan, Raya masih memikirkan mobil yang baru saja ia lihat. Jauh di lubuk hatinya, dia berharap bahwa apa yang ia lihat barusan adalah mobil yang biasa digunakan Bara dan Bara ada di dalamnya. Tiba-tiba ia merindukan waktunya bersama Bara. Meskipun mereka tidak banyak menghabiskan waktu berdua, namun bagi Raya setiap pertemuan-pertemuan singkatnya dengan Bara selalu meninggalkan kesan yang berarti baginya.     

----     

Setelah tiba di apartemennya, Bara segera membersihkan dirinya. Setelah itu, ia beranjak ke ranjangnya. Sambil bersandar pada kepala ranjangnya, Bara masih sempat memeriksa beberapa dokumen melalui komputer tangan miliknya. Setelah selesai memeriksa beberapa dokumen, Bara mematikan komputer tangannya dan memilih untuk tidur.     

----     

Menjelang subuh, Pak Agus keluar dari kamarnya dan hendak mengambil segelas air ketika dia mendengar sesuatu yang aneh dari arah kamar Bara. Pak Agus berjalan ke arah kamar Bara dan mendekatkan telinganya pada daun pintu.     

"Ada yang tidak beres," gumam Pak Agus.     

Pak Agus segera membuka pintu kamar Bara. Tidak ada siapa pun selain Bara di kamar tersebut. Jelas-jelas tadi Pak Agus seperti mendengar suara orang yang berteriak. Pak Agus akhirnya memutuskan untuk mendekat ke tempat tidur Bara. Pak Agus terkejut begitu melihat Bara yang seperti orang sedang kesulitan bernapas meski matanya sedang terpejam. Peluh membasahi wajah Bara.     

"Mas Bara!" Pak Agus kepanikan membangunkan Bara.     

Berulang kali Pak Agus mengguncang-guncang tubuh Bara. Bara tetap memejamkan matanya.     

"Bara!" Kembali Pak Agus meneriakkan nama Bara.     

Kali ini, Bara membuka matanya. Napasnya terengah-engah. Ekspresi wajah Bara seperti orang ketakutan. Bara menoleh dan melihat Pak Agus yang sedang berdiri di sebelahnya dengan ekspresi ketakutan.     

Pak Agus kemudian membantu Bara untuk duduk dan bersandar pada kepala tempat tidurnya. Pak Agus segera memberikan segelas air putih yang tadi ia ambil kepada Bara. Tangan Bara bergetar menerima air putih pemberian Pak Agus. Bara masih terbayang-bayang dengan mimpi yang baru saja ia alaminya. Mimpi buruk itu kembali lagi. Bara segera meminum air putih pemberian Pak Agus untuk menenangkan dirinya.     

"Mas Bara baik-baik saja?" tanya Pak Agus begitu Bara selesai meminum air putih pemberiannya.     

Bara hanya menjawabnya dengan mengangguk pelan. Sinar mata Bara masih terlihat seperti orang ketakutan.     

"Apa perlu saya panggil Dokter?" Pak Agus kembali bertanya.     

Bara menggeleng. "Saya cuma mimpi aja, Pak."     

Pak Agus menatap Bara dengan tatapan khawatir. Wajah Bara pucat dan keringat membasahi tubuhnya, meski suhu kamarnya cukup dingin.     

"Yakin, tidak perlu panggil Dokter?" Tanya Pak Agus untuk memastikan sekali lagi.     

"Ngga, Pak. Saya ngga kenapa-kenapa," ujar Bara sambil tersenyum pada Pak Agus.     

"Ya sudah kalau memang Mas Bara baik-baik saja."     

"Ngga apa-apa kok, Pak."     

"Ya sudah, saya kembali lagi ke kamar kalau begitu. Kalau ada apa-apa, Mas Bara segera panggil saya."     

"Iya, Pak. Terima kasih."     

Pak Agus berjalan keluar dari kamar Bara. Sebelum menutup kembali pintu kamar Bara, Pak Agus kembali menoleh untuk memastikan keadaan Bara. Bara masih duduk terdiam sambil bersandar pada kepala tempat tidurnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.