Bara

Bang Jali 1



Bang Jali 1

0Bang Jali sedang melayani pembeli di warungnya ketika segerombolan petugas Satuan Polisi Pamong Praja datang menggeruduk warung kopi miliknya. Tidak biasanya hal ini terjadi.     

"Apa-apaan, nih!" teriak Bang Jali kepada petugas Satpol PP.     

Petugas Satpol PP itu tidak menggubris pertanyaan Bang Jali dan langsung menunjukkan surat perintah penggusuran.     

Bang Jali membaca surat yang ditunjukkan oleh petugas Satpol PP tersebut. "Ngga ada pemberitahuan apa-apa, kok tiba-tiba langsung mau digusur?" Bang Jali mencoba membela diri.     

"Minggu lalu udah diedarin suratnya, Bang." Petugas Satpol PP itu berseru pada Bang Jali.     

"Mana? Gue ngga dapet suratnya."     

"Coba Abang tanya ke RT-nya."     

"Pokoknya gue ngga mau digusur!" bentak Bang Jali.     

"Yang penting kita punya surat penugasannya. Buruan bongkar!" seru Kepala Petugas Satpol PP yang meminta anak buahnya untuk segera mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam warung milik Bang Jali.     

Para pengunjung warung Bang Jali sontak berhamburan keluar ketika para petugas membongkar paksa bangunan semi permanen warung Bang Jali.     

Bang Jali terus mencoba menahan petugas yang berusaha mengeluarkan barang-barangnya seorang diri. Namun, tetap saja Bang Jali tidak bisa menahan banyaknya petugas yang sedang membongkar paksa warungnya.     

Ia akhirnya terduduk pasrah di pinggir jalan sambil memeluk erat kotak kecil berwarna biru tua yang menjadi tempat penyimpanan uang hasil jualannya. Matanya berkaca-kaca menyaksikan warung kopi yang selama ini menjadi sumber mata pencahariannya pelan-pelan dihancurkan alat berat yang dibawa petugas Satpol PP.     

-----     

"Bapak sudah buatkan janji terapi untuk saya?" tanya Bara kepada Pak Agus ketika keduanya sedang makan siang di salah satu restoran yang ada di dalam gedung perkantoran mereka.     

Pak Agus menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Bara. Mulutnya sedang sibuk mengunyah steik daging sapi tanpa lemak kesukaannya.     

"Kapan jadwalnya, Pak?" Bara kembali bertanya pada Pak Agus.     

Pak Agus menatap Bara yang sedang duduk di hadapannya. Ia kemudian menghentikan kegiatannya memotong steik yang ada di piringnya. "Makan dulu, ngomongin jadwalnya nanti setelah makan," seru Pak Agus.     

"Iya, Pak." Bara tersenyum sungkan pada Pak Agus.     

Pak Agus kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada piring berisi steik di hadapannya. Ia kembali sibuk memotong-motong daging steiknya. Bara pun kembali menikmati daging steiknya sembari membaca artikel berita melalui iPad-nya.     

"Anak muda jaman sekarang, makan saja ndak bisa lepas dari layar iPad," batin Pak Agus yang melihat Bara makan sambil menatap layar iPad-nya.     

Bara tiba-tiba memicingkan matanya ketika membaca salah berita tentang penggusuran bangunan semi permanen di timur Jakarta. Ia memperbesar foto pembongkaran bangunan semi permanen tersebut. Pandangannya tertuju bukan pada bangunan-bangunan yang sudah hancur, melainkan pada siluet seorang pria yang sedang terduduk di pinggir jalan.     

"Bang Jali," bisik Bara pelan.     

"Bang Jali?" tanya Pak Agus yang mendengar bisikan pelan Bara.     

Bara mengangkat wajahnya. "Bapak pernah ketemu dia waktu di pemakaman Pak Ardan," terang Bara.     

Pak Agus mencoba mengingat-ngingat orang yang Bara panggil Bang Jali. "Pria yang selama pemakaman Pak Ardan berdiri di sebelah kamu?"     

"Iya, Pak." Bara kembali memicingkan matanya untuk melihat foto yang ada di layar iPad-nya.     

"Ini bener Bang Jali," seru Bara. "Pak, jadwal saya nanti sore apa?" tanya Bara pada Pak Agus.     

"Sepertinya, nanti sore ndak ada jadwal apa-apa," jawab Pak Agus.     

"Kalau begitu, nanti sore saya mau pergi ke tempat Bang Jali dulu, Pak."     

"Kamu ada keperluan sama dia?"     

"Iya, Pak. Saya mau memastikan ini."     

Bara Kemudian menunjukkan berita yang sedang baca pada Pak Agus. "Orang di foto ini mirip Bang Jali," ujar Bara.     

Pak Agus membaca sekilas berita tersebut dan melihat foto seseorang yang ditunjuk Bara.     

"Oke, baiklah kalau begitu."     

-----     

Bang Jali menghampiri puing-puing sisa warung kopi miliknya. Ia mulai mengais barang apa pun yang masih bisa ia ambil. Sesekali ia mengelap matanya yang berair menggunakan lengan bajunya. Gelas-gelas, mangkuk bergambar ayam jagonya, panci yang biasa ia pakai untuk memasak mie pesanan pelanggannya, sampai sendok dan garpu miliknya semua tercecer di dekat puing warung kopinya. Bang Jali mengumpulkannya satu demi satu dan menaruhnya di pelataran ruko yang terletak tidak jauh dari warungnya.     

Butuh beberapa kali bolak-balik sampai Bang Jali selesai mengumpulkan barang-barang yang tersisa dari warung kopi miliknya. Setelah selesai mengumpulkan semuanya, Bang Jali terduduk di pelataran ruko sambil memandangi sisa-sisa warung kopinya. Beruntung pemilik ruko berbaik hati mengijinkan Bang Jali untuk menaruh barang-barang tersebut di depan ruko miliknya.     

"Minum dulu, Bang." Salah seorang karyawan ruko yang merupakan langganan Bang Jali memberikan sebotol air mineral pada Bang Jali.     

"Makasih ya," ujar Bang Jali lesu sambil menerima botol air mineral tersebut.     

"Gue tinggal ke dalem dulu ya, Bang." Karyawan tersebut kemudian masuk ke dalam ruko tempatnya bekerja.     

Bang Jali hanya mengangguk lesu. Pandangannya kembali pada puing-puing warung kopinya dan ia pun mendesah panjang. Memikirkan bagaimana ia akan melanjutkan usahanya.     

-----     

Sore hari sepulang jam kerja, Bara kembali ke apartemen untuk berganti pakaian dan bergegas pergi untuk menemui Bang Jali. Bara memutuskan untuk mengendarai kendaraannya sendiri. Bara mengendarai kendaraannya secepat yang ia bisa. Lalu lintas sangat tidak bersahabat jika sudah memasuki waktu jam pulang kantor.     

Setelah perjalanan hampir dua jam, Bara akhirnya tiba di warung Bang Jali. Matanya tak lepas memandang warung Bang Jali yang kini sudah menjadi puing-puing.     

"Jadi, Bang Jali beneran kena gusur," batin Bara.     

Bara segera memarkirkan kendaraannya di ruko yang berada tidak jauh dari warung Bang Jali. Ketika memasuki pelataran ruko, Bara melihat Bang Jali yang sedang terduduk lesu di depan salah satu ruko. Bara segera memarkirkan mobilnya dan keluar untuk menemui Bang Jali.     

"Bang!" seru Bara memanggil Bang jali sambil berjalan cepat ke arahnya.     

Bang Jali menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia menatap Bara yang sedang berjalan cepat ke arahnya.     

"Abang ngga apa-apa?" tanya Bara seraya duduk di sebelah Bang Jali.     

"Ya, lu lihat sendiri. Warung gue udah jadi puing. Yang tersisa cuma ini aja." Bang Jali menunjuk pada sisa-sisa barang di warungnya yang berhasil ia kumpulkan.     

Bara memperhatikan barang-barang yang ada di sekitarnya. Semuanya adalah sisa-sia dari warung Bang Jali. Beberapa mangkuk dan gelas sudah nampak retak. Sendok dan garpu pun tidak semua gagangnya lurus, beberapa sudah bengkok tak beraturan.     

"Abang mau bawa barang-barang ini kemana?"     

"Belum tahu, gue loakin aja kali. Warung udah ngga ada, mau di taruh di mana?" ujar Bang Jali lesu.     

"Masukin aja dulu ke mobil gue, Bang. Kita taruh di kontarakan lama gue."     

"Ngga usah repot-repot. Ini gue lagi nungguin tukang loak."     

"Malem-malem begini mana ada yang lewat, Bang. Kita angkut dulu aja ke kontrakan gue. Nanti kita cari tempat buat Abang jualan lagi."     

"Ngga usah."     

"Ngga apa-apa, Bang. Selama ini Abang udah baik sama gue, masa Abang lagi kena musibah gue ngga nolongin?"     

"Maksud lu?"     

"Nanti gue bantu cariin tempat biar Abang bisa buka warung lagi."     

"Ngga, ngga. Lagian selama ini gue nolongin lu juga ikhlas."     

"Gue juga ikhlas mau nolongin Abang."     

Bang Jali menatap Bara. Ia masih pemuda yang ia kenal seperti sebelumnya.     

"Serius lu mau bantu gue nyari tempat buat buka toko?" tanya Bang Jali.     

"Ya serius, Bang. Masa bercanda. Ya udah sekarang kita angkut aja dulu barang-barang ini ke mobil gue."     

"Serius?"     

"Iya."     

"Ya udah kita angkut ini ke mobil lu."     

Kedatangan Bara yang menawarkan bantuan membuat Bang Jali menjadi sedikit bersemangat kembali. Ia pun segera memindahkan barang-barang miliknya ke mobil Bara.     

"Lu yakin mau masukin ini ke mobil lu?" tanya Bang Jali berusaha meyakinkan Bara. Ia terkejut karena mobil yang digunakan Bara adalah mobil SUV mewah keluaran BMW.     

"Loh emang kenapa, Bang?"     

"Sayang klo mobil lu sampe lecet gara-gara rongsokan gue ini."     

"Ngga apa-apa, Bang."     

"Guenya yang ngga enak sama lu."     

"Sama gue aja pake ngga enak segala. Kaya kita baru kenal aja," ujar Bara sambil memasukkan barang-barang milik Bang Jali.     

"Emang gue baru kenal, klo sama Bara yang sekarang. Yang gue kenal lama itu, Bara yang tukang parkir, yang suka bantuin gue nyuci piring," sahut Bang Jali.     

Bara tertawa mendengar ucapan Bang Jali. "Gue masih mau kok bantuin Abang nyuci piring. Asalkan dibonusin mie rebus pake telor," canda Bara.     

"Bisa aja lu." Bang Jali menimpali ucapan Bara. Dulu dan sekarang Bara tidak banyak berubah. Di mata Bang Jali perubahan yang paling kentara dari Bara adalah penampilannya. Kini penampilan Bara terlihat lebih rapi dan bersih. Meskipun penampilannya sederhana, Bang Jali yakin, harga pakaian yang dikenakan Bara pasti tidak sesederhana kelihatannya. Terlepas dari penampilannya, menurut Bang Jali, Bara tetaplah Bara yang sudah lama ia kenal.     

"Udah semua nih, Bang?" tanya Bara untuk memastikan semua barang-barang milik Bang Jali.     

Bang Jali mencoba memperhatikan barang-barang miliknya sekali lagi. "Kayanya sih udah semua."     

"Ya udah. Masuk, Bang." Bara meminta Bang Jali untuk segera masuk ke dalam mobilnya.     

Bara terlebih dahulu masuk ke dalam mobil. Ia lantas segera menghubungi Pak Agus.     

"Oke, terima kasih, Pak." ucap Bara di telpon.     

Bang Jali sudah duduk di sebelah Bara ketika Bara mengakhiri panggilan telponnya dengan Pak Agus.     

"Abis nelpon siapa, Bar?" tanya Bang Jali.     

"Nelpon Pak Agus. Dia yang nemenin gue waktu pemakaman Bapak. Dia juga yang ngurusin semuanya," terang Bara.     

"Oh, Bapak-bapak yang itu." Bang Jali mengingat seorang pria paruh baya yang kala itu terus mengawasi Bara. Bang Jali bahkan sempat memintanya untuk menjaga Bara.     

"Kita berangkat ya, Bang." Bara segera menyalakan mesin mobilnya dan segera pergi meninggalkan area ruko tersebut. Sekali lagi, Bang Jali memandangi sisa-sisa warung kopi miliknya. Ia kembali mendesah pasrah. Tempat usaha yang sudah ia tempati hampir lima tahun kini sudah berubah menjadi puing-puing.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.