Bara

Welcome Home 2



Welcome Home 2

0Bara terbangun dari tidurnya. Tubuhnya penuh peluh. Ia memperhatikan sekeliling kamarnya. Kamar itu masih gelap gulita. Ia menyambar ponselnya yang terletak di meja nakas sebelah tempat tidurnya. Masih pukul dua dini hari. Baru sekitar dua jam ia tertidur dan kini sudah kembali terbangun karena mimpi buruk yang kembali menghantuinya. Ia pun memutuskan untuk turun dari tempat tidurnya dan melangkah ke kamar mandi. Segera ia membasuh wajahnya. Bara memandangi pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya terlihat sangat berantakan. Bara mendengus kesal. Belakangan ini jam tidurnya semakin berkurang. Mimpi buruk itu terus datang dalam tidurnya dan semakin hari semakin mengganggu jam istirahatnya. Bara sempat berpikir untuk kembali melanjutkan sesi terapi yang hampir dilupakannya. Tapi mengingat begitu banyak pekerjaan dan pertemuan yang harus ia hadiri, nampaknya ia lebih memilih untuk mengesampingkannya. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah mencoba untuk curi-curi waktu untuk tidur agar tubuhnya bisa tetap fit dan ia tidak kembali jatuh sakit seperti tempo hari. Bara kembali ke kamarnya dan kembali merebahkan dirinya. Ia memandang langit-langit kamarnya yang gelap. Segelap mimpi yang terus mengusiknya.     

Mimpi itu selalu sama setiap malam. Di mulai dari kecerian sebuah keluarga yang hendak pergi ke luar kota. Perjalanan yang mulanya penuh dengan kegembiraan mendadak berubah tegang ketika mobil yang dinaiki keluarga tersebut terpelanting ke sana ke mari. Sebelum mobil itu terpelanting, Bara sempat merasa sang pengendara itu mengatakan sesuatu padanya. Namun ia tidak mendengar apa pun. Yang ia dengar hanya bunyi desing serupa bunyi desing radio sebelum menemukan frekuensi yang stabil. Selanjutnya mimpi itu berpindah ke sebuah jalan dimana ia melihat beberapa orang pria mengejar seorang wanita dan anak laki-lakinya. Mereka berlari dalam derasnya hujan. Anehnya, ia merasa seakan tangannya ikut ditarik untuk berlari. Kemudian ia mendengar teriakan, "Lari Bara!"     

Sekelebat kemudian, ia sudah berpindah ke sebuah tepian jembatan. Ia berjongkok di sebuah ceruk tepat di bawah tiang penyangga jembatan. Kini ia melihat wajah seorang wanita yang berjongkok tepat di depan wajahnya. Namun wajah itu terlihat samar. Bara berulang kali mengucek matanya agar bisa melihat wanita itu dengan lebih jelas. Tetapi usahanya sia-sia. Wajah itu tetap buram di matanya. Hanya gerakan bibirnya yang terlihat. Pasti wanita itu sedang berbicara padanya. Bara hanya menangkap kata-kata 'pergi' dan 'lupakan' yang keluar dari mulut wanita tersebut.     

Di titik ini, Bara sudah ingin segera membuka matanya. Akan tetapi, seluruh tubuhnya seolah menolak untuk menuruti kemauan tuannya. Ia tetap terpejam dan mimpi itu terus berlanjut. Napasnya tiba-tiba tercekat. Sontak ia memegangi lehernya. Berbarengan dengan itu, ia melihat seorang pria dewasa yang sedang menindih tubuh seorang anak laki-laki. Tangan laki-laki itu mencekik leher anak laki-laki yang terus berupaya untuk melepaskan diri. Bara ingin menolongnya, namun napasnya sendiri tercekat dan ia tidak mampu untuk menggerakkan tubuhnya. Sedetik kemudian, aspal yang menjadi pijakan kakinya berubah menjadi pusaran air yang langsung menenggelamkannya. Sekuat tenaga Bara berusaha untuk naik ke permukaan. Tetapi sekuat apa pun ia mencoba, ia tidak berhasil mencapai permukaan air tersebut. Tubuhnya justru semakin tenggelam ke dasar. Kegelapan menelan tubuhnya bulat-bulat. Perasaan putus asa itu akhirnya yang membangunkannya. Ia masih ada di ranjangnya. Mimpi itu terasa sangat nyata sampai-sampai Bara terbangun dengan berpeluh keringat dan napas yang kembang-kempis.     

Bara menutupi wajah dengan lengannya. Mencoba untuk kembali tidur.     

-----     

Pagi-pagi sekali Rania sudah kembali berkemas untuk kembali pergi meninggalkan kediamannya. Belum waktunya ia untuk berlama-lama di sini. Bermalam satu malam sudah cukup baginya untuk mengenang kembali seluruh momen bahagianya di dalam rumah tersebut.     

Mbok Nah menghampiri Rania yang sudah siap dengan barang bawaanya.     

"Ibu harus janji sama saya, Ibu akan kembali tinggal di rumah ini," pinta Mbok Nah bersungguh-sungguh. Ia terus menggenggam tangan Rania seolah takut Tuannya itu tidak akan kembali lagi ke rumah tersebut.     

"Iya, Mbok. Saya pasti akan kembali lagi ke sini."     

"Janji?"     

"Saya janji. Bukan hanya saya, tapi saya juga akan membawa Bara," Rania menatap dalam-dalam mata Mbok Nah. meyakinkan Asisten rumah tangganya bahwa ia akan kembali menghuni rumah tersebut.     

Mbok Nah akhirnya luluh dengan perkataan Rania dan melepaskan tangannya. "Ibu mau saya panggilkan taksi?" tanyanya seraya mengantar Rania menuju gerbang rumah.     

"Ngga perlu, Mbok. Sudah ada yang menjemput saya."     

"Siapa, Bu?"     

"Nanti Mbok juga tahu setelah lihat orangnya."     

Mbok Nah membuka gembok yang terpasang pada gerbang rumah. Ia kemudian membuka sedikit gerbang rumah tersebut. Sebuah mobil sedan putih sudah terparkir di depan rumah. Mbok Nah hampir mengumpat si pemilik mobil karena sudah parkir sembarang di depan gerbang rumah tersebut. Namun setelah ia melihat si pemilik, ia mengurungkan kembali niatnya untuk mengumpat kepada pemilik mobil. Ternyata Kimmy yang ada di dalam mobil tersebut. Kimmy tidak keluar dari dalam mobi, tetapi dia menurunkan kaca mobilnya dan menyapa Mbok Nah.     

"Pagi, Mbok!" sapa Kimmy ceria.     

"Kamu sudah datang?" Rania muncul dari balik gerbang rumah.     

"Pagi, Tante!"     

Kimmy segera membuka bagasi mobilnya. Mbok Nah dengan cekatan memasukkan koper milik Rania ke dalam bagasi mobil Kimmy. Selesai memasukkan koper ke dalam bagasi, Mbok Nah kembali menghampiri Rania.     

"Saya pergi dulu ya, Mbok."     

"Iya, Bu. Hati-hati."     

Rania memeluk Mbok Nah sekilas. Ia kemudian melangkah masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Kimmy yang mengemudi.     

"Kita pergi dulu ya, Mbok," ujar Kimmy sembari melambaikan tangan pada Mbok Nah. Tangan satunya dengan cekatan memutar tuas kemudi.     

Mbok Nah balas melambaikan tangan dan memandangi mobil sedan putih pergi menjauh.     

-----     

"Kenapa Tante suka banget sih bikin aku bangun pagi?" keluh Kimmy kepada Rania.     

Rania tertawa renyah mendengarkan keluhan keponakannya itu.     

"Supaya rejeki kamu semakin lancar," jawab Rania sekenanya.     

"Aku kan mau bagi-bagi rejeki buat yang lain," sahut Kimmy. "Lagian, jam segini kan kita belum bisa check in hotel, Tante."     

"Tante tahu." Rania melirik jam tangannya. Masih pukul tujuh pagi. "Tante mau keliling Jakarta dulu, sudah lama Tante ngga keliling Jakarta. Tante kangen sama Monas," ujar Rania sambil tertawa jahil pada Kimmy.     

"Oh my God, Tante. Monas bentuknya masih sama seperti dulu, dia belum berubah jadi patung Liberty."     

Rania tertawa mendengar ucapan Kimmy. "Tapi tetap Tante mau keliling Jakarta."     

"I can't believe this. Keliling Jakarta di saat working hours yang waktu macet-macetannya bisa ngalahin perjalanan Jakarta-Bandung? Sorry to say, Tante. Tapi aku ngga mau betis aku berkonde gara-gara keliling Jakarta pas jam macet."     

"Tapi mobil kamu kan matic, Kim?"     

"Tetap aja Tanteku sayang, emangnya aku ngga perlu sering-sering nginjek rem kalau pas macet?"     

"Terus gimana dong? Padahal Tante kangen banget sama suasana Jakarta."     

Kimmy nampak berpikir sejenak. "Ah, i've got an idea," pekik Kimmy.     

"Punya ide apa kamu?"     

"Ada deh, Tante duduk manis aja di situ. Serahkan semuanya pada Miss Kimberly," ujar Kimmy bangga. Kimmy merasa Tantenya pasti akan sangat terkejut dengan ide yang ia punya.     

"Ok, i trust you."     

Kimmy tersenyum penuh arti pada Rania, "Danke."     

Ia segera mengarahkan kendaraannya untuk masuk ke tol dalam kota. Tidak ada kemacetan yang berarti ketika ia masuk ke tol dalam kota. Itu dikarenakan ia melawan arus kendaraan orang-orang yang hendak mengarah ke kawasan Sudirman-Thamrin dan sekitarnya.     

"Cuaca hari ini cerah, gunung-gunung sampai terlihat," ujar Rania sambil menatap pemandangan di luar jendela.     

Kimmy tetap asyik menyetir sementara Rania menikmati pemandangan di kanan kirinya. Sepuluh tahun berlalu dan kota Jakarta terasa semakin sesak baginya. Pembangunan gedung di sana-sini seolah tidak memberi ruang bagi tanah di bawahnya untuk bernapas. Mungkin jika tanah tempat gedung-gedung tersebut bisa bicara, mereka pasti akan memohon dengan amat sangat agar jangan terus menusuki mereka dengan paku bumi yang menyakitkan itu. Sayangnya tanah tidak bisa bicara bahkan mengeluh, mereka hanya bisa pasrah menghadapi beban diatasnya yang semakin hari semakin berat. Sama halnya ketika manusia sudah ditempa dengan sebegitu banyak cobaan. Pada akhirnya mereka hanya akan pasrah dan berserah kepada Sang Pencipta. Berharap Sang Pencipta akan segera menberikan jawaban atas doa-doa yang mereka panjatkan.     

"Siapa sangka saya akan kembali lagi kesini," bisik Rania pelan.     

"Welcome home, Tante." sahut Kimmy yang mendengar bisikan pelan Rania.     

"Thanks, Kim."     

"Nah, kita hampir sampai."     

Kimmy mengarahkan mobilnya untuk keluar dari tol. Setelah melewati satu lampu merah. Rania mulai mengenali bangunan di kanan kirinya. Masjid At-Tin, Taman Pesona Anggrek, Padepokan Pencak Silat. Kimmy membelokkan mobilnya menuju pintu masuk.     

"Selamat datang di Taman Mini Indonesia Indah," ujar Kimmy sambil tersenyum bangga.     

Rania tidak dapat menahan tawanya. Tidak disangka Kimmy akan membawanya ke kawasan Taman Mini Indonesia Indah.     

"Tante pikir Taman Mini sudah berubah jadi Disneyland." Sindir Rania kepada Kimmy sambil terus tertawa.     

"Ini satu-satunya taman hiburan yang sudah buka di jam segini Tante."     

"Ya ya ya, coba kita lihat. Apa Taman Mini sudah berubah setelah sepuluh tahun."     

"We have a Dinosaur here," bisik Kimmy.     

"Really?"     

"Yeah, Let's see Dinosaur." Kimmy mengerling jahil pada Rania.     

"Kamu memang selalu out of the box."     

"Siapa dulu? Kimberly gitu loh. Tapi sebelum lihat Dinosaurus, kita cari sarapan dulu tante."     

"Tante akan traktir apa pun yang kamu mau."     

"Yes," ujar Kimmy kegirangan.     

Kimmy memutar kembali mobilnya dan mengarah ke kawasan niaga yang berada tepat di sebelah gerbang utama TMII. Di kawasan itu berderet berbagai macam tempat makan, restoran, kedai kopi, minimarket hingga toko yang menjual perlengkapan rumah tangga. Kimmy memarkirkan kendaraannya di depan sebuah kedai kopi berlambang putri duyung berwarna hijau. Mereka berdua segera memesan kopi dan roti lapis untuk dibawa pulang. Setelah pesanan mereka selesai, mereka segera kembali ke dalam mobil dan kembali mengarah ke gerbang utama TMII. Mereka membeli tiket untuk dua orang dan satu mobil. Suasana rindang langsung menyambut begitu mereka masuk. Kimmy mencari tempat parkir yang berada tidak jauh dari area danau Nusantara. Sebuah danau besar dimana terdapat replika kepulauan yang ada di Indonesa mulai dari Sabang sampai Merauke. Setelah mobil yang mereka naiki terparkir sempurna, mereka berjalan kaki menuju tepian danau. Keduanya memakan sarapannya sambil memandangi replika pulau-pulau tersebut.     

"Kita kaya piknik ya, Tante?" ujar Kimmy.     

"Iya, kapan ya terakhir kali kita piknik seperti ini."     

"Yang pasti itu sudah lama sekali, Tante."     

"Seandainya Bara bisa bergabung bersama kita sekarang," Rania berandai-andai.     

"Setelah Bara tahu kalau Tante masih hidup, kita harus piknik kesini bersama-sama."     

"Ya, kita harus kembali lagi ke sini untuk piknik bersama-sama," sahut Rania penuh arti.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.