Bara

Reminisce 3



Reminisce 3

Malam hari setelah Mahesa mengambil berkas miliknya di kantor, Mahesa berbicara serius pada Rania tentang sebuah rencana yang sudah ia persiapkan sedemikian rupa. Rania terkejut dengan rencana yang dibicarakan oleh Mahesa.     

"Saya ngga setuju," Rania menolak mentah-mentah rencana yang dibicarakan oleh Mahesa. Matanya berkaca-kaca. "Saya ngga mau kamu mengorbankan nyawa kamu, apa kamu tidak memikirkan saya dan Bara ketika membuat rencana itu?" tanya Rania lirih.     

Mahesa terdiam.     

Rania melanjutkan ucapannya, "Kalau kamu ngga ada, bagaimana dengan saya dan Bara?" Rania mulai menitikkan air matanya.     

"Saya juga berat ketika merencanakan ini semua, tapi ini satu-satunya yang terpikirkan oleh saya agar kalian berdua bisa hidup tenang," ujar Mahesa.     

"Kamu pikir saya bisa hidup tenang tanpa kamu?" Rania membuang mukanya. Dia tidak ingin melihat ekspresi wajah Mahesa yang terlihat begitu tenang ketika membicarakan tentang rencana berbahaya yang sudah ia susun.     

Mahesa berpindah tempat duduk agar bisa melihat wajah Rania. Rania kembali memalingkan wajahnya agar tidak bertatapan dengan Mahesa.     

"Saya tahu rencana saya ini adalah rencana yang egois, saya pun berharap agar saya tidak perlu melakukan ini semua."     

Rania berpaling dan kini menatap Mahesa, "Lantas kenapa kamu merencanakan itu semua?"     

"Saya percaya kamu akan melanjutkan apa yang sudah saya mulai."     

"Bagaimana kalau ternyata saya tidak sanggup untuk melanjutkannya? Apa kamu juga sudah memikirkan itu?"     

Mahesa menggeleng pelan. Mahesa kemudian perlahan-lahan menggenggam lengan Rania.     

"Saya percaya kamu akan sanggup melanjutkannya, kalau pun saya terpaksa harus menjalankan rencana ini--" Mahesa terdiam sejenak, "Saya tidak akan menyesal, karena hidup saya selama ini sudah sempurna."     

Mendengar apa yang diucapkan Mahesa membuat Rania semakin terisak. Mahesa menarik tubuh Rania dan memeluknya erat.     

"Apa saya masih bisa mempercayai kamu?" bisik Mahesa.     

Disela tangisnya, Rania mengangguk pelan. Mahesa semakin memeluk erat Rania. Mata Mahesa pun berkaca-kaca membayangkan bagaimana jika ia terpaksa menjalankan rencana berbahayanya tersebut.     

"Aku mencintaimu," Mahesa mengecup lembut kepala Rania.     

Dada Rania terasa sesak. Terlintas dalam benaknya hari-hari bahagia hidupnya bersama Mahesa. Kini, Rania harus menyiapkan hatinya jika Mahesa terpaksa harus menjalankan rencana yang membahayakan dirinya.     

-----     

Seminggu setelah pembicaraannya dengan Rania, Mahesa akhirnya mengajak Rania dan Bara untuk berkunjung ke villa milik orang tuanya di Lembang. Mahesa ingin memberitahu Pak Haryo tentang kecurangan yang dilakukan Pak Angga sekaligus merayakan tahun baru disana. Bara sangat antusias, karena memang mereka biasa merayakan tahun baru di villa milik Pak Haryo.     

Mahesa juga mengatakan bahwa tahun ini, Damar dan Kimmy juga akan merayakannya bersama mereka. Hal ini semakin membuat Bara kegirangan. Lain halnya dengan Rania. Sejak pembicaraannya dengan Mahesa, Rania selalu merasa was-was. Hatinya selalu diliputi kekhawatiran bahwa Mahesa akan pergi meninggalkannya.     

Ternyata apa yang ditakutkan Rania pun terjadi. Perjalanan menuju Lembang yang tadinya diwarnai kegembiraan, menjelma menjadi sebuah ketakutan ketika Mahesa memberi tahu Rania bahwa sedari tadi ada kendaraan yang mengikuti mereka.     

Mahesa mencurigai kendaraan tersebut semenjak mereka keluar dari pekarangan rumah. Untuk mengetahui apakah kendaraan tersebut benar mengikuti mereka atau tidak, Mahesa mencoba menaikkan kecepatan mereka. Dan hasilnya kendaraan yang mengikuti mereka juga ikut menaikkan kecepatannya. Sesekali Mahesa memperhatikan ke-empat orang yang ada di dalam mobil tersebut.     

Semuanya tampak mencurigakan. Mahesa kemudian tidak sengaja melihat salah satu di antara mereka sedang memegang senjata tajam dan mengarahkannya pada kendaraan yang ditumpangi Mahesa dan keluarga.     

"Mungkin inilah akhirnya," batin Mahesa.     

Pada akhirnya, Mahesa menekan tanda peringatan bahaya yang sudah ia sematkan pada kalung kesayangan Rania.     

Jika tanda itu menyala, maka orang-orang yang sudah Mahesa siapkan akan segera melacak asal titik tersebut dan akan segera datang untuk menyelamatkan Rania dan Bara. Rania tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menuruti kemauan Mahesa. Meski sesungguhnya hati Rania belum sanggup untuk menjalankan rencana yang sudah dibuat Mahesa.     

Sambil menggenggam erat tangan Rania, Mahesa segera membanting tuas kemudi ke arah berlawanan. Kendaraan mereka terpelanting sampai akhirnya mendarat di pinggir area persawahan setelah di hantam truk dari arah berlawanan.     

"Cepat selamatkan Bara," ucap Mahesa lirih. Kepala Mahesa sudah berlumuran darah.     

Sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya, Rania mencoba menjaga kesadarannya dan berusaha keluar dari dalam mobil yang sudah rusak parah itu untuk menyelamatkan Bara.     

Dengan sekuat tenaga, Rania mengeluarkan Bara dari dalam mobil. Beruntung luka yang dialami Bara tidak terlalu parah. Rania segera membawa Bara ke semak-semak yang berada tidak jauh dari sana.     

"Tunggu disini, Mama akan segera kembali," ucap Rania pada Bara.     

Bara menuruti permintaan mamanya dan berjongkok di dekat semak-semak, sementara mamanya kembali ke tempat kecelakaan mereka.     

Di sela-sela kesadarannya yang semakin menipis, Mahesa dapat melihat siluet Rania yang datang ke arahnya. Rania mendatanginya sambil menangis tersedu-sedu. Rania segera berusaha untuk mengeluarkan Mahesa dari dalam mobil.     

"Kita semua harus selamat," ucap Rania seraya menarik tubuh Mahesa.     

"Sudahlah," bisik Mahesa lirih.     

"Saya ngga bisa membiarkan ini." Dengan sekuat tenaga, Rania tetap berusaha mengeluarkan tubuh Mahesa yang sudah terjepit badan kendaraan mereka.     

Namun, usahanya sia-sia. Tubuh Mahesa tetap terjebak di dalam mobil yang sudah ringsek. Rania terduduk pasrah di dekat tubuh Mahesa yang sudah hampir tidak berdaya. Rania mendongakkan kepalanya. Mencegah air matanya untuk jatuh.     

"Lihat saya. Saya ingin melihat kamu," ucap Mahesa pelan.     

Rania akhirnya menundukkan wajahnya dan menatap wajah Mahesa yang sudah bersimbah darah.     

"I love you," ujar Mahesa lirih sambil tersenyum.     

Mahesa kemudian memejamkan matanya. Rania terpaku. Sejenak tubuh Rania seakan mati rasa begitu melihat Mahesa yang memejamkan mata di hadapannya.     

"Kenapa kamu masih bisa setenang itu menghadapi kematian," batin Rania.     

Diusapnya wajah lelaki yang amat dicintainya itu. Rania mendekatkan wajahnya ke wajah Mahesa yang sudah berlumuran darah dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Mahesa. Sebuah kecupan untuk mengiringi kepergian Mahesa dari hidupnya.     

Rania masih terpaku di hadapan tubuh suaminya yang sudah tidak berdaya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arah kendaraan mereka yang sudah ringsek. Sambil terus melaju, salah satu penumpang di dalam mobil tersebut melemparkan sebuah pemantik ke arah tumpahan bahan bakar. Dengan cepat api menyambar mobil yang tadi ditumpangi oleh Rania dan keluarga kecilnya. Rania terpaku melihat mobilnya dilahap si jago merah. Sambil menangis tersedu-sedu Rania perlahan mundur menjauhi mobil tersebut. Rania memalingkan wajahnya dari Mahesa yang sudah tidak bernyawa dan mobil mereka yang sudah terbakar. Ia segera berlari untuk menyusul Bara yang sedang bersembunyi di semak-semak.     

"Kita tunggu disini sampai bantuan datang," ujar Rania sambil memeluk erat Bara.     

Dari balik semak belukar tempat mereka bersembunyi, mereka menyaksikan mobil yang tadinya mereka tumpangi itu di lahap si jago merah. Sebuah ledakan besar menghancurkan mobil mereka yang tadinya penuh keceriaan. Rania memejamkan matanya sambil memeluk Bara erat.     

----     

Setelah menunggu beberapa saat, bantuan yang mereka tunggu tiba. Rania langsung melambaikan tangannya dari balik semak-semak.     

"Orang-orang suruhan Papa sudah disini," ujar Rania sambil memeluk Bara.     

Ada perasaan lega ketika akhirnya bantuan yang mereka tunggu tiba. Ada empat orang pria yang mendatangi mereka. Salah seorang diantara mereka segera memayungi keduanya dan memberikan sebuah selimut untuk membungkus tubuh mereka yang basah. Mereka kemudian membawa Rania dan Bara ke mobil yang mereka bawa.     

Namun perasaan lega itu berubah, ketika Rania mendengar salah satu diantara orang yang menjemputnya berbisik tentang bagaimana mereka harus menghabisi keduanya. Rania segera menghentikan langkahnya. Bara yang sedang di gandeng Rania keheranan karena Mamanya tiba-tiba menghentikan langkahnya.     

"Ada apa, Ma?" tanya Bara.     

Rania segera menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya dan meminta Bara untuk diam. Rania membiarkan orang-orang tersebut berjalan jauh di depannya. Rania mematikan pelacak pada kalung berliannya dan kemudian menggenggam erat tangan Bara. Rania segera berbalik arah dan mengajak Bara untuk berjalan cepat menjauhi orang-orang yang menjemputnya. Rania dan Bara berjalan cepat di tengah hujan yang mengguyur sangat deras.     

"Itu mereka, cepat kejar!"     

Suara dari kejauhan itu mengagetkan Rania. Orang-orang itu kini mulai berlari mengejar Rania dan Bara. Rania semakin menggenggam erat lengan Bara.     

"Lari Bara!" perintah Rania.     

Dengan menahan luka-luka pada tubuh mereka, keduanya berlari. Rania sudah tidak sempat untuk memikirkan rasa sakit. Pikirannya saat ini hanyalah berlari sejauh mungkin dari orang-orang suruhan Mahesa yang ternyata sudah berkhianat.     

Keduanya terus berlari meski hujan turun semakin lebat. Orang-orang itu pun terus mengikuti mereka.     

Sampai akhirnya mereka berdua tiba di sebuah jembatan penghubung antar desa, Rania segera membawa Bara untuk bersembunyi di sebuah celah di balik jembatan. Menyadari bahwa orang-orang tersebut akan terus mengejarnya, Rania memutuskan untuk menggunakan dirinya sebagai umpan agar orang-orang itu menjauh dari Bara.     

"Kamu tunggu Mama disini, setelah mereka menjauh, Mama akan kembali lagi kesini, mengerti?" ujar Rania pada Bara.     

Bara mengangguk. "Mama cepat kembali, aku takut," ucap Bara dengan ekspresi wajah penuh ketakutan.     

Rania membelai lembut wajah Bara dan berusaha meyakinkan Bara bahwa dirinya akan segera kembali.     

"Kamu pakai ini," Rania melepaskan kalung berliannya dan memakaikannya pada Bara.     

Rania hendak pergi meninggalkan Bara, tetapi Bara masih belum mau melepaskan tangan Mamanya.     

"Bagaimana kalau mereka menangkap Mama?" tanya Bara.     

Rania terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan yang diajukan Bara. Rania memegangi bahu Bara dengan kedua tangannya, "Jika Mama tidak kembali lagi kesini, kamu harus lari sejauh yang kamu bisa, lupakan semuanya, mengerti?" tanya Rania sambil menatap dalam-dalam kedua mata Bara.     

Rania dapat merasakan ketakutan yang saat ini sedang Bara rasakan. Dirinya baru saja kehilangan seorang Papa dan sekarang mamanya juga mau pergi meninggalkannya.     

"Mama pasti kembali pada kamu," ucap Rania meyakinkan Bara.     

Sorot mata Bara masih terlihat ragu namun Bara kembali menganggukkan kepalanya.     

"Anak pintar," Rania mengusap-usap rambut Bara.     

Bara kemudian merangsek memeluk Rania erat. "Mama harus kembali," bisiknya.     

"Iya sayang," Rania balas memeluk Bara erat.     

Bara kemudian melepaskan pelukannya dan Rania perlahan keluar dari persembunyian mereka. Bara memandangi kepergian Rania sambil menggenggam erat kalung milik Rania.     

Sambil duduk memeluk kedua kakinya, Bara terus menggumamkan bahwa mamanya akan kembali sambil memegangi kalung milik Rania. Waktu seakan berjalan lambat bagi Bara. Bara merasa Mamanya sudah pergi cukup lama dan belum juga kembali. Bara mulai terisak. Bara kemudian teringat pesan Rania.     

Perlahan Bara mengendap-endap keluar dari persembunyiannya. Bara terkejut ketika melihat salah seorang diantara orang yang menjemputnya tadi sedang duduk di dalam sebuah mobil yang sedang terparkir di pinggir jembatan. Orang itu melihat Bara dan segera keluar dari dalam mobilnya dan mengejar Bara.     

Dengan sigap Bara berlari menghindari orang itu. Namun ternyata orang itu jauh lebih sigap dari Bara. Dengan mudah orang itu meraih baju Bara dari belakang dan menariknya. Sontak tubuh Bara terpelanting ke belakang akibat tarikan orang tersebut.     

"Anak bodoh," ujar orang tersebut.     

Bara berusaha bangkit, orang itu membiarkannya. Tetapi setelah Bara berhasil berdiri, dia kembali menarik tubuh Bara hingga terpelanting kembali. Orang itu terus melakukannya berulang-ulang sampai Bara sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri. Melihat Bara yang sudah terkapar kehabisan tenaga, orang itu menindih tubuh Bara dan mencekiknya. Bara meronta-ronta. Namun tenaga orang itu tidak sebanding dengannya.     

Bara berusaha meraba-raba sekitarnya untuk mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melawan orang yang sedang mencekiknya. Napasnya hampir habis ketika Bara berhasil meraih sebuah batu yang cukup besar. Segera, Bara melayangkan batu tersebut ke kepala orang yang menyerangnya. Orang itu kesakitan dan refleks melepaskan cekikannya.     

Bara tidak membuang kesempatan dan mencoba melepaskan diri dari orang tersebut. Usahanya berhasil. Namun orang tersebut murka karena Bara berhasil menyerangnya dan berusaha meraih kembali tubuh Bara. Bara refleks berguling untuk menghindarinya. Sayangnya Bara berguling ke arah yang salah. Bara berguling ke sela-sela pembatas jembatan. Dalam sekejap tubuh Bara terjatuh ke sungai dan terseret arus sungai yang deras.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.