Bara

Pawn 1



Pawn 1

0Pak Bima berdiri di depan pintu masuk ruang kerja Pak Angga. Ia memandangi pintu yang terbuat dari kayu mahoni yang dikombinasikan dengan ornamen kaca yang memanjang secara vertical pada bagian tengah pintu. Ia menghela napasnya dan mengetuk pintu tersebut.     

Setelah mengetuk pintuya, Pak Bima berjalan masuk ke dalam ruang kerja Pak Angga. Ia berjalan mendekati meja kerja Pak Angga dan meletakkan sebuah amplop coklat di hadapan Pak Angga.     

Pak Angga menaikkan satu alisnya ketika ia melihat amplop coklat di hadapannya. "Apa ini?"     

"Papa bisa langsung lihat isinya," jawab Pak Bima.     

Pak Angga kemudian membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Ia segera membaca surat yang ada di dalam amplop tersebut. Pak Angga mengernyitkan dahinya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Pak Bima. "Kamu mau mundur dari perusahaan?"     

"Saya rasa, peran saya sudah cukup sampai di sini."     

Pak Angga melepaskan kacamata baca yang ia gunakan dan melemparnya sembarangan ke atas meja. "Apa maksud kamu?"     

"Seperti yang Papa dengar barusan, saya ingin mengakhiri peran saya di perusahaan ini."     

"Kenapa tiba-tiba kamu mau mundur? Tinggal sedikit lagi kita bisa memiliki semuanya."     

Pak Bima menggeleng. "Bukan itu yang saya inginkan."     

"Lantas apa yang kamu inginkan? Kamu tinggal bilang saja."     

"Papa tidak akan bisa memberikan apa yang inginkan. Selama ini saya sudah berusaha, tetapi tetap saja Papa tidak bisa melihat apa yang sudah saya lakukan untuk Papa dan perusahaan ini."     

"Kamu merasa iri? Karena saya lebih memilih Damar untuk jadi CEO ketimbang kamu? Sudah berapa kali saya bilang, saya memilih Damar karena dia bisa dengan mudah disingkirkan."     

"Saya sudah tidak menginginkan jabatan itu. Papa bisa memberikannya ke siapapun yang Papa inginkan."     

"Lantas apa yang kamu inginkan?"     

Pak Bima menatap mata Pak Angga dan tersenyum kecut. "Bahkan sampai saat ini, Papa masih tidak bisa mengetahui apa yang saya inginkan. Tidak ada gunanya saya berbicara panjang lebar dengan Papa."     

Pak Angga menatapnya tidak percaya. "Kamu benar-benar sudah gila?"     

Pak Bima balas menatap Pak Angga. Ini pertama kalinya ia memiliki banyak keberanian untuk melawan Pak Angga. "Iya, saya sudah gila. Saya tidak ingin menjadi semakin gila karena mengikuti permaian Papa. Sudah cukup apa yang saya lakukan selama ini untuk Papa."     

"Berani sekali kamu," sergah Pak Angga. "Saya melakukan ini untuk keluarga kita."     

Tatapan mata Pak Bima berubah dingin ketika Pak Angga menyebut kata keluarga. "Keluarga? Keluarga yang mana? Hanggono dan kawanan tikus berdasinya?"     

Pak Angga berdiri dan dengan cepatnya ia menampar pipi Pak Bima. "Sudah berani kurang ajar kamu?"     

"Sudah saya duga respon Papa akan seperti ini jika saya menyebut nama Hanggono." Pak Bima menyeka pipinya yang terasa perih akibat tamparan Pak Angga. "Akhirnya saya sadar, kalau selama ini saya sudah berada di pihak yang salah. Terima kasih atas tamparan yang Papa berikan."     

"Silahkan kamu pergi dari perusahaan, jangan harap kamu bisa menginjakkan kaki kamu lagi di sini. Dasar anak kurang ajar," bentak Pak Angga.     

Pak Bima kembali menyunggingkan senyumnya. "Papa lupa? Semua ini milik Pakde Haryo, bukan milik Papa." Pak Bima kemudian segera pergi meninggalkan ruang kerja Pak Angga.     

Pak Angga hanya bisa berdiri terpaku melihat kepergian Pak Bima. Ia menatap punggung Pak Bima yang baru saja meninggalkan ruangannya dengan penuh amarah. "Kamu pikir saya akan lunak meskipun kamu anak saya sendiri? Lihat saja, saya akan beri kamu pelajaran yang tidak pernah kamu bayangkan."     

Pak Bima melirik sekilas pada Pak Angga sebelum ia menutup pintu ruang kerjanya. Pak Angga sedang menatapnya dengan penuh amarah. Pak Bima menghela napasnya, baru sekali ini, ia melakukan sesuatu yang bisa membuat hatinya merasa lega. Meskipun ia sadar, pasti ada harga yang harus ia bayarkan ketika ia memilih untuk melawan Pak Angga.     

*****     

Damar terus menerus memegangi perutnya. Sedari pagi, ia merasakan nyeri pada ulu hatinya. Ia kemudian meraih segelas air putih yang ada di atas meja kerjanya dan meminumnya untuk sedikit mengurangi rasa sakit yang ia rasakan.     

Setelah selesai minum, Damar menghela napas lega. Meski rasa sakitnya tidak berkurang, tetapi ia bisa merasa sedikit lebih baik.     

"Kamu kenapa?" Tanya Pak Bima yang tiba-tiba masuk ke ruangan Damar.     

Damar menoleh terkejut dan menegakkan tubuhnya. "Ngga apa-apa."     

"Yakin kamu?"     

Damar mengangguk meski harus kembali menahan rasa sakitnya. "Tadi Kimmy mampir ke sini." Damar mencoba untuk mengalihkan fokus Pak Bima.     

Pak Bima nampak terkejut dengan perkataan Damar. "Kimmy kesini? Kok, dia ngga mampir ke ruangan saya?"     

Damar mengangkat bahunya. "Mungkin karena dia kesini sama Maya."     

"Maya?" Tanya Pak Bima keheranan.     

"Papa belum tahu gosip yang sedang beredar?"     

"Gosip apa, ya?"     

Damar tertawa melihat kebingungan yang melanda Pak Bima. "Seluruh kantor bahkan seluruh netizen yang budiman pasti sedang membahas gosip ini, dan Papa sama sekali ngga tahu?"     

"Memang gosip itu ada hubungannya dengan keluarga kita?"     

"Bintang utamanya anggota keluarga kita."     

Sekali lagi Pak Bima menatap Damar keheranan. "Siapa?"     

"The one and only Bara Aditya Pradana," jawab Damar.     

"Bara digosipkan dengan siapa?"     

"Maya Andini, Papa kenal?"     

Pak Bima menggeleng.     

"Fleur Cosmetics Papa tahu?"     

Kali ini Pak Bima mengangguk cepat.     

"Dia model sekaligus cucu pemilik Fleur Cosmetics."     

"Lantas apa hubungannya antara cucu pemilik Fleur Cosmetics dengan Kimmy?"     

"Well, bisa dibilang Maya itu sahabatnya Kimmy. Wajar, sih, kalau Papa ngga tahu."     

Pak Bima manggut-manggut mendengar penjelasan Damar.     

"Ngomong-ngomong, ada apa Papa kesini?" Tanya Damar.     

"Oh ya, ada yang harus Papa beritahukan ke kamu. Papa--" Pak Bima berhenti sejenak.     

Damar terlihat penasaran dengan apa yang akan diucapkan Pak Bima karena raut wajah Pak Bima terlihat sangat serius     

"Papa mengundurkan diri dari perusahaan," lanjut Pak Bima.     

Damar segera bangkit dari kursinya segera berjalan cepat menghampiri Pak Bima. "Barusan aku ngga salah denger, kan?"     

"Ngga, kamu ngga salah denger. Papa sudah menyerahkan surat pengunduran diri langsung ke eyangmu."     

"Terus, reaksi Eyang bagaimana?"     

Pak Bima mengelus pipinya yang tadi ditampar Pak Angga. "Ternyata tamparannya lumayan perih juga."     

Damar menatap Pak Bima tak percaya. Dengan mundurnya Pak Bima pasti akan membuka satu celah yang memungkinkan untuk diisi oleh orang kepercayaan Pak Angga. Atau, kalau Bara bisa mengetahui kabar ini lebih cepat, ia bisa mencari orang yang akan memihaknya untuk mengisi posisi strategis yang ditinggalkan Pak Bima. "Kira-kira siapa yang akan mengisi posisi Papa?"     

"Entahlah, Papa juga belum berpikir siapa yang nantinya akan menggantikan posisi Papa."     

"Gue harus cepat-cepat ngasih tahu Bara," gumam Bara pelan.     

Pak Bima memajukan badannya. "Kamu ngomong apa barusan?"     

"Ah, ngga. Saya ngga ngomong apa-apa."     

Pak Bima menatap Damar dengan penuh selidik. Belakangan ini sepertinya Damar banyak menyembunyikan sesuatu darinya. Ia melihat Damar yang nampak sedang memikirkan sesuatu. Di sisi lain, ia juga memperhatikan keringat yang membasahi dahi Damar.     

"Kamu sudah makan?"     

"Sudah, tadi saya makan di sini."     

"Tapi, kenapa jidat kamu berkeringat begitu? Biasanya kamu berkeringgat begitu kalau belum makan."     

Damar menyeka keringat yang membasahi keningnya. "Cuacanya lagi panas."     

Pak Bima keheranan dengan pernyataan Damar. Dari yang ia rasakan, ruangan Damar cukup dingin. Dirinya bahkan tidak mengeluarkan keringat sama sekali. Jelas Damar sedang menyembunyikan sesuatu darinya.     

Damsr tahu Pak Bima sedang mengamatinya. Ia segera berjalan kembali ke meja kerjanya. Tanpa sengaja Damar meringis pelan.     

"Apa kamu sakit?" Pak Bima kembali bertanya karena penasaran. Ia menyusul Damar dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Damar.     

"No, I'm fine," sahut Damar.     

"Don't lie to me, Damar. I'm your father, i know when you lie."     

"No, really. I'm fine." Damar merapatkan tubuhnya ke meja kerjanya. Berharap tekanan yang ia dapatkan dengan menekan tubuhnya ke meja kerjanya dapat mengurangi rasa sakitnya. Ia mencoba memasang ekspresi wajah baik-baik saja di hadapan Pak Bima.     

Damar mencoba untuk mencari topik pembicaraan yang lain untuk mencegah Pak Bima semakin mencurigainya. "Setelah keluar dari perusahaan, apa yang Papa lakukan?"     

"Mungkin Papa akan membantu Adik kamu, atau bisa juga Papa menghabiskan waktu dengan memancing. Entahlah, Papa juga belum tahu."     

"Papa tetap akan membantu saya, kan?" tanya Damar ragu-ragu.     

Pak Bima memandang Damar. "Masa, yang begitu masih kamu tanyakan. Meskipun saya keluar, bukan berarti saya tidak akan membantu kamu. Saya akan gunakan koneksi yang saya miliki untuk membantu kamu. Kamu tidak perlu khawatir."     

Damar menghela napas lega. "Syukurlah, karena saya pasti sangat membutuhkan bantuan Papa."     

"Papa akan selalu bantu kamu," ujar Pak Bima.     

Ia menatap Damar dengan penuh kasih sayang. Damar jelas memiliki keberanian yang tidak ia miliki sebelumnya. Meski ia belum tahu apa yang sedang Damar rencanakan. Tetapi ia percaya, apa yang direncanakan Damar bukanlah sesuatu yang buruk.     

****     

Axel berdiri di hadapan Pak Angga sambil tertunduk dan meremas-remas kedua telapak tangannya. Entah ada angin apa, anak magang seperti dirinya dipanggil ke ruang Direksi. Padahal ia tidak melakukan kesalahan apa pun selama diterima sebagai pegawai magang.     

"Jadi, kamu Axel? Benar?"     

Pertanyaan yang diajukan Pak Angga mengagetkan Axel dan membuatnya tergugup. "I, iya, Pak."     

Pak Angga membaca berkas yang berkaitan dengan Axel yang sedang ia pegang. Ia membaca laporan keributan yang terjadi ketika proses penerimaan karyawan magang. "Berani juga kamu, ya."     

Axel semakin meremas buku-buku jarinya. Mengapa Direksi di hadapannya membahas hal itu sekarang. Kemana pula Direksi yang berjanji untuk melindunginya. Pada saat seperti ini, ia tidak muncul dan membiarkannya sendiri.     

Pak Angga memperhatikan Axel yang gugup. "Kamu menunggu seseorang yang akan menolong kamu dari situasi ini?"     

Axel menatap mata Pak Angga yang sedang berkilat-kilat ke arahnya dan menggeleng cepat.     

"Bagus, sebaiknya kamu tidak usah menunggu dia. Karena dia baru saja mengundurkan diri," terang Pak Angga.     

"Shit," maki Axel di dalam hati. Lalu bagaimana dengan nasibnya di MG Group, jika orang itu sudah mundur dari jabatannya.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.