Bara

Morning Fog 1



Morning Fog 1

0Minggu pagi, Pak Angga sudah bersiap menuju salah satu kawasan bermain golf kesukaannya. Belakangan ini dirinya merasa sedikit tertekan dengan apa yang dilakukan oleh Bara. Dia tidak menyangka bahwa Bara akan benar-benar menjalankan apa yang diucapkannya sewaktu rapat Direksi. Kabar tentang audit besar-besaran yang dilakukan MG Group membuat orang-orang yang selama ini terlibat dengan Pak Angga mulai terlihat seperti cacing kepanasan. Mereka kerap kali merongrong Pak Angga dengan pertanyaan yang sama. Pertanyaan seputar bukti aliran dana yang diberikan Pak Angga kepada mereka untuk memudahkan berbagai proyek pribadi Pak Angga yang mengatasnamakan MG Group dan pendanaan untuk mereka yang maju dalam pemilihan umum.     

Ponsel Pak Angga berdering ketika dirinya sedang terdiam sambil menikmati pemandangan padang golf yang sebentar lagi ia masuki. Pak Angga menatap lama nama orang yang menelponnya sebelum memutuskan untuk menjawab telponnya.     

"Ya, ada apa?" tanya Pak Angga begitu mengangkat telponnya.     

"Kami sedang mengadakan pertemuan, dan kami harap, Bapak bisa ikut bergabung," sahut seseorang di sebrang sana.     

Pak Angga mendengus kesal. Belum cukup tekanan yang diberikan Bara, sudah bertambah lagi tekanan yang harus ia hadapi.     

"Para tikus keparat ini," batin Pak Angga. "Baiklah, saya akan segera kesana."     

"Putar balik mobilnya, Pak. Kita ke Menteng." Pak Angga memerintahkan supir pribadinya untuk mengarahkan kembali kendaraan yang sedang mereka naiki.     

Supir pribadi Pak Angga hanya mengangguk dan segera mengarahkan kendaraannya menuju kawasan Menteng.     

Pak Angga segera keluar dari dalam mobil begitu mobilnya berhenti di sebuah rumah megah yang berada di kawasan Menteng. Sudah ada beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah tersebut. Pak Angga berjalan menuju bagasi mobilnya. Ia memilah stik golf yang tadi hendak di gunakannya. Pak Angga kemudian memilih stik nomor delapan yang merupakan stik terberat yang ia bawa. Stik ini biasa ia gunakan di area berpasir. Kini ia membawa stik tersebut masuk ke dalam rumah mewah tersebut. Begitu masuk, Pak Angga segera mengayunkan tongkat golfnya ke meja bundar tempat orang-orang yang tadi memintanya datang sedang berkumpul. Sontak mereka mundur ketika stik golf yang diayunkan Pak Angga mendarat tepat di tengah meja tersebut.     

"Oh maaf, tadinya saya ingin bermain golf, tapi kalian meminta saya datang kemari." Pak Angga menarik kembali stik golfnya.     

Mereka semua menatap Pak Angga dengan tatapan tidak percaya.     

Pak Angga hanya membalas tatapan mereka dengan tersenyum. Ia kemudian segera duduk di salah satu kursi yang masih kosong.     

"Ada apa ini?" tanya seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari dalam ruangannya dan segera bergabung di meja bundar.     

Pria itu menatap satu per satu wajah yang sudah hadir. Dia lah yang telah mengundang mereka semua untuk hadir di kediamannya.     

Ia kemudian menatap lama Pak Angga yang terlihat tidak nyaman ada diantara mereka. "Lama tidak jumpa, Angga." Sapanya.     

Pak Angga menatap wajah tua tersebut sebentar sebelum kembali memalingkan wajahnya. Pria tua itu akhirnya mengambil tempat duduk di dekat Pak Angga.     

"Saya tidak menyangka kita akan berkumpul lagi seperti ini." Pria tua itu membuka pembicaraan.     

Para anggota yang hadir segera mengalihkan perhatian padanya. Semua yang hadir disana sangat sungkan padanya.     

Hanggono Abimana Suryadiredja. Ia merupakan salah seorang senior di dunia kemiliteran, pangkat terakhirnya adalah seorang Jendral bintang empat. Mereka yang berlatar belakang militer, pasti lah sangat menghormatinya. Jabatannya dalam pemerintahan juga tidak perlu diragukan lagi. Ia seperti sosok yang tidak mudah untuk disentuh dalam pemerintahan. Perkenalannya dengan Pak Angga terjadi sepuluh tahun silam. Ketika ia ingin mengusung salah seorang kerabatnya untuk maju dalam pemilihan Gubernur.     

"Kamu terlihat gelisah," ujarnya pada Pak Angga yang duduk di sebelahnya.     

Pak Angga diam tidak menjawab. Ia tahu, jika sampai Hanggono hadir dalam pertemuan mereka, itu tandanya ada masalah yang sedang mengusiknya. Hanggono tidak akan hadir jika mereka hanya membicarakan hal-hal kecil.     

"Saya dengar, pemilihan CEO baru di perusahaan kamu diundur, benar begitu?" tanyanya pada Pak Angga.     

Semua mata yang sedang berkumpul disana segera mengalihakan perhatiannya pada Pak Angga.     

"Ya, begitulah," jawab Pak Angga.     

"Kapan akan diadakan pemilihan lagi?" Hanggono kembali bertanya.     

"Setelah kondisi Mas Haryo membaik."     

"Bukannya Mas-mu itu masih koma?"     

"Ya, tapi dia sudah dipindahkan ke rumahnya."     

"Kalau begitu, belum ada kejelasan kapan akan diadakan pemilihan berikutnya, benar begitu?"     

Pak Angga menjawabnya dengan mengangguk.     

Hanggono mendekatkan wajahnya pada Pak Angga. "Kamu tahu kan, sebentar lagi kita membutuhkan banyak biaya untuk pemilihan?"     

"Kalau saja sepuluh tahun lalu, anak buahmu bisa menjalankan tugasnya dengan benar, saat ini saya sudah menguasai MG." Pak Angga menatap dalam-dalam mata Hanggono yang juga sedang menatapnya.     

"Jadi sekarang kamu mau menyalahkan saya atas apa yang terjadi di MG?" Hanggono balik bertanya pada Pak Angga.     

"Saya tidak menyalahkan kamu. Saya cuma mau menekankan bahwa kita ini sudah saling terikat. Kalau saya gagal menguasai MG itu juga bisa sangat merugikan kamu."     

"Bukannya MG juga sedang melakukan audit besar-besaran?" tanya salah seorang anggota pertemuan meja bundar tersebut.     

"Ya, berita itu benar. Audit itu dipimpin langsung oleh cucunya Mas Haryo," jawab Pak Angga tenang.     

"Maksud kamu, anaknya Mahesa yang tewas dalam kecelakaan itu?" tanya Hanggono.     

Pak Angga mengangguk sambil tersenyum licik. "Kalau dia sampai menemukan kemana aliran dana itu, sepertinya kalian harus siap-siap untuk memakai rompi orange," sindirnya.     

"Sejauh mana dia tahu?" Hanggono kembali bertanya.     

Pak Angga hanya mengangkat bahunya.     

"Kamu harus segera lakukan pemilihan CEO yang baru sebelum anak itu tahu lebih jauh lagi. Pastikan CEO yang baru memiliki cukup saham agar ia memiliki kekuatan dalam pengambilan keputusan," ujar Hanggono.     

"Saya tidak bisa menjamin kepemilikan saham bagi CEO baru. Saat ini, pemegang saham terbesar adalah cucu Mas Haryo. Saham gabungan peninggalan orang tuanya dan saham milik Mas Haryo sudah sangat menguatkan posisinya dalam perusahaan. Kecuali kalau kita mau menggabungkan saham milik kita semua. Meski selisihnya kecil, tapi itu sudah melebihi kepemilikan saham miliknya," terang Pak Angga.     

Semua anggota yang hadir dalam pertemuan itu langsung terdiam setelah mendengar penjelasan Pak Angga.     

"Bagaimana?" tanya Pak Angga memecah kesunyian.     

Hanggono melirik pada Pak Angga. Ia tampak ragu dengan apa yang dikatakan Pak Angga.     

"Lalu bagaimana dengan Damar? Bukannya dia menolak untuk dijadikan CEO?"     

"Urusan Damar, serahkan saja pada saya."     

"Baiklah, saya setuju dengan saran yang kamu berikan," ujar Hanggono.     

Pak Angga tersenyum dalam hati. Jika Hanggono sudah menyetujuinya, para anggota kelompok yang lain pun pasti akan menyetujuinya.     

"Kamu harus secepatnya melakukan pemilihan CEO baru," ujar Hanggono sambil menepuk bahu Pak Angga.     

"Kamu tunggu saja kabar selanjutnya," sahut Pak Angga.     

-----     

Selesai melakukan pertemuan meja bundar dengan Hanggono dan para anggotanya, Pak Angga memutuskan untuk kembali ke rumah dan membicarakan hasil pertemuannya dengan Pak Bima.     

Pak Bima terkejut dengan apa yang disampaikan Pak Angga.     

"Ada apa? Kenapa kamu terkejut begitu?" tanya Pak Angga yang keheranan dengan sikap Pak Bima.     

"Bukan begitu, masalahnya Damar sudah benar-benar menolak untuk dicalonkan sebagai CEO baru," ujar Pak Bima sedikit tergugup.     

"Kamu kan bisa membujuknya. Biasanya dia menuruti kata-kata kamu."     

"Kali ini berbeda."     

"Apa dia sudah berani melawan kamu sekarang?"     

Pak Bima menggeleng, "Saya yang membiarkan dia melakukan apa yang dia mau."     

"Termasuk membantu Bara?" Pak Angga mulai meninggikan nada suaranya.     

Bima hanya menunduk tidak menjawab.     

"Orang tua macam apa kamu, sampai tidak bisa mengatur anak kamu sendiri," bentak Pak Angga. "Kamu ini selalu lemah jika berkaitan dengan Damar."     

Pak Bima menatap Pak Angga. "Kenapa Papa tidak mencalonkan saya saja?"     

Pak Angga menatap Bima tidak percaya, "Saya mencalonkan kamu jadi CEO?"     

"Apa Papa masih tidak percaya dengan kemampuan saya?"     

"Ya," jawab Pak Angga yakin.     

Pak Bima mencelos mendengar jawaban singkat yang diberikan Pak Angga. "Apa yang harus saya lakukan agar Papa bisa percaya dengan kemampuan saya? Selama ini saya sudah setia mendampingi Papa."     

"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanya Pak Angga bersungguh-sungguh. "Bujuk Damar untuk mengisi posisi CEO," ungkapnya.     

"Kenapa Papa sangat menginginkan Damar mengisi posisi itu?"     

"Karena dia bukan bagian dari keluarga ini, dia bisa dengan mudah saya singkirkan jika dia membuat masalah," jawab Pak Angga ringan.     

"Apa maksud Papa?"     

"Jangan kamu pikir saya tidak tahu kalau Damar itu bukan darah daging kamu," Pak Angga menatap Pak Bima dalam-dalam.     

Pak Bima terdiam. Sejak kapan Papanya tahu bahwa Damar bukanlah anak kandungnya.     

"Kamu kaget bagaimana saya bisa tahu? Saya tahu ketika Damar mengalami kecelakaan motor saat SMA. Grace kebingungan saat itu, karena di dalam keluarga kita tidak ada yang memiliki golongan darah yang sama dengan Damar. Saya curiga dan akhirnya grace menceritakan tentang Damar pada saya."     

Pak Bima tidak bisa berkata apa-apa mendengar penjelasan yang diberikan Pak Angga. Saat itu dirinya sedang bertugas di luar negeri, Grace hanya memberitahunya bahwa Damar mengalami kecelakaan.     

"Bagi saya, Damar adalah putra saya. Jika Papa berani mengusik Damar, saya tidak akan tinggal diam." Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Pak Bima.     

"Kamu tidak perlu mengancam saya. Kamu cukup bujuk Damar, kalau kamu berhasil membujuknya saya janji, saya tidak akan mengusik Damar," ujar Pak Angga.     

Pak Bima tidak habis pikir dengan sikap Pak Angga yang mudah sekali berubah. Tadi dengan mudahnya ia mengatakan bahwa Damar bisa dengan mudah ia singkirkan. Sekarang ia berjanji tidak akan mengusik Damar jika dirinya berhasil membujuk Damar untuk menduduki posisi CEO.     

"Apa jaminan yang bisa Papa berikan agar saya bisa percaya kalau Papa tidak akan mengusik Damar?"     

"Saya akan memberikan seluruh saham milik saya untuk kamu, saya percaya kamu mampu mengelolanya bersama Damar."     

Sekali lagi Pak Bima terdiam dengan apa yang dikatakan Pak Angga. Dia penasaran apakah Pak Angga masih menyimpan maksud tersembunyi dibalik perkataannya barusan. Menyerahkan seluruh saham miliknya pada Pak Bima jelas bukanlah sikap yang biasa diambil oleh Pak Angga.     

"Baiklah, saya akan bujuk Damar untuk menempati posisi CEO," ujar Pak Bima.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.