Bara

Unveil 10



Unveil 10

0Pagi-pagi Bara sudah pergi meninggalkan kediaman Pak Haryo. Tujuannya kali ini bukanlah pergi ke kantor melainkan pergi ke selatan Jakarta untuk menemui orang yang pernah memasang penyadap di ponselnya. Untuk hari ini, alih-alih didampingi oleh Pak Agus, Bara meminta Arga yang pergi untuk menemaninya.     

Sepanjang jalan, Arga tampak terdiam sambil mengendarai mobil yang mereka naiki.     

"Lu kenapa diam aja?" Tanya Bara.     

Arga menoleh kaget pada Bara. "Hah? Apa?"     

"Lu kenapa diam aja?" Bara kembali bertanya.     

"Oh," sahut Arga. Ia kemudian kembali terdiam.     

Bara berdecak heran melihat reaksi Arga. Ia lalu ikut terdiam dan mengalihkan perhatiannya pada jalanan.     

Ketika Bara memilih untuk ikut diam, Arga justru memulai pembicaraan. "Semalam itu suara tembakannya Pak Haryo?"     

Bara menoleh pada Arga. "Jadi, lu daritadi diam mikirin itu?"     

Arga mengangguk.     

"Iya, itu tembakannya Eyang," jawab Bara tenang.     

"Bang Ojal tadi pagi gue lihat udah ngga ada. Dia kemana?"     

"Dia pulang ke tempatnya."     

"Beneran pulang ke tempatnya atau ke tempat yang lain?" tanya Arga penasaran.     

Bara mengerti maksud pertanyaan Arga. "Jadi, lu pikir suara tembakan itu, Eyang nembak Bang Ojal?"     

Arga meringis ngeri. Ia lalu mengangguk.     

Bara berdeham pelan. "Kalau pun Eyang benar-benar niat mau nembak Bang Ojal, dia ngga bakal biarin suara tembakannya menggelegar begitu."     

"Jadi maksud lu?"     

"Bang Ojal masih sehat wal afiat."     

Arga menghela napas lega. "Gue udah takut semalem."     

Bara tertawa mendengar pengakuan Arga. "Lu takut sama Eyang atau sama tembakannya?"     

"Dua-duanya," jawab Arga cepat. "Kalian semua serem kalau udah ngamuk."     

Bara kembali dibuat tertawa dengan pengakuan Arga.     

"Ngomong-ngomong kita ngga ke kantor?" Arga menyadari tujuan mereka yang jauh dari kantor.     

"Ngga, ada kerjaan yang lain. Kerjaan gue hari ini sudah dipegang Kimmy."     

"Kerjaan apa?"     

"Nanti juga lu tahu," sahut Bara.     

-----     

Seorang pria muda duduk sendiri di dalam sebuah kedai kopi yang kental dengan nuansa industrialis. Pesan yang ia terima pagi tadi, sesungguhnya bukan pesan yang ia harapkan. Kalau bukan karena perjanjian yang sudah ia tanda tangani, ia tidak akan sudi bertatap muka lagi dengan pemuda yang hampir membuatnya masuk penjara.     

Berulang kali ia mendengus kesal menunggu kedatangan pemuda tersebut. Sampai ia melihat sebuah mobil Jeep Wrangler hitam memasuki halaman parkir kedai kopi yang tidak terlalu luas. Badan mobil Jeep itu terlihat sangat menguasai lahan parkir. Pemuda yang sedang ia tunggu pun turun dari mobil Jeep tersebut.     

Bara menatap pada pemuda yang sedang menunggunya di dalam kedai kopi. Pemuda itu duduk di pinggir jendela. Mata mereka saling bertemu. Bara tahu pemuda itu tidak senang kembali berhadapan dengan Bara.     

"Ayo, Ga." Bara mengajak Arga untuk ikut masuk ke dalam kedai kopi tersebut.     

Bara berjalan masuk ke dalam kedai kopi dan Arga mengikuti di belakangnya. Pemuda di dalam kedai kopi menatap sinis pada keduanya. Begitu masuk ke dalam kedai, Bara segera menghampiri tempat duduk pemuda tersebut sementara Arga pergi memesankan minuman.     

"Udah lama?" tanya Bara pada pemuda tersebut.     

"Ngga usah basa-basi, ada apa?"     

Bara tersenyum menghadapi respon pemuda tersebut yang tampak tidak senang dengan pertemuan mereka. "Setelah pertemuan ini kita bakal sering ketemu, paling ngga lu harus pura-pura kalau kita ini berteman."     

Pemuda itu berdecak. "Gimana gue bisa pura-pura berteman sama orang yang udah mau masukin gue ke dalam penjara."     

"Lu lupa, kalau lu hampir masuk penjara gara-gara ulah lu sendiri?"     

Pemuda itu melirik sinis pada Bara. Ia tidak bisa melawan kata-kata yang baru saja diucapkan Bara. Dengan kesal ia menyesap es kopi miliknya. Setelah menyesap kopinya ia mencoba untuk tersenyum ramah pada Bara. "Jadi, apa yang bisa gue bantu?"     

"Gue butuh keahlian lu."     

"Keahlian gue yang mana?"     

"Keahlian yang pernah lu pakai ke gue."     

"Siapa targetnya?"     

Bara mencondongkan tubuhnya. Ia memberi isyarat pada pemuda itu untuk mendekat padanya. Pemuda itu menurut dan ikut mencondongkan tubuhnya.     

"Hanggono," bisik Bara.     

Pemuda itu menarik tubuhnya dan menatap Bara tidak percaya. "Maksud lu Hanggono yang 'itu' atau Hanggono yang lain?"     

"Hanggono yang 'itu'," jawab Bara.     

"Ah, gila," seru pemuda tersebut. "Ngga mungkin, lah, gue bisa mendekat ke dia."     

"Soal itu lu tenang aja. Tapi kali ini, gue mau lu kerahin semua kemampuan lu. Soal biaya dan alat-alat yang lu butuhin, lu tinggal bilang aja."     

Pemuda itu menyeringai pada Bara. "Kayanya ini mulai terdengar seperti kita lagi berbisnis. Kalau berbisnis, gue pasti bakal kerahin semua kemampuan gue."     

"Terserah lu nyebutnya gimana. Yang jelas gue butuh semua kemampuan dan sumber daya lu."     

"No problem, selama ada cuannya," sahut pemuda itu cuek.     

"Itu bukan masalah," timpal Bara.     

Pemuda itu kembali menyeringai pada Bara. "Gue suka, nih, kalau berbisnis sama golongan orang-orang yang sumber dananya ngga terbatas. Gue jadi bebas berkreasi." Pemuda itu kemudian menyodorkan tangannya pada Bara.     

Bara menyambut jabat tangan pemuda tersebut.     

"Sekarang gue bener-bener bisa ramah sama lu," ujarnya seraya menjabat tangan Bara.     

Bara balas tersenyum.     

"Kayanya gue kelewatan sesuatu," seru Arga ketika ia menghampiri Bara yang sedang berjabat tangan dengan pemuda yang ia temui. Arga kemudian duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Bara seraya memberikan minuman pesanan Bara.     

Bara dan pemuda di hadapannya segera melepaskan jabat tangan mereka. "Oh iya, Ga. Kenalin, ini Reno."     

Arga segera mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Reno. Namun, Reno tidak segera menyambut jabat tangan Arga. Ia memperhatikan Arga dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setiap detail penampilan Arga ia perhatikan seperti mesin scan yang sedang melakukan proses screening.     

"Dia jongos lu?" tanya Reno pada Bara tanpa mempedulikan tangan Arga yang mengajaknya untuk berjabat tangan.     

Bara menatap sinis pada Reno. "Jaga omongan lu."     

Melihat Bara yang tiba-tiba bersikap sinis, Reno segera menjabat tangan Arga. "Reno."     

"Arga," sahut Arga pelan. Ia sedikit kesal dengan sikap yang baru saja Reno tunjukkan padanya.     

"Nanti Arga yang akan urus semua yang lu butuhin. Dia juga yang bakal ngawasin kerjaan lu," ujar Bara.     

"Jadi, gue ngga langsung ngelapor sama lu?" tanya Reno.     

Bara menggeleng. "Lu ngelapor ke Arga. Gue ajak dia kesini sekalian buat ngenalin kalian berdua. Kedepannya lu bakal sering ketemu dia, bukan gue."     

Arga sedikit melongo mendengar apa yang baru saja Bara ucapkan. Selama di mobil, Bara tidak menceritakan tentang rencananya.     

"Dia ini orang kepercayaan gue," ujar Bara sambil menepuk-nepuk bahu Arga.     

"Oke, gue paham," timpal Reno.     

"Bagus kalau lu paham," sahut Bara.     

Reno kemudian mengalihkan perhatiannya pada Arga yang terlihat lebih banyak diam. "Sorry tadi gue agak ngga sopan. Udah kebiasaan soalnya."     

Arga menanggapinya dengan tersenyum. "Biasanya kebiasaan memang susah diubah. Gue ngga ambil hati, kok. Tapi, rasa-rasanya gue pernah liat lu, deh, tapi di mana ya?"     

"Dulu gue sering jemput pacar gue di MG," jawab Reno.     

Arga terkesiap dengan jawaban yang diberikan Reno. "Pacar lu orang MG? Siapa? Kali aja gue kenal sama dia."     

"Mantan, sih, lebih tepatnya. Namanya Raya," aku Reno seraya melirik pada Bara.     

"Oh, Mbak Raya. Kalau dia, sih, gue juga kenal," timpal Arga.     

"Pasti, lah, lu kenal sama dia. Kan, lu orang kepercayaan dia." Reno kembali mengalihkan perhatiannya pada Bara.     

Arga sedikit terheran-heran dengan tatapan yang diberikan Reno pada Bara. Ia lalu menoleh pada Bara. Arga hendak membuka mulutnya untuk bertanya pada Bara sebelum akhirnya ia teringat bahwa Bara pernah bekerja sebagai Office Boy di MG Group. "Jakarta memang sempit, ya."     

Reno tertawa mendengar ucapan Arga. "Sempit banget, rasanya gue cuma muter di situ-situ aja."     

"Kalian cepat akrab juga," sela Bara.     

"Harus, dong. Kan, nanti gue harus sering berhubungan sama dia. Ya, kan, Ga?" sahut Reno.     

Bara berdecak pelan. Ia yakin perubahan sikap Reno bukan tanpa alasan. "Nah, berhubung urusan kita sudah selesai. Gue mau pamit duluan. Masih ada yang harus gue urus." Bara bangkit berdiri dari kursinya.     

"Gua harus hubungin kemana nanti?" tanya Reno. Tiba-tiba ponsel Reno bergetar. Sebuah panggilan masuk dari nomor tidak dikenal masuk ke ponselnya.     

"Itu nomor gue. Lu bisa hubungin gue di nomor itu," seru Arga.     

"Oh, oke." Reno segera menyimpan nomor ponsel Arga. "Nanti gue hubungin setelah gue list alat-alat yang gue butuhin."     

"Sipp," sahut Arga sambil mengacungkan jempolnya.     

"Kalau gitu, kita duluan," seru Bara.     

Reno mengangguk seraya memasang senyuman termanisnya untuk Bara dan Arga. Keduanya kompak mengangguk kemudian berjalan pergi meninggalkan Reno. Saat akan melewati pintu keluar kedai, Arga kembali menoleh pada Reno.     

"Lu kenal dia di mana?" bisik Arga pada Bara.     

"Panjang ceritanya," jawab Bara singkat.     

Reno memandangi Bara dan Arga yang pergi meninggalkan kedai. Ia mengangkat gelas berisi es kopinya begitu Bara kembali menoleh padanya ketika hendak masuk ke dalam mobilnya. Bara membalasnya dengan anggukan pelan lalu masuk ke dalam mobilnya.     

"Semoga dia bisa dipercaya," gumam Bara pelan.     

----     

Arga melirik pada Bara yang sedang fokus pada ponselnya. "Bar."     

"Hmm," sahut Bara tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.     

Arga sedikit ragu untuk bertanya karena Bara terlihat sedang serius mengetikkan sesuatu. Pada akhirnya Arga memutuskan untuk tetap bertanya. "Yang lu omongin tadi sama Reno, kenapa dia harus laporan sama gue? Kenapa bukan ke Pak Agus aja?"     

Bara mengalihkan perhatian dari ponselnya dan menatap Arga. "Yang nanti jadi tangan kanan gue, lu atau Pak Agus?"     

Pertanyaan Bara terdengar sangat sederhana namun bagi Arga bagaikan sebuah sengatan listrik. "Lu beneran mau jadiin gue sebagai tangan kanan lu?"     

"Ya beneran, lah. Makanya gue ngajak lu, biar lu itu mulai belajar."     

Arga menelan ludahnya. Ternyata apa yang diucapkan Bara malam itu bukan isapan jempol semata. Bara benar-benar menginginkan Arga untuk menjadi tangan kanannya. "Lu yakin, gue sanggup bekerja seperti Pak Agus?"     

"Semua perlu proses, Ga. Kemampuan yang dimiliki Pak Agus juga bukan hasil belajar satu malam. Tapi hasil pengalaman bertahun-tahun dia mendampingi Eyang. Pertanyaan gue, lu sanggup apa ngga?"     

Arga terdiam sejenak.     

"Gue percaya, kok, sama kemampuan lu," ujar Bara ketika melihat Arga yang terdiam.     

Arga menatap Bara. "Kalau lu udah percaya sama gue, masa gue harus menyia-nyiakan kepercayaan dari lu," ujar Arga yakin.     

"Bagus, kalau begitu. Selagi lu masih menjaga Eyang, lu jangan sungkan untuk bertanya sama Eyang. Dia pasti mau ngajarin lu."     

"Apa gue perlu punya lisensi menembak juga?" tanya Arga.     

"Kalau lu merasa perlu, kenapa ngga?" sahut Bara ringan.     

Arga menganggukkan kepalanya. Bara tersenyum padanya dan kembali beralih pada ponselnya. Sementara Arga kembali fokus pada jalanan yang ada di hadapannya. Tidak pernah terlintas di benaknya ia bisa menjadi tangan kanan salah satu anggota keluarga berpengaruh di Indonesia. Ini kesempatan langka baginya. Dengan menjadi tangan kanan Bara, ia bisa merubah hidupnya bahkan hidup keluarganya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan Bara padanya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.