Bara

Unveil 2



Unveil 2

0Arga pergi menemui Pak Agus di ruang kerja Pak Haryo. Ia mengetuk pelan pintu ruang kerja tersebut. Lalu masuk ke dalamnya. Pak Agus sudah duduk di sofa yang ada di sana dan sedang menunggunya. Arga berjalan menghampiri Pak Agus dan duduk di sofa lain yang masih kosong.     

"Tadi itu hampir ketahuan, Pak," aku Arga.     

Pak Agus tersenyum mafhum. "Terima kasih, kamu sudah ikut menjaga rahasia ini."     

"Saya sampai lari dari belakang. Tapi, ternyata ngga terjadi apa-apa."     

"Tadi juga nyaris ketahuan. Kalau saja Bara tidak terbatuk di depan pintu, mungkin dia akan menemukan Bapak yang sedang mengobrol dengan saya."     

"Terus berapa lama lagi kita harus menyembunyikan ini dari Bara, Pak?"     

"Itu semua tergantung Pak Haryo. Dia juga, kan, yang merencanakan ini semua. Kita hanya tunggu instruksi dari dia."     

Arga terdiam mendengarkan penjelasan Pak Agus. "Saya cuma takut Bara nanti sakit hati karena kita semua bekerjasama untuk membohonginya. Padahal kita tahu, dia sangat khawatir dengan keadaan Pak Haryo."     

Pak Agus menghela napasnya. "Ya, mau bagaimana lagi. Eyangnya sendiri yang mau seperti ini. Dia ingin memberikan kebebasan pada Bara."     

"Kenapa bukan Pak Haryo saja yang melakukan itu, Pak?" Arga mulai penasaran dengan alasan Pak Haryo yang bersikap seolah ia tidak mengetahui kejahatan yang sudah dilakukan oleh adiknya.     

Sekali lagi Pak Agus menghela napasnya. "Itu semua karena kejadian di masa lalu yang membuat Pak Haryo merasa sangat bersalah dengan adiknya. Jadi, dia membiarkan adiknya untuk melakukan apa pun yang dia mau."     

"Dan sekarang Pak Haryo menggunakan Bara untuk menyerang balik Pak Angga tanpa mengotori tangannya sendiri?" sela Arga.     

"Bara punya cukup alasan untuk melakukan itu. Pak Angga yang sudah membuat kedua orang tuanya meninggal dunia. Dia juga yang jadi penyebab Bara menjalani kehidupan yang tidak seharusnya."     

"Tapi, bukannya perbuatan Pak Haryo itu jadi terdengar lebih jahat, Pak?"     

"Kita tidak berhak untuk menilai suatu perbuatan itu baik atau jahat. Karena tidak ada yang benar-benar baik atau benar-benar jahat di dunia ini. Semua hanyalah area abu-abu bergantung dari sudut mana kita memandangnya."     

"Lantas dari sudut mana Bapak memandangnya?"     

"Saya sudah lama mengikuti perjalanan dua kakak beradik itu. Keduanya sama-sama menyimpan luka hati masing-masing. Bedanya, Haryo perlahan mampu menyembuhkan lukanya, sementara Angga malah menjadikan luka hatinya sebagai bahan bakar untuk ambisinya. Orang seperti itu tidak akan pernah bisa menang dalam pertempuran apa pun. Dan, saya hanya mengikuti pemenang."     

Arga berdecak pelan mendengar kata-kata Pak Agus. "Kayanya Bapak punya bakat buat jadi penulis."     

Pak Agus tertawa pelan mendengar pernyataan Arga. "Lalu, kamu sendiri ada di pihak mana?"     

Arga terdiam dan memikirkan jawabannya. "Apa saya harus ada di pihak pemenang juga?"     

Pak Agus mengangkat bahunya. "Itu terserah kamu. Asal kamu tahu saja, mempunyai ambisi berlebihan itu tidak baik. Apalagi kalau ambisi itu dilandasi oleh kebencian."     

"Apa ambisi Bapak?"     

"Jujur saja, saya tidak pernah mempunyai ambisi apapun. Selama hidup saya terjamin, saya rasa itu sudah cukup."     

"Bapak ngga pernah punya ambisi?" tanya Arga tidak percaya.     

Pak Agus menggeleng. "Saya bisa saja menjadi CEO MG Group, berulang kali Haryo menawari posisi itu untuk saya. Tapi saya lebih nyaman bekerja sebagai tangan kanan Haryo."     

"Lantas kenapa sekarang Bapak memegang jabatan di kantor?"     

"Haryo berjanji, saya tidak akan lama menduduki posisi itu. Ada satu lagi alasan kenapa saya mau menduduki posisi itu." Pak Agus melirik Arga untuk memancing rasa penasaran Arga.     

"Apa lagi alasannya, Pak?"     

Pak Agus tersenyum lebar. "Haryo setuju menaikkan gaji saya."     

"Yeee, mata duitan juga si Bapak."     

"Loh, memang ada yang salah, kalau saya minta kenaikan gaji? Saya cuma menjadi orang yang realistis."     

"Ya, ngga salah juga, Pak."     

Pak Agus terkekeh. "Kamu mau naik gaji juga?"     

Arga seketika mencondongkan tubuhnya. "Bisa, Pak?"     

Pak Agus langsung menyentil kening Arga. "Kamu juga mata duitan."     

"Sakit, Pak," ujar Arga sambil menggosok-gosok keningnya.     

"Kerja dulu yang benar, baru nanti saya naikkan gaji kamu."     

"Bapak mau saya kerja apa lagi? Saya sampe bosen tiap hari ke pemancingan. Belum lagi kalo Bapak tiba-tiba minta dia yang bawa motor. Jantungan terus saya, Pak, kalo Bapak yang bawa motor."     

"Asal kamu tahu, Haryo memang tidak mahir mengendarai motor."     

Arga melongo. "Besok-besok saya ngga bakal kasih Bapak buat bawa motor. Nyawa saya cuma satu. Mana masih jomblo."     

"Kenapa kamu ngga pacaran sama salah satu penghuni pemancingan?" Tanya Pak Agus yang diiringi dengan derai tawa.     

Arga mendelik kesal pada Pak Agus. "Terus aja, godain saya. Saya kasih tahu Bara, nih."     

"Saya potong gaji kamu sembilan puluh persen," timpal Pak Agus cepat.     

Sontak Arga kembali berubah sikap. Ia cengar-cengir menatap Pak Agus. "Ngga, Pak." Arga kemudian membuat gerakan seolah ia sedang mengunci mulutnya sendiri.     

----     

Bara menguap lebar sambil membalik halaman buku 'Study In Scarlet' yang sedang ia bacakan untuk Pak Haryo. Bara melirik jam tangannya. Sudah hampir tengah malam. Bara kemudian menutup bukunya dan merebahkan kepalanya di samping lengan Pak Haryo. Bara kemudian memejamkan matanya.     

Pak Haryo membuka sedikit matanya untuk memastikan apakah Bara sudah tertidur atau belum. Bara sudah memejamkan matanya dalam posisi terduduk. Pak Haryo kemudian membuka kedua matanya. Satu tangannya yang berada di dekat kepala Bara, membelai lembut kepala Bara.     

"Kenapa kamu malah tidur disini," batin Pak Haryo.     

Tiba-tiba saja kepala Bara bergerak. Pak Haryo kembali menarik tangannya dan memejamkan matanya. Namun ternyata gerakan yang Bara timbulkan hanya untuk merubah posisi kepalanya. Mata Bara tetap terpejam. Pak Haryo menunggu beberapa saat untuk memastikan bahwa Bara sudah benar-benar tertidur.     

"Hampir saja," gumam Pak Haryo pelan setelah ia melihat Bara sudah tidak lagi bergerak seperti tadi.     

Pak Haryo kembali meletakkan tangannya di kepala Bara dan ia mulai membelai kepala Bara yang sudah tertidur pulas. Pak Haryo membelainya sekaligus memainkan rambut Bara. "Rambut kamu sudah mulai panjang."     

Yang tidak diketahui Pak Haryo adalah dibalik tidur Bara yang nampak tenang, sesungguhnya mimpi buruk yang biasa menghantui Bara mulai datang menghampirinya. Bara mulai tenggelam ke dalam mimpi buruknya.     

Bara kembali mengubah posisi kepalanya. Kini Pak Haryo bisa dengan jelas melihat wajah Bara yang mulai tidak tenang. Bulir-bulir keringat mulai membasahi kening Bara. Napas Bara mulai terengah-engah. Ekspresinya berubah seperti orang ketakutan. Pak Haryo terduduk dan mulai mengguncang bahu Bara untuk membangunkannya.     

"Bara, bangun, Bara."     

Bara tetap memajamkan matanya. Pak Haryo semakin mengguncang keras tubuh Bara. Tetapi Bara tetap tidak bergeming. Matanya tetap terpejam. Saat Pak Haryo hendak kembali menepuk bahu Bara, tiba-tiba Bara terbangun. Dalam sekejap Pak Haryo menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan berpura-pura memejamkan matanya.     

Bara terengah-engah dan memperhatikan sekitarnya. Ia memijat-mijat kepalanya. Ia kemudian memandang Pak Haryo yang masih memejamkan matanya. Bara meremas kepalanya sendiri sambil berusaha mengatur napasnya. Kepalanya terasa luar biasa pening. Bara juga merasakan sesuatu yang mengalir keluar dari hidungnya dan ia segera menyeka cairan yang keluar hidungnya.     

Bara terkejut begitu melihat cairan kemerahan yang keluar dari hidungnya. Ia serta merta mendongakkan kepalanya untuk mencegah darahnya mengotori tempat tidur Pak Haryo. Cepat-cepat Bara bangkit dari tempat duduknya untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyumbat hidungnya. Baru sebentar ia berdiri, kepalanya terasa berkunang-kunang karena ia bangkit secara tiba-tiba. Ia berpegangan pada ranjang Pak Haryo untuk menjaga keseimbangannya. Seluruh ruang kamar Pak seakan mengitarinya. Bara jatuh bersimpuh di samping tempat tidur Pak Haryo.     

Pak Haryo segera turun dari ranjangnya dan menghampiri Bara. Ia meraih tubuh Bara dan membaliknya. "Bara!"     

Bara berusaha membuka matanya setelah ia mendengar suara Pak Haryo yang memanggil namanya. Saat itu ia seolah melihat bayangan Pak Haryo di depannya. Pak Haryo memanggil-manggil namanya.     

"Eyang," gumam Bara pelan. Bara tidak dapat mempertahankan kesadarannya. Kegelapan begitu pekat menyelimutinya dan ia pun terkulai di pangkuan Pak Haryo.     

----     

"Arga, cepat kamu ke kamar Bapak," seru Pak Agus setelah mendapat panggilan dari Pak Haryo.     

"Memang ada apa, Pak?"     

"Cepat ke sana, nanti kamu juga tahu," perintah Pak Agus. Melihat wajah Pak Agus yang terlihat panik, Arga menduga ada sesuatu yang tidak beres. Ia pun segera melangkah cepat meninggalkan ruang kerja Pak Haryo dan menuju kamar Pak Haryo. Sementara Pak Agus berusaha untuk menghubungi Dokter pribadi Pak Haryo.     

Begitu tiba di kamar Pak Haryo, Arga dikejutkan dengan pemandangan yang ada ada di depan matanya. Bara terkulai di pangkuan Pak Haryo. Wajahnya sangat pucat dan ada noda darah pada hidung dan tangannya. "Bara kenapa, Pak?"     

Pak Haryo menggeleng. "Bantu saya pindahkan dia."     

Arga segera mengangguk dan berusaha membantu Pak Haryo untuk mengangkat tubuh Bara. "Kayanya kalau kita berdua ngga bakal kuat, Pak. Saya turun dulu panggil security."     

"Sebelum kamu turun, ambilkan tissue yang ada di sana." Pak Haryo menunjuk pada meja kopi yang ada di seberang tempat tidurnya.     

Arga segera menurut dan secepat kilat mengambil kotak tissue tersebut dan menyerahkannya pada Pak Haryo. Setelah itu ia berlari keluar dari kamar Pak Haryo. Sementara Pak Haryo segera membersihkan darah yang keluar dari hidung Bara.     

Arga berlari kembali menuju ruang bawah. Namun, ketika ia sampai di pintu depan, ia berpapasan dengan dua orang petugas keamanan yang tampak tergesa-gesa memasuki kediaman Pak Haryo.     

"Kalian berdua, cepat."     

Arga menoleh. Pak Agus sudah berdiri di belakangnya dan menyuruh kedua orang petugas keamanan itu untuk bergegas. Arga kembali berbalik arah mengikuti kedua orang petugas keamanan tersebut.     

"Ngapain kamu repot-repot lari kebawah? Kamu bisa langsung telpon mereka," ujar Pak Agus ketika Arga sampai di hadapannya.     

Arga tersenyum malu mendengar ucapan Pak Agus. "Panik, Pak."     

"Lain kali, meskipun kamu panik, kamu harus berusaha tetap gunakan otak kamu."     

"Iya, Pak."     

"Ya sudah, kamu duluan."     

Arga mengangguk dan segera berjalan mendahului Pak Agus untuk kembali ke kamar Pak Haryo. Begitu tiba di kamar Pak Haryo, Arga ikut membantu dua orang petugas keamanan untuk menaikkan tubuh Bara ke aras ranjang.     

"Kamu sudah telpon Seno?" tanya Pak Haryo ketika Pak Agus muncul di kamarnya.     

"Sudah, dia sedang dalam perjalan kemari."     

"Dia naik apa?"     

"Tenang saja, dia akan cepat sampai di sini. Saya sudah perintahkan dia berangkat dari rumah sakit. Pilot sudah menunggu di sana."     

Pak Haryo manggut-manggut mendengar penjelasan Pak Agus. "Baguslah."Pak Haryo mengalihkan perhatiannya pada Bara yang kini sudah terbaring di kasurnya. "Sepertinya, kita tidak bisa mempertahankan kebohongan kita sama Bara."     

Pak Agus menatap Pak Haryo dengan tatapan penuh tanya.     

"Dia pasti akan bertanya-tanya begitu dia bangun." Pak Haryo menatap ke arah ranjangnya.     

Pak Agus tidak banyak bicara. Ia paham apa maksud tatapan Pak Haryo. Setelah sadar, Bara pasti bertanya-tanya bagaimana dia bisa ada di ranjang Pak Haryo.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.