Bara

Take a Chance 1



Take a Chance 1

0Keesokan harinya, Bara sudah diizinkan untuk keluar dari rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan terakhir, Dokter memberinya izin untuk pulang. Namun, ia masih belum diizinkan untuk terlalu banyak berkegiatan dan harus beristirahat selama beberapa hari.     

Rania dengan penuh sukacita menjemput Bara pulang dari rumah sakit. Maya minta maaf tidak bisa ikut menjemput karena ia sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan. Meskipun sebenarnya ia sangat ingin ikut menjemput Bara, tetapi dirinya harus tetap profesional dalam pekerjaannya.     

"Sudah siap?" Tanya Pak Agus yang datang menjemput Bara di kamarnya.     

Bara sedang berbicara di telpon dengan Maya ketika Pak Agus masuk ke dalam kamarnya. Ia segera menganggukkan kepalanya. Pak Agus kembali berjalan keluar dari kamar Bara. Di susul dengan Rania yang mengalungkan lengannya di lengan Bara dan berjalan bersama keluar dari ruang rawat tersebut.     

Sesuai janjinya pada Pak Haryo, Pak Agus segera membawa Bara dan Rania pulang ke kediaman Pak Haryo.     

"Sudah, tadi Dokter sudah bilang kamu jangan terlalu capek dulu," ujar Rania ketika melihat Bara yang terus sibuk dengan ponselnya.     

"Ini cuma ngecek email," dalih Bara.     

Pak Agus yang duduk di kursi penumpang hanya tersenyum pelan mendengar percakapan Rania dan Bara di bangku belakang.     

"Memang dia seperti itu, awal-awal dia menggantikan eyangnya, dia sampai sakit gara-gara lembur setiap hari," ujar Pak Agus dari bangku depan.     

Mendengar ucapan Pak Agus, Rania segera meraih ponsel yang sedang dipegang Bara. "Kerja keras boleh, tapi kalau waktunya kamu harus istirahat, kamu harus istirahat."     

"Ma," protes Bara pada Rania. "Satu, lagi. Aku lagi balas email penting." Bara mencoba meraih kembali ponselnya.     

Rania tetap tidak memberikan ponsel milik Bara.     

"Please, tinggal satu lagi yang harus aku balas," pinta Bara.     

Rania menatap Bara yang setengah memohon padanya. "Satu, ya. Kalau Mama lihat kamu masih ngurusin kerjaan, Mama ambil beneran HP kamu."     

"Iya," sahut Bara sambil mengangguk.     

Rania kemudian memberikan kembali ponsel milik Bara.     

"Thank you," ujar Bara sembari menerima ponsel miliknya.     

Rania memperhatikan Bara yang seketika berubah serius setelah kembali memegang ponselnya.     

Pak Agus berdecak pelan. "Akhirnya tugas saya sedikit ringan. Saya ngga perlu lagi repot-repot buat ngingetin kamu lagi. Mamamu jauh lebih galak daripada saya."     

Bara memandangi Pak Agus yang duduk di depannya dengan sedikit kesal.     

"Sudah belum?" sela Rania.     

Bara kembali mengalihkan perhatian pada ponselnya. "Sebentar lagi." Setelah selesai mengirimkan balasan email, Bara segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. "Udah, kan."     

"Nah, begitu," sahut Rania.     

Bara menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Sambil memandangi jalanan yang ada di luar, Bara tersenyum. Rasanya ada yang berbeda dengan perjalanan pulangnya kali ini.     

"Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" tanya Rania.     

Bara lalu mengalihkan perhatiannya pada Rania. "Mama pasti awet muda karena ngga pernah ngomelin aku, mulai sekarang siap-siap aja wajah Mama bakal mulai keriput," goda Bara.     

Rania mendengus setelah mendengar kata-kata yang baru Bara utarakan. "Kamu juga udah lama, kan, ngga Mama cubit." Rania serta merta mencubit lengan Bara.     

"Ih, sakit, Ma," protes Bara.     

Pak Agus tertawa dari kursi depan. "Kamu latihan bela diri ditendang, dipukul ngga ngeluh. Baru dicubit mamamu sedikit langsung ngeluh sakit."     

"Itu beda, Pak. Kalau lawannya Mama, saya ngga bisa ngelawan balik," sahut Bara.     

"Coba saja kamu lawan balik Mama," tantang Rania.     

Bara memanyunkan bibirnya. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum lebar dan sedikit beranjak dari tempat duduknya untuk memeluk Rania.     

"Aku masih ngga nyangka kita bisa ketemu lagi. Sewaktu dulu menunggu Mama di pinggir jembatan, waktu rasanya berjalan lambat. Aku pikir aku ngga bakal ketemu Mama lagi. Aku bahkan sampai ngga ingat Mama sama sekali."     

Rania melepaskan pelukannya dan memegang wajah Bara. "Tanpa kamu sadari, kamu menuruti apa yang Mama katakan waktu itu. Kamu benar-benar melupakan semuanya dan pergi. Ucapan Mama waktu itu juga terbukti, eyangmu berhasil menemukan kamu kembali."     

"Kadang takdir memang lucu, ya," sela Pak Agus. "Mungkin benar apa yang dikatakan orang. Saat hujan, pintu langit sedang terbuka. Jadi, pada saat itu langit mendengarkan apa yang kamu katakan dan membuatnya jadi kenyataan."     

"Ya, pada saat itu hujan cukup deras," timpal Rania.     

"Mulai sekarang kita ngga akan berpisah lagi. Aku ngga bakal biarin mereka tertawa untuk kedua kalinya," ujar Bara.     

"I know you can do it," ucap Rania yakin.     

----     

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya tiba di kediaman Pak Haryo. Rania terkejut begitu melihat Pak Haryo dalam keadaan segar bugar sedang menanti kedatangan mereka di pelataran rumahnya.     

"Bapak?" Rania berseru tidak percaya melihat Pak Haryo. "Bukannya kabar yang beredar, Bapak sedang koma."     

"Eyang cuma pura-pura," celetuk Bara.     

"Pura-pura?" Rania bertanya keheranan.     

"Ya, panjang ceritanya," jawab Pak Haryo.     

Pak Haryo berjalan mendekat dan memeluk Rania hangat. "Kamu ini, kenapa bukannya kembali ke sini, kamu malah pergi ke tempatnya Ketut dan sembunyi di sana."     

"Maaf, Pak. Situasinya memaksa saya untuk sembunyi."     

Pak Haryo kemudian melepaskan pelukannya. "Kenapa kamu tidak sembunyi di sini?"     

Rania menggeleng. "Itu terlalu beresiko, mereka akan dengan mudah menemukan saya jika saya bersembunyi di tempat Bapak. Bapak mungkin dalam bahaya juga kalau saya bersembunyi di sini."     

Pak Haryo menghela napas panjang. "Tapi, kamu setidaknya bisa menghubungi saya."     

Rania kembali menggelengkan kepalanya. "Saat itu orang-orang harus menganggap saya sudah meninggal dunia."     

"Aku masuk duluan," sela Bara yang sedari tadi berdiri di sebelah Rania.     

Rania segera mengangguk. "Langsung istirahat."     

Bara menggumam pelan dan berjalan pergi meninggalkan pelataran rumah Pak Haryo.     

"Kalau begitu, kita juga masuk. Lanjutkan ceritanya di dalam." Pak Haryo merangkul Rania dan membawanya masuk ke dalam rumah.     

Rania memperhatikan sekeliling rumah Pak Haryo yang sudah lama tidak ia singgahi. Rumah ini masih terlihat sama, meski ada beberapa bagian yang terlihat berbeda.     

"Sepi sekali di rumah ini, selama sepuluh tahun terakhir. Saya bahkan memilih untuk tidak pulang kemari," ujar Pak Haryo yang memperhatikan Rania sedang memandang sekeliling rumahnya.     

"Tapi, rumah ini masih terlihat sama," sahut Rania.     

Pak Haryo ikut memandangi rumahnya. "Sekarang rumah ini terasa hidup kembali. Apalagi kalau Bara dan Maya memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Rasa-rasanya saya akan senang dengan kehadiran seorang cicit."     

Rania tertawa pelan mendengar ucapan Pak Haryo. "Saya rasa, Bara belum berpikir ke arah sana. Mereka berdua sepertinya masih menikmati masa-masa berpacaran."     

"Kamu sudah bertemu Maya?"     

Rania menganggukkan kepalanya. "Beberapa hari ini, dia ikut menunggui Bara. Tetapi hari ini dia tidak ikut menjemput karena sedang ada pekerjaan."     

"Bagaimana menurut kamu? Apa Maya cocok untuk Bara? Kamu, kan, ibunya. Kamu pasti punya intuisi yang mengatakan apakah Maya cocok untuk menjadi pendamping Bara atau tidak."     

"Ya, saya lihat Bara sangat bahagia bersama Maya. Maya juga kelihatan sangat peduli sama Bara. Saya kira mereka cocok."     

"Saya jadi punya ide untuk mengundang keluarganya Maya untuk datang kemari. Anggap saja sebagai upaya untuk keluarga kita semakin dekat. Bagaimana menurut kamu?"     

"Terserah Bapak saja," jawab Rania.     

"Kalau begitu, saya harus minta Agus untuk segera menghubungi Ratna."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.