Bara

Guilty Feeling 2



Guilty Feeling 2

0Pak Bima kembali berhadapan dengan Pak Haryo di ruang kerjanya.     

"Apa lagi yang kamu ketahui, Bima?"     

"Sebentar lagi Hanggono pasti akan meminta Damar untuk melepas saham yang kemarin ia berikan. Saham-saham itu digunakan Hanggono dan komplotannya untuk menyamarkan pencucian uang yang sudah mereka lakukan. Pelepasan saham dalam jumlah banyak pasti akan sedikit berpengaruh pada kinerja kita di lantai bursa. Harga saham kita pasti akan turun. Dan, pada saat seperti ini, Bapak akan melakukan pembelian untuk memperbanyak kepemilikan sahamnya," terang Bima.     

"Jadi, selama ini, itu yang dilakukan Angga demi mendapat porsi saham yang cukup banyak?"     

Pak Bima mengangguk. "Tapi, Bapak hanya membeli sebagian kecilnya. Selebihnya beberapa perusahaan cangkang milik Hanggono yang akan membelinya. Uang mereka terus berputar disana. Dan untuk berjaga-jaga, sesekali anak buah Hanggono akan menukarkan uang milik mereka dalam bentuk chip."     

Pak Haryo tertawa pelan mendengar penjelasan Pak Bima. "Kejahatan mereka sangat rapi. Entah apa jadinya kalau semua itu terbongkar."     

Pak Angga menggeleng. "Yang pasti, sangat sulit untuk menyentuh Hanggono. Guritanya menyebar di tiap lembaga. Mungkin sebelum kita sempat menyentuhnya, para anteknya sudah menghilangkan jejaknya."     

"Dimana dia biasa membeli dan menukarkan chipnya?"     

"Hongkong atau Makau yang biasanya menjadi pilihan Hanggono."     

"Kalau Hanggono meminta Damar untuk menjual saham miliknya, itu tandanya kepemilikan Damar akan kembali seperti sedia kala?"     

"Mungkin mereka akan menyisakan separuhnya agar suara Damar masih bisa berpengaruh di dalam perusahaan."     

Pak Haryo tampak berpikir sejenak. Ia lalu menatap Pak Bima. "Informasi yang kamu berikan ini sangat berguna."     

"Saya tidak tahu apakah mereka akan menggunakan cara yang sama lagi atau tidak. Karena setahu saya, cara-cara seperti itu yang biasa digunakan Hanggono dan orang-orangnya."     

"Setidaknya untuk saat ini kita bisa mewasapai hal itu. Kalau cara dia selalu seperti itu, kenapa saya tidak mengedus hal itu sebelumnya."     

"Pada awalnya, orang-orang Hanggono membeli saham di perusahaan kita secara perorangan, meski sumber dana mereka adalah Hanggono. Tidak akan ada yang curiga jika seseorang tiba-tiba menjual saham miliknya ketika dia sudah melihat ada keuntungan. Sementara orang yang lain tetap mempertahankan sahamnya."     

"Saya merasa bagai simalakama kalau begini, jika mereka terbongkar, perusahaan kita juga pasti akan dicurigai."     

"Cara satu-satunya, Pakde memborong semua saham yang diperjualbelikan pada saat mereka menjualnya. Dengan begitu mereka tidak punya kesempatan untuk membelinya kembali dengan harga murah."     

"Kira-kira kapan mereka akan memulai penjualannya?"     

"Untuk itu, kita harus menanyakannya pada Damar. Karena mereka pasti melibatkan Damar," ujar Pak Bima.     

"Minta Damar untuk lebih berhati-hati dengan hal ini. Saya tidak mau lagi ada yang celaka hanya karena nafsunya Angga."     

Pak Bima menatap Pak Haryo ragu-ragu. "Sebenarnya ada yang membuat saya sangat penasaran."     

"Apa yang membuat kamu penasaran?"     

"Kenapa Bapak begitu berniat menghancurkan Pakde. Bukannya kalian berdua yang sudah membangun perusahaan ini bersama-sama?"     

Pak Haryo menghela napasnya. "Diam-diam bapakmu menyimpan sakit hati sama saya. Saya pikir dia sudah memaafkan saya. Nyatanya disaat kita sudah meraih segalanya, dia mulai berusaha untuk merebut apa yang sudah saya bangun dengan jerih payah saya."     

"Apa yang akan Pakde lakukan untuk Bapak?"     

Pak Haryo menggeleng. "Saya tidak akan melakukan apa-apa. Saat ini saja dia mulai kehilangan orang-orang yang selalu menemaninya. Kalau dia terus seperti itu, lama-lama dia yang akan berakhir sepi. Semua meninggalkannya. Saya rasa itu hukuman baginya."     

Pak Haryo kemudian menepuk bahu Pak Bima. "Kamu tahu Bima, saya tidak pernah membedakan antara kamu dan Mahesa. Bagi saya kalian berdua sama-sama hebat dengan kemampuan yang kalian miliki. Jadi, jangan pernah kamu merasa bahwa kamu ini selalu di bawah Mahesa."     

Pak Bima tertunduk mendengar perkataan Pak Haryo. Seandainya yang mengatakan adalah itu bapaknya sendiri. Mungkin dirinya tidak akan merasa semalu ini hadapan Pak Haryo. "Terima kasih, Pakde. Kata-kata Pakde sangat berarti bagi saya. Selama ini saya selalu dibayangi Mas Esa yang terlihat sangat sempurna di mata saya. Sampai saya tidak sadar dengan kemampuan saya sendiri."     

"Usia kamu sudah tidak muda lagi, saya pun sudah semakin menua. Mahesa sudah tiada, tinggal kamu satu-satunya keturunan Pradana yang bisa membimbing generasi keluarga Pradana berikutnya. Jangan sampai mereka bertiga terpecah seperti kamu dan Mahesa. Bagaimana pun juga saya membangun semua ini agar kita bisa menikmatinya bersama-sama."     

Bima mengangguk mahfum. "Saya akan berusaha membimbing mereka sebaik mungkin."     

Pak Haryo tersenyum seraya mengangguk-angguk kepalanya. "Satu lagi, jangan beritahu siapa pun bahwa saya sebenarnya tidak apa-apa."     

"Pakde bisa percaya sama saya," sahut Pak Bima.     

----     

Sepulang kerja, Damar dan Kimmy bersama-sama menjenguk Bara.     

"Kapan, sih, lu ngga bikin kita semua khawatir, Bar?" sindir Kimmy ketika melihat Bara yang sudah duduk di ranjangnya. Kimmy berjalan mendekat ke ranjang Bara.     

Bara melirik Damar yang berdiri di sebelah.     

"Ngga usah pura-pura, Kimmy udah tahu. Kalau selama ini kita cuma akting," aku Damar.     

Bara mengulum senyumnya. "Lu emang ngga bisa nyimpen rahasia dari Kimmy."     

"Gue selalu tahu rahasia apa yang dia simpen," sahut Kimmy.     

Damar dan Kimmy saling lirik. Bara memperhatikan keduanya. Seperti ada sesuatu yang berbeda dari tatapan mereka berdua. Setekah saling lirik beberapa saat, Damar kembali mengalihkan perhatiannya pada Bara.     

"Kapan lu boleh pulang?" tanya Damar.     

"Besok atau lusa. Ada apa?"     

"Ngga ada apa-apa."     

Bara menatap Damar curiga.     

"Oh, ya. Kalau kalian perlu bantuan, bilang aja," sela Kimmy.     

Bara menghela napas. "Pasti Damar udah bener-bener cerita soal semuanya."     

"Lu harus ikut komitmen sama kita berdua, kalau mulai saat ini ngga boleh ada yang disembunyiin lagi. Gara-gara kemarin kita bergerak sendiri-sendiri, semua hampir berantakan," ujar Damar.     

"Kalian bisa melibatkan gue. Gue bisa jadi perantara kalian berdua. Ngga bakal ada yang curiga sama gue," sahut Kimmy.     

Tiba-tiba pintu ruang rawat Bara terbuka. Rania dan Maya masuk ke dalam.     

"Kapan kamu sampai ke sini, Kim?" tanya Rania pada Kimmy.     

Kimmy dan Damar menengok bersamaan ke arah Rania.     

"Baru aja, kok, Tan," jawab Kimmy.     

Rania berjalan menghampiri keduanya.     

"Ternyata benar, yang waktu itu berjalan bersama Bima di mall itu kamu, Damar," seru Rania.     

Damar mengangkat satu alisnya. Ia sedikit bingung dengan maksud ucapan Rania. "Di Mall? Kapan kita ketemu di Mall, Tan?"     

Kimmy dan Rania sama-sama menyembunyikan tawanya. Damar semakin bingung.     

Rania kemudian menatap Damar. "Di Mall waktu kamu ngga sengaja ketemu Kimmy."     

"Yang lu sama Papa, terus nanya gue lagi ngapain dan gue jawab, gue lagi nemenin temen. Nah, ini temen yang gue maksud," jelas Kimmy.     

"Astaga, serius?" pekik Damar tidak percaya. Damar menepuk keningnya sendiri.     

Rania tertawa. "Kamu semakin tampan sekarang."     

Damar tertawa malu-malu. "Bisa aja, Tante."     

"Tapi, masih gantengan gue dong," sela Bara.     

Damar melirik sebal ke arah Bara. "Mentang-mentang sekarang punya pacar jadi ngerasa ganteng."     

"Iya, dong. Apalagi kalo pacarnya secantik ini." Bara menggoda Maya yang berdiri di sebelahnya dan mengalungkan lengannya di pinggul Maya.     

"Apa, sih." Maya merasa malu dengan apa yang Bara lakukan.     

Kimmy maju dan memisahkan keduanya. "Belom muhrim, jauh-jauh."     

"Apa, sih, Kimmy. Kebiasaan, deh," gerutu Maya.     

Rania memandangi keempatnya sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. Ia tersenyum bahagia melihat Bara, Damar, Kimmy dan Maya yang sedang saling menggoda.     

"Semoga selamanya kita seperti ini." Rania membuat harapan di dalam hatinya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.