Bara

The Ball 11



The Ball 11

0Rania menunggu di balik ruangan yang akan digunakan untuk konferensi pers yang akan ia adakan. Kimmy dan Raya ikut menemaninya. Rania menggamit kedua tangannya sambil terus mondar-mandir di dalam ruangan tersebut. Ia tidak menyangka malam yang ia pikir akan menjadi malam yang indah baginya karena ia akhirnya bertemu Bara, harus berakhir dengan sedikit kekacauan.     

"Kamu yakin Bara tidak apa-apa, Kim?" Rania bertanya khawatir setelah Kimmy memberitahunya bahwa Bara pingsan.     

Raya yang berdiri di sebelah Rania ikut penasaran dengan jawaban yang akan disampaikan Kimmy.     

Kimmy mengangguk pelan. Ia kemudian meraih tangan Rania. "Tante tenang saja. Ini bukan pertama kalinyai Bara seperti ini, setelah dia mendapat perawatan Dokter, kondisinya pasti akan segera membaik."     

"Bara sering seperti ini?" Raya tiba-tiba menyeletuk.     

Kimmy sedikit menghela napasnya lalu mengangguk. Rania tiba-tiba merasa lemas. Ia goyah. Beruntung Raya ada di sebelahnya dan segera memeganginya.     

Kimmy segera menggenggam erat tanga Rania. "Ini bukan waktunya Tante menjadi lemah. Cuma Tante yang sekarang bisa mengalihkan perhatian para Wartawan itu supaya Bara bisa segera di bawa ke rumah sakit tanpa menimbulkan keributan dan membuat Wartawan mengeluarkan asumsi liar tentang Bara."     

Seorang panitia acara tahunan masuk dan memberitahu bahwa Wartawan sudah siap di ruang konferensi.     

Kimmy mengangguk. "Iya, sebentar lagi Tante Rania akan keluar."     

"Oke." Panitia itu kembali keluar dari ruangan tersebut.     

Kimmy menatap Rania dan berusaha meyakinkannya. "Ini waktunya."     

Rania balas menatap Kimmy dan mengangguk pelan. Raya membantu Rania kembali berdiri tegak dan merapikan bagian belakang pakaian Rania.     

"Ibu pasti bisa," ujar Raya.     

Rania tersenyum simpul. Rania menarik napas panjang sembari memejamkan matanya. Begitu Rania kembali membuka matanya, ia segera berjalan menuju ruang konferensi.     

Pintu ruang konferensi terbuka, dan Rania segera dihadapkan dengan puluhan cahaya kamera yang menyilaukan matanya. Rania tetap memandang lurus ke depan dan berjalan menuju tempat duduk yang sudah disiapkan untuknya.     

----     

Mobil ambulance sudah bersiaga di luar pintu gerbang galeri tempat berlangsungnya acara tahunan MG Group. Mereka tidak bisa langsung masuk ke dalam area galeri karena instruksi yang mereka terima adalah mereka harus menunggu sampai seluruh Wartawan yang ada di luar masuk ke dalam galeri.     

Beberapa saat petugas ambulance menunggu hingga situasi di depan lobi galeri kosong. Seorang Petugas Keamanan menghampiri mereka dan segera meminta mereka untuk masuk ke dalam. Petugas Keamanan itu berlari di depan mobil ambulance untuk membimbing ambulance menuju pintu belakang.     

Petugas keamanan yang mengiringi mobil ambulance berhenti di sebelah Arga dengan napas yang sedikit terengah. Ia melambaikan tangan pada petugas yang ada di dalam mobil ambulance untuk berhenti di dekat mereka. Mobil ambulance berhenti lalu dua orang petugas keluar sambil mendorong ranjang.     

"Ikut saya, Pak." Arga meminta pada para Petugas ambulance untuk mengikutinya. Dengan setengah berlari mereka masuk melalui pintu belakang galeri.     

Petugas keamanan sudah bersiaga di tiap pintu yang mengarah ke belakang galeri agar tidak ada seorang pun yang masuk ke area belakang galeri.     

Arga dan Petugas ambulance tiba di ruangan tempat Bara berada. Maya dan Pak Agus menghela napas lega begitu melihat petugas yang mereka tunggu akhirnya tiba. Salah seorang petugas segera memeriksa kondisi Bara sebelum memindahkannya ke ranjang yang mereka bawa.     

Ekspresi wajah petugas sedikit berubah begitu memeriksa keadaan Bara. Satu orang petugas segera melepaskan kemeja yang Bara kenakan setelah mendapat instruksi dari rekannya. Sementara rekannya menyiapkan AED (Automated External Defibrilator) untuk dipasangkan ke tubuh Bara.     

Maya yang melihat apa yang dilakukan petugas medis tersebut menjadi semakin ketakutan sesuatu yang buruk sudah menimpa Bara. Tangan Maya mulai bergetar. Tanpa sadar Maya menggigiti kukunya.     

Petugas itu lalu menempelkan elektroda yang tersambung pada mesin AED ke tubuh Bara dan menunggu alat tersebut selesai menganalisis. Setelah selesai menganalisis, alat itu mengeluarkan instruksi untuk melakukan shock. Petugas segera menekan tombol 'shock' untuk memberikan kejutan listrik pada jantung Bara.     

Melihat itu Maya semakin tidak kuasa menahan dirinya. Maya hampir jatuh sebelum tubuhnya ditangkap oleh Pak Agus yang berdiri di sampingnya. Pak Agus menepuk-nepuk bahu Maya. Mata Maya mulai berkaca-kaca melihat apa yang terjadi pada Bara.     

Selesai memberikan kejutan listrik, Petugas kembali memeriksa napas dan denyut nadi Bara. Denyut nadi Bara masih belum teraba dan petugas kembali melakukan CPR. Setelah dua menit, AED kembali menganalisis detak jantung Bara. Alat tersebut kembali mengeluarkan instruksi untuk melakukan shock. Bara kembali mendapat kejutan listrik dan setelah selesai Petugas kembali memeriksanya. Setelah kejutan yang kedua, denyut nadi Bara mulai teraba meski masih terasa lemah.     

"Ayo." Salah seorang petugas memberi isyarat pada rekannya untuk segera menaikkan Bara ke ranjang yang sudah mereka bawa.     

Setelah Bara dinaikkan ke atas ranjang, kedua petugas itu segera membawanya keluar dari ruangan tersebut. Arga berjalan di depan kedua Petugas tersebut sementara Pak Agus dan Maya mengikuti di belakang Petugas.     

"Kamu menyusul saja sama Arga, biar saya yang ikut ambulance," ujar Pak Agus pada Maya ketika mereka tiba di dekat mobil ambulance. Maya menurut. Pak Agus akan lebih cepat berkoordinasi dengan pihak rumah sakit ketimbang dirinya.     

Petugas ambulance dengan sigap memasukkan Bara ke dalam mobil dan mulai memasangkan peralatan medis untuk memantau keadaan Bara. Pintu ambulance menutup, dari sela-sela pintu ambulance Maya masih melihat petugas ambulance yang sedang memasangkan alat bantu pernapasan pada Bara.     

Begitu ambulance itu beranjak pergi, Maya serta merta goyah. Arga dengan sigap menangkapnya.     

"Lu ngga apa-apa, May?" tanya Arya.     

Maya menggeleng. Matanya mulai berair. "Gimana gue bisa baik-baik aja setelah lihat Bara kaya tadi." Maya kemudian beralih menatap Arga. "Lu pasti tau, kan, kenapa Bara bisa sampai kaya gitu?"     

Arga sedikit terdiam. "Kita bicarain sambil nyusul ke rumah sakit aja, May." Arga kemudian meraih ponselnya dan menelpon Supir pribadi Bara untuk menjemputnya di belakang galeri.     

Maya masih memegang tuxedo milik Bara. Arga mengambil tuxedo itu dari tangan Maya dan menyampirkannya di bahu Maya.     

"Thanks, Ga," ujar Maya pelan.     

Setelah menelpon supir pribadi Bara, Arga kemudian menelpon Damar.     

"Bara sudah dibawa," terang Arga ketika Damar mengangkat telponnya.     

Arga bisa mendengar Damar bernapas lega setelah mendengar kabar darinya.     

"Maya ada di situ?" tanya Damar.     

"Iya, Maya lagi sama gue. Pak Agus yang nemenin Bara ke rumah sakit."     

"Ya udah, Kalian duluan aja kalau mau nyusul. Masih banyak yang harus gue beresin di sini."     

"Sorry, Dam."     

"Ngga usah sorry, kita juga ngga nyangka bakal ada kejadian seperti ini. Gue juga udah minta bantuin Pak Jali. Sekarang lu temenin Maya aja, dia pasti shock liat kondisi Bara."     

"Iya." Arga memperhatikan Maya yang berdiri di depannya dan sedang memeluk tubuhnya sendiri seraya meremas tuxedo milik Bara yang kini ia kenakan. "Ya udah, kalau gitu, gue sama Maya pergi dulu."     

Tepat setelah Arga menutup telponnya, mobil yang tadi mereka naiki tiba di hadapan mereka. Arga segera membukakan pintu mobil untuk Maya. Maya masuk ke dalam mobil, disusul Arga yang duduk di sebelah Supir pribadi Bara.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.