Bara

Vengeance 8



Vengeance 8

0Keesokan harinya, seorang wanita cantik dengan berpakaian seksi muncul di rumah Adrian. Kebetulan Hazel yang membukakan pintu untuk perempuan tersebut karena Adrian masih berada di kamar mandi.     

"Adriannya ada?" tanya wanita tersebut ketika Hazel muncul dari balik pintu.     

Hazel sedikit mengerutkan keningnya. Matanya seolah sedang memindai wanita yang kini sedang berdiri di depan rumah Adrian. Ia lalu mengangguk. "Ada, masuk aja." Hazel mundur dan memberi ruang pada wanita tersebut untuk masuk ke rumah Adrian.     

Wanita cantik itu langsung duduk di sofa begitu ia masuk ke dalam.     

"Tunggu sebentar." Hazel kemudian berjalan menuju kamar Adrian. Tanpa mengetuk pintu ia masuk ke kamar Adrian.     

Adrian masih mengenakan pakaiannya ketika Hazel masuk ke kamarnya. "Ada apa?"     

Hazel berjalan mendekat. "Lu nyewa hooker?"     

"Hooker?" Adrian tampak mengerutkan keningnya.     

Hazel mengangguk. "Ada cewek nungguin lu dibawah."     

"Kenapa lu bilang dia hooker?"     

"Pakaiannya bikin dia keliatan kaya hooker. Kalo ngga percaya lu liat aja sendiri." Hazel kemudian keluar dari kamar Adrian.     

Tidak beberapa lama kemudian Adrian turun dari kamarnya dan menemui wanita yang dikatakan Hazel.     

"Oh, ini yang bikin Hazel mikir dia ini pelacur," batin Adrian. Wanita yang sedang menunggunya datang dengan mengenakan pakaian berwarna merah menyala dengan belahan dada yang rendah. Pakaiannya yang ketat membuat buah dadanya seakan ingin mencelat keluar. Belum lagi panjang bajunya yang bisa membuat pria manapun menjadi panas dingin. Adrian tebak, jika wanita itu merunduk sedikit, siapapun pasti akan dengan mudah mengintip pakaian dalam yang dikenakan wanita tersebut.     

Wanita itu langsung berdiri sambil merapikan pakaiannya begitu ia melihat Adrian muncul. Adrian tersenyum simpul pada wanita tersebut.     

"Ale yang minta saya buat kesini," ujar wanita itu sebelum Adrian bertanya lebih lanjut.     

"Oooh," gumam Adrian. "Suruhannya Ale?"     

Wanita itu segera mengangguk.     

"Tunggu sebentar, saya ambil dulu barangnya." Adrian kembali berjalan menuju kamarnya. Sementara wanita suruhan Ale kembali duduk di ruang tamunya.     

Adrian kembali datang dengan membawa sebuah pouch kecil bermotif garis-garis hitam putih. Ia lalu menyerahkan pouch tersebut pada wanita suruhan Ale.     

"Ini, jangan sampai dibuka. Cuma Ale yang boleh buka isinya," ujar Adrian pada wanita tersebut.     

Wanita itu menganggukkan kepalanya. "Ngomong-ngomong--" wanita itu tiba-tiba mendekat ke arah Adrian. "Ale bilang, gue harus kasih full service."     

"Emmm," Adrian mencoba menjauhkan tubuhnya dari wanita tersebut.     

"Kenapa?" tanya wanita tersebut pada Adrian.     

Adrian segera bangkit berdiri. "Bilang sama Ale, ngga perlu kasih apa-apa buat gue."     

Wanita suruhan Ale nampak kecewa dengan sikap Adrian yang menolaknya.     

"Barangnya udah dikasih, kan?" tanya Hazel pada Adrian. Hazel tiba-tiba sudah bersandar di tembok ruang tamu.     

"Udah," jawab Adrian.     

Hazel kemudian menatap wanita yang coba mendekati Adrian. "Terus kenapa dia belum pergi juga?"     

Wanita suruhan Ale segera bangkit berdiri. Ia merapikan pakaian yang ia kenakan dengan sedikit canggung.     

"Kayanya Ale butuh barang itu secepatnya. Mending lu cepat berangkat nyusul Ale," ujar Adrian.     

Wanita itu tersenyum canggung. "Kalau begitu, gue pergi sekarang."     

Adrian menganggukkan kepalanya. "Udah lu masukin, kan?"     

Wanita itu mengangguk. Adrian dan Hazel kemudian mengantar wanita itu pergi keluar dari ruamah Adrian. Ketika mereka sampai di depan rumah Adrian. Hazel tiba-tiba mencium Adrian di hadapan wanita suruhan Ale.     

Wanita itu merunduk malu-malu melihat Adrian berciuman dengan seorang pria di depannya. Ia berdeham pelan.     

Adrian segera melepaskan ciuman Hazel.     

"Ada pesan untuk Ale?" tanya wanita itu pada Adrian.     

Adrian menghela napasnya. "Bilangin ke Ale, jangan coba-coba ngirim cewek buat godain gue." Ia melirik ke arah Hazel lalu tersenyum pada wanita tersebut.     

Wanita suruhan Ale hanya bisa menganggukkan kepalanya dan setelah itu ia pergi meninggalkan rumah Adrian.     

Setelah wanita itu pergi, Adrian menoleh pada Hazel. "Yang barusan lu cemburu?"     

Hazel menggeleng cepat. "Ngga. Itu biar dia cepet pergi dari sini."     

Adrian menaikkan salah satu alisnya. "Really?"     

"Kayanya gue masih punya stok tetrodotoxin, deh," ujar Hazel sambil menatap Adrian.     

Adrian seketika tersenyum manis pada Hazel. "Makasih, loh. Udah nolongin gue dari situasi awkward tadi."     

Hazel balas tersenyum. "You're welcome. Lu ngga niat berangkat ke kantor?"     

Adrian menggeleng. "Gue masih cuti."     

"Oh, great." Hazel kemudian melangkah masuk ke dalam rumah Adrian.     

Adrian segera menyusul langkah Hazel. "Apa yang great?" Ia kemudian merangkul bahu Hazel.     

"Nothing. Itu artinya gue ngga bakal bisa tenang seharian ini," sahut Hazel.     

"Tapi, lu suka, kan, kalo gue ada di rumah?" goda Adrian.     

Hazel menghela napasnya. "Mau ngga suka juga ini rumah lu. Gue, kan, ada disini gara-gara lu udah bayar mahal ke Madam."     

"Oh, iya. Kemaren lu manggil gue Daddy, kan?"     

Hazel memutar bola matanya. "Ya, itu karena sekarang gue kaya lagi jadi simpenan sugar daddy."     

"Kalau gitu, hari ini gue bakal beneran mainin peran sebagai sugar Daddy buat lu."     

Hazel mengernyitkan dahinya.     

Adrian menangapinya dengan tersenyum jahil sambil mengeluarkan kartu kredit miliknya. "Let's have some fun."     

----     

Ale menghubungi wanita suruhannya yang ia minta untuk menemui Adrian. "Gimana? Barangnya udah sama lu?"     

"Gila lu, ya. Lu ngga bilang kalo dia ngga suka sama cewek. Kalo tau dia ngga suka sama cewek, gue ngga bakal nurutin lu buat godain dia," sahut wanita itu dengan sedikit kesal.     

Ale tertawa mendengar ucapan wanit tersebut. "Gue cuma mau ngetes dia. Ternyata bener, dia ngga suka sama cewek."     

"Hampir aja pasangannya ngamuk gara-gara dia gue godain."     

"Adrian punya pasangan?"     

"Iya, mereka tinggal bareng kayanya."     

Ale terdiam sejenak. Ini pertama kalinya ia mengetahui Adrian punya pasangan yang sampai diajak untuk tinggal bersama.     

Ale berdecak pelan. "Lu sekarang udah berangkat, kan?"     

"Udah, gue udah di kapal."     

"Hati-hati, jangan sampai ada yang ngikutin lu." Ale memperingatkan teman wanitanya itu.     

"Don't worry, ngga bakal ada yang curiga. Diantara semua yang kenal sama lu, cuma gue yang ngga pernah lu kenalin ke bos lu. Jadi, bisa dibilang gue aman."     

Ale tertawa pelan. "Gue tunggu disini. Lu pasti ngga akan nyesel udah nyusul gue kesini."     

"Kalau sampai gue menyesal, gue bikin lu ngga bisa bangun lagi," sahut wanita tersebut sambil tertawa pelan.     

"Ooh, gue takut," goda Ale. "See you."     

"See you." Wanita itu kemudian mematikan sambungan telponnya.     

Ale senyam-senyum sendiri setelah sambungan telponnya dengan satu-satunya teman wanitanya itu terputus.     

Abang menghampiri Ale yang sedang senyam-senyum sendiri. "Cewek?"     

Ale menoleh lalu mengangguk sambil tetap tersenyum.     

"Pacar kamu?"     

Ale menggeleng. "Saya bingung jelasin hubungan saya sama dia. Kita cuma teman tapi kadang kita juga bisa lebih dari teman. Tinggal dia yang bisa saya percaya sekarang."     

"Dia sedang menuju kemari?"     

"Iya, dia yang antar pesanan saya."     

"Pesanan apa?"     

Ale menggeleng. "Lebih baik Abang ngga tahu."     

Abang memandang Ale yang sedang menyalakan rokoknya penuh curiga. Ekspresi wajah Ale tampak sedikit berbeda dengan sebelumnya. Sepertinya ada kelegaan yang tergambar di wajah Ale.     

"Ngomong-ngomong, Le," sela Abang.     

Ale menoleh pada Abang. "Ada apa lagi, Bang?"     

"Setelah urusan lu sama orang yang di dalam selesai, lu mau ngapain?"     

Ale mengangkat bahunya. "Entahlah, Bang."     

"Lu ngga mau bantuin gue aja?"     

"Kayanya kalau dalam waktu dekat ini, gue harus sembunyi dulu dari Hanggono. Jadi, gue belum bisa bantuin Abang."     

"Emang, lu mau sembunyi dimana?"     

Ale melirik pada Abang. "Kalo gue kasih tahu, namanya bukan sembunyi, dong, Bang."     

Abang tertawa pelan. "Iya juga, sih."     

Keduanya saling tertawa sambil menghisap rokok masing-masing. Abang sesekali melirik ke arah Ale. Ia sebenarnya berharap tidak akan pergi dan bisa membantunya. Karena ia yakin, kemampuan dan pengalaman yang Ale miliki bisa sangat membantunya dalam menjalankan pekerjaannya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.