Bara

The Death of 1



The Death of 1

0Ale dan Adrian saling diam di rumah kayu milik Abu Syik. Mereka dan yang lainnya bermalam di rumah Abu Syik setelah penangkapan tersebut.     

Pagi-pagi Bara dan Reno beserta Abang sudah meninggalkan rumah kayu itu untuk menuju ke lokasi ladang lain milik Hanggono dengan menggunakan motor untuk memastikan semua ladang itu sudah dimusnahkan oleh anak buah Abang.     

Ale duduk di serambi rumah Abu Syik. Ia memandangi rumah-rumah kosong yang sudah dimakan usia. Ale menunduk mengingat apa yang Abu Syik katakan padanya sebelum ia dibawa oleh Petugas BNN.     

"Kapan lu balik?" Adrian tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Ale.     

Ale mendongak menatap Adrian. "Gue bakal disini untuk sementara waktu." Ia kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada rumah-rumah kosong di depannya.     

"Lu mau ngapain lagi di sini?"     

Ale menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan. "Gue mau menjauh dari semuanya untuk sementara waktu. Kalau Bapak tahu ternyata yang ditangkap bukan gue, dia pasti langsung nyari gue. Gue harus sembunyi."     

"Sampai kapan lu sembunyi dari Bapak?"     

Ale mengangkat bahunya. "Sampai semuanya mereda."     

"Dia pasti bakal nemuin lu," sahut Adrian.     

"Kalian ngga perlu khawatir Hanggono bakal nemuin Ale," sela Arga yang tiba-tiba muncul di dekat mereka. "Serahin aja semuanya ke kita. Lebih tepatnya serahkan semuanya ke Bara." Arga nyengir pada Ale dan Adrian. "Oh, ya. Mungkin kalian ngga tahu, tapi, Bara sudah menyewa Pengacara untuk mendampingi Abu selama pemeriksaan."     

Ale dan Adrian menatap Arga tidak percaya.     

"Dia sampai menyewa Pengacara untuk Abu? Why?" tanya Ale.     

Arga mengangguk. "Ya menurut lu kenapa. Jelas untuk mengurangi masa tahanan Abu."     

Ale serta merta menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia kemudian bangkit berdiri. "Gue sama sekali ngga nyangka Bara bakal menyediakan pengacara untuk Abu. Sekarang gue bisa sedikit lebih tenang."     

Adrian menepuk-nepuk bahu Ale. Sementara itu Arga melirik Adrian dan Ale sembari mengerling jahil. Keduanya balas tersenyum pada Arga.     

----     

"Arrgh, kenapa semuanya jadi kacau seperti ini." Hanggono membentak anak buahnya yang baru saja datang dengan membawa kabar penangkapan Ale. "Kalau seperti ini terus, sumber dana saya akan semakin menipis."     

Hanggono mondar-mandir di dalam ruang kerjanya. Ia kemudian menoleh pada anak buahnya. "Lalu kabar Ale bagaimana?"     

"Kabar dari sumber saya di sana, dia dibawa petugas BNN. Selain itu, Pejabat yang menerima suap dari Ale, dia juga tertangkap. Mungkin Ale juga akan dimintai keterangan terkait suap yang ia berikan," jawab anak buahnya.     

Hanggono membelalakkan matanya dan menatap anak buahnya tidak percaya. "Apa?"     

"Pejabat itu tertangkap tangan setelah menerima uang dari Ale," terang anak buahnya.     

Hanggono berteriak kesal sembari menyapukan tangannya di atas meja kerjanya. Seluruh barang-barang yang ada di atas meja kerjanya jatuh berhamburan ke lantai.     

Masih dengan mata yang berkilat penuh amarah. Hanggono memberikan perintah pada anak buahnya. "Pastikan agar Ale tidak buka mulut. Lakukan apa pun untuk mencegahnya memberi keterangan pada Polisi."     

"Baik, Pak."     

Anak buah Hanggono segera pergi meninggalkan ruang kerja Hanggono. Ia menghubungi seseorang yang bisa membantunya untuk membungkam Ale.     

Tidak lama setelah anak buahnya keluar dari ruang kerjanya. Sebuah pesan bergambar masuk ke ponsel Hanggono. Ia segera membuka pesan tersebut.     

"Nice view." Bunyi pesan tersebut yang dibarengi dengan gambar pepohonan yang sedang terbakar. Mata Hanggono semakin berkilat penuh amarah melihat gambar tersebut. Beberapa pesan kembali masuk ke ponsel Hanggono. Pesan-pesan itu berisi gambar yang mirip dengan gambar pertama yang ia terima.     

"BRENGSEK!" Hanggono melemparkan ponselnya ke lantai.     

Napas Hanggono naik turun menahan amarah. "Jadi ini yang dia katakan akan bermain dengan serius?" Hanggono teringat dengan ucapan Bara padanya. Amarahnya perlahan berubah menjadi tawa. Tawanya semakin lama semakin kencang. Hanggono sampai merunduk untuk mengendalikan tawanya sendiri.     

Tawa itu pun lambat laun berubah menjadi sebuah teriakan histeris. Ia menghancurkan apa saja yang ada di dalam ruang kerjanya. Para Asisten Rumah Tangganya yang mendengarkan teriakan Hanggono dari luar ruang kerjanya hanya bisa mengelus dadanya.     

----     

"Gimana perasaan kamu setelah melakukan ini semua?" tanya Abang yang sedang memperhatikan Bara.     

Bara menoleh dan menyunggingkan senyumnya untuk Abang.     

"Dari raut wajah kamu, saya tebak, kamu sangat puas dengan apa yang kamu lakukan saat ini," ujar Abang.     

"Akhirnya saya bisa memutus salah satu sumber daya Hanggono," sahut Bara.     

Abang ikut tersenyum bersama Bara."Kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk lahan ini kedepannya?" Abang menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Matanya memandang jauh hamparan tanah yang kini diselimuti asap.     

"Kalau Abang mau memberdayakan lahan ini lagi, saya bisa bantu dengan memberikan bibit tanaman yang mungkin bisa tumbuh subur disini."     

Abang kembali menatap Bara. "Kita hidupkan kembali hutan disini. Mungkin perlu waktu lama dari bibit sampai menjadi pohon besar. Tapi rasanya akan menyenangkan melihat pohon-pohon baru tumbuh disini." Abang menepuk bahu Bara.     

Keduanya kemudian berangkulan sembari memandangi tanah tersebut. Mereka sudah membayangkan pohon-pohon baru tumbuh disana.     

"Kalau kamu butuh bantuan, hubungi saya. Kapan pun saya akan membantu kamu," ujar Abang pada Bara.     

"Terima kasih, Bang," sahut Bara sembari menganggukkan kepalanya.     

----     

Damar mampir ke apartemen yang kini menjadi ruang kerja untuk Ben sekaligus membawakan makan siang untuk Ben.     

"Makan, Ben." Damar menyodorkan bungkusan berisi makanan yang ia bawa kepada Ben.     

"Taro aja disitu." Ben menunjuk pada meja yang berada tak jauh dari kerjanya.     

Damar menuruti permintaan Ben dan segera meletakkan makanan yang ia bawa ke meja tersebut.     

"Ada kabar apa dari Bara?" tanya Damar ketika ia selesai meletakan makanan tersebut dan duduk di sebelah Ben.     

Ben menoleh pada Damar. "Semuanya udah hampir selesai disana. Hari ini dia tinggal liat ladang milik Hanggono yang lain. And burn it all."     

"Anak buah Hanggono yang disana gimana?"     

"Just like Adrian, he turn his side."     

"Semudah itu?"     

"Ya kalo kata Reno mereka sempet berantem dulu."     

"Bara yang menang?"     

Ben mengangkat bahunya. "Kita denger cerita lengkapnya nanti aja, pas mereka pulang."     

"Kalau anak buah Hanggono yang ada di ruang bawah tanah apa kabar?"     

"Lu liat aja sendiri." Ben mengarahkan monitornya pada Damar. "Mereka udah lemes."     

Damar tertawa pelan melihat anak buah Hanggono yang nampak lemah. Mereka hanya duduk bersandar di tembok. Makanan yang sudah Damar siapkan benar-benar tidak disentuh oleh mereka. "Tenang aja, manusia bisa bertahan tanpa makanan selama tujuh hari. Dan tanpa minuman selama tiga hari."     

"Kita mau tunggu tiga hari atau satu minggu?" tanya Ben.     

"Ya, semoga sebelum tiga hari mereka udah ada yang menyerah. Biasanya kalau ada satu yang menyerah, temannya yang lain pasti ngikutin."     

"Semoga aja."     

"Minjem itu, Ben." Damar menunjuk mikrofon yang ada di atas meja Ben.     

"Lu mau ngapain?"     

"Mau say hello."     

Ben tertawa pelan sembari menyerahkan mikrofonnya pada Damar.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.