Bara

Prelude 6



Prelude 6

0Selagi berada di dalam pesawat, Dirga membahas rute-rute yang akan mereka lalui selama perjalanan menuju desa yang akan mereka tuju. Ia menjelaskan beberapa rute alternatif yang mungkin bisa mereka lalui agar mereka tidak bertemu dengan rombongan Hanggono.     

Rute alternatif yang akan mereka lalui tidak akan bisa dilewati oleh kendaraan roda empat. Dirga menjelaskan orang-orangnya di sana sudah menyiapkan motor untuk melewati rute tersebut.     

"Gue, kok, jadi degdegan gini, ya," ujar Reno setelah mendengar penjelasan Dirga.     

"Ini pertama kalinya kamu masuk hutan?" tanya Dirga pada Reno.     

"Satu-satunya pengalaman saya ke hutan itu, waktu saya ikut hiking temen saya ke Gunung Gede," jawab Reno.     

"Kalau kamu?" Dirga menoleh Arga.     

Arga terdiam sejenak. "Waktu saya di kampung, saya sering main ke bukit yang ada di dekat kebun keluarga saya."     

Dirga menghela napas. "Ya, setidaknya kalian ngga bakal kaget nanti."     

"Bara ngga ditanya, Pak?" seru Reno.     

Dirga kemudian mengalihkan perhatiannya pada Bara yang sedang memperhatikan peta yang membentang di atas meja mereka. "Kalau dia mungkin pernah ikut Pak Haryo berburu waktu kecil."     

"Emang Pak Haryo bisa berburu juga? Setahu gue dia seringnya mancing," ujar Arga sembari menyenggol Bara.     

Bara menoleh pada Arga. "Itu pajangan di ruang kerja Eyang, emangnya lu pikir itu dari mana?"     

"Beli," sahut Arga cepat.     

"Itu dia sendiri yang nembak," timpal Bara.     

Arga dan Reno seketika melongo setelah mendengar ucapan Bara.     

"Serius lu?" tanya Arga tidak percaya.     

"Eyang itu hobinya banyak. Mancing itu cuma satu dari beberapa hobinya," jawab Bara.     

Arga hanya mengerjap-ngerjapkan matanya mendengar jawaban dari Bara. Ia tidak menyangka bahwa pajangan berbentuk kepala rusa itu merupakan hasil buruan Pak Haryo.     

----     

Hanggono menghubungi orang-orang bayarannya di kota Aceh. Ia memberitahukan bahwa semua kendali disana nanti akan dipegang oleh Ale, anak kepercayaannya. Tidak lupa ia juga menghubungi Pejabat yang juga menikmati hasil dari ladang miliknya untuk mengamankan lokasi di sekitar ladang.     

"Habisi saja jika ada serangga yang datang menganggu. Lalu kalian kubur jasadnya di ladang atau kalian umpankan ke hewan liar," pesan Hanggono sebelum ia mengakhiri pembicaraan dengan Pejabat tersebut.     

Pejabat itu hanya tertawa mendengar pesan dari Hanggono. "Tenang, tidak akan ada serangga yang mengganggu. Seperti panen-panen sebelumnya, semua pasti aman terkendali."     

"Jangan sombong dulu kamu. Jangan sampai kesombongan kamu itu nantinya menjadi boomerang buat kita semua. Ale sudah dalam perjalanan kesana. Dia akan mampir sebelum berangkat ke desanya."     

"Oke, saya tunggu kedatangan Ale disini."     

Hanggono kemudian mematikan sambungan telponnya. Ia menyalakan sebatang cerutu dan menikmatinya sembari duduk di ruang kerjanya. Ia menghembuskan asap cerutunya ke wajah seseorang yang duduk di hadapannya.     

"Kamu tidak mau bar milik kamu rata dengan tanah, kan?"     

Orang yang ada di depannya hanya diam dan menatap Hanggono. Ia membuang wajahnya. Bagaimana cara Hanggono mendapatkan informasi tentang ruang rahasia yang ia berikan kepada Bara dan rekan-rekannya.     

"Sebaiknya kalau kamu sayang nyawa dan sayang sama bar milikmu, kamu harus menuruti kemauan saya."     

Hanggono memberi isyarat pada anak buahnya untuk membawa orang yang ada di depannya keluar dari ruang kerjanya. Anak buah Hanggono segera menuruti perintah Hanggono. Mereka segera membawa pria yang sedang terikat keluar dari ruang kerja Hanggono.     

"Malam ini kita pesta di Millennium," seru Hanggono ketika pria tersebut keluar dari ruang kerjanya. Ia sudah membayangkan untuk menghancurkan tempat yang selama ini dijadikan Bara sebagai tempat untuk menghimpun informasi.     

----     

Setelah perjalanan udara selama hampir tiga jam, pesawat yang ditumpangi Bara mendarat di bandar udara milik angkatan udara. Mereka tidak mendarat di bandara komersial untuk menghindari bersinggungan dengan anak buah Hanggono.     

Begitu mereka mendarat, Bara segera menyalakan ponselnya. Beberapa pesan langsung sekaligus ke dalam ponsel Bara. Salah satunya adalah pesan dari Adrian. Ia langsung membaca pesan tersebut.     

"Ale," gumam Bara pelan.     

"Siapa, Bar?" tanya Arga yang berdiri di belakang Bara.     

Bara menoleh pada Arga. "Adrian ngasih tahu tentang Ale. Orang yang bertanggung jawab sama ladang-ladang milik Hanggono. Katanya dia itu orang yang susah buat dikalahin."     

Arga manggut-manggut mendengar jawaban Bara. "Terus gimana?"     

"Sulit bukan berarti ngga mungkin, kan," sahut Bara sambil memainkan alisnya.     

"Bara!" teriak Dirga. Dirga sudah lebih dulu berjalan di depannya, ia terlihat sedang menyapa beberapa orang yang nampaknya sudah menunggu kedatangannya.     

Bara segera berjalan menghampiri Dirga. Ia turut menyapa orang-orang yang sedang bersama Dirga dengan tersenyum ramah.     

"Mereka ini orang-orang yang saya ceritakan," terang Dirga sembari memperkenalkan orang-orang yang sedang bersamanya.     

Bara menyalami satu per satu orang tersebut. Setelah menyalami mereka, Bara memanggil Arga dan Reno untuk bergabung. Keduanya dikenalkan pada orang-orang yang akan membantu mereka selama mereka berada di Aceh.     

Orang-orang yang dikenalkan Dirga ternyata merupakan mantan pasukan dari sebuah gerakan yang sempat merebak di kota tersebut. Mereka dikenal lihai bersembunyi di pedalaman hutan Aceh. Untuk urusan pegang senjata pun, mereka sudah tidak diragukan lagi. Rata-rata mereka memiliki postur tubuh yang tinggi besar dan tegap.     

"Kalau urusan masuk ke dalam hutan, kamu ngga perlu meragukan mereka lagi," ujar Dirga sambil menyenggol salah satu di antara orang tersebut.     

"Kamu sendiri sering keluar masuk hutan," sahutnya.     

"Dia cuma merendah," timpal Dirga.     

"Gimana kalau kita ngopi dulu, biar makin akrab," ajak orang yang dikenalkan Dirga.     

"Gimana?" Bara melirik pada Arga dan Reno. Keduanya mengangguk. "Boleh."     

"Nah, bagus kalau begitu. Kita ke kedai milik saudara saya. Kendaraan kita juga ada disana. Jadi, nanti kita berangkat dari sana."     

Mereka semua mengangguk dan segera meninggalkan bandara tersebut. Dua buah mobil Range Rover sudah menunggu mereka di luar bandara. Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil itu perlahan meninggalkan halaman parkir bandara dan menuju kedai kopi dimana kendaraan mereka selanjutnya menunggu.     

----     

Adrian tidak percaya dirinya kini kembali ke tanah kelahirannya setelah puluhan tahun berlalu. Ia memejamkan matanya sejenak sembari menghela napasnya begitu ia turun dari pesawat.     

Ale menyenggolnya. "Ngga usah dramatis begitu."     

Adrian melirik kesal pada Ale. "Ganggu aja, sih. Ini pertama kalinya gue balik kesini. Jangan disamain sama lu yang emang sering kesini."     

Ale tertawa menanggapi ucapan Adrian. "Kalo udah disini, kita kudu ngopi dulu. Gimana?"     

"Kopi?" Adrian melirik Ale. "Kayanya gue emang butuh booster kafein." Ia tersenyum menyambut ajakan Ale.     

"Good." Ale kemudian merangkul Adrian untuk segera pergi dari bandara.     

Sebuah mobil Pajero Sport berwarna hitam sudah menunggu keduanya di luar bendara. Orang yang mengendarai mobil tersebut tersenyum riang menyambut Ale yang masuk ke dalam mobilnya.     

"Selamat datang anak rantau yang akhirnya pulang kampung," sapa orang yang menjemput mereka pada Adrian.     

Adrian tersenyum kikuk mendengar ucapan orang tersebut.     

"Semoga perjalanan kamu kali ini menyenangkan, jadinya kamu bakal balik lagi dan nyewa saya lagi," ujarnya kembali pada Adrian sembari tersenyum lebar.     

Adrian menanggapinya dengan mengangguk seraya tersenyum pada orang tersebut.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.