Bara

Illusion 2



Illusion 2

0Mendengar bahwa Ben pernah menjadi seorang pengguna obat-obatan terlarang. Bara memikirkan ide untuk mencari para pengedar yang mendapat pasokan ganja dari ladang milik Hanggono.     

"Lu masih punya nomor pengedar yang jual obatnya ke lu?" tanya Bara tiba-tiba.     

Ben menatap Bara dengan sedikit bingung. "Ya, jelas ngga punya. Ngapain gue mau masih nyimpen nomor pengedar kalo gue udah tobat."     

"Ah, gue tahu maksud lu," seru Reno kepada Bara.     

Bara menganggukkan kepalanya pada Reno. "Ya, gue bakal melakukan apapun, selama itu bisa mejatuhkan Hanggono."     

"Oh, kayanya gue paham maksud kalian." Ben mulai bisa memahami apa yang sedang Bara pikirkan. "Tapi, mana dulu, nih, yang harus dicari? lokasi ladang atau bandar yang kerjasama sama Hanggono?"     

"Untuk sekarang, kita cari lokasi pasti ladang itu ada dimana. Setelah udah dapet lokasi pastinya, baru kita cari siapa aja yang dipasok Hanggono." Bara kemudian berpikir sejenak setelah menyelesaikan kata-katanya.     

"Gue rasa, sih, ada satu lagi yang harus dicari. Hanggono pasti punya kepanjangan tangan buat mengurus itu. Ngga mungkin dia ambil resiko dengan mengurusnya langsung," sambung Bara.     

Ketiganya manggut-manggut mendengarkan penjelasan yang disampaikan Bara.     

"Siapa ya, kira-kira kepanjangan tangan Hanggono?" tanya Arga sembari mengangguk-anggukkan kepalanya seolah ia sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting.     

Bara mengangkat bahunya. "Let's find out kalo begitu," seru Bara. "Kita hancurin salah satu sumber uangnya."     

----     

Damar mulai kembali tenang dan mulai bisa mengendalikan emosinya yang sedari tadi terus menerus berubah. Ia bahkan lelah terus merasa ketakutan. Ia memutuskan untuk bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke ruang keluarganya.     

"Udah lebih baik?" sapa Kimmy begitu melihat Damar keluar dari kamarnya.     

Damar mengangguk pelan dan segera duduk di samping Kimmy. Ia lalu menyandarkan kepalanya di bahu Kimmy.     

"Lu pasti ngeliat gue kacau banget sekarang," ujar Damar.     

"Lu seperti ini bukan karena kemauan lu. Hanggono yang udah sengaja nyuntikkin obat-obatan ke lu. Jangan diambil pusing, ini bukan salah lu." Kimmy meraih tangan Damar dan menggenggamnya.     

"You know, waktu baru sampai semalem, apa yang terlintas pertama kali di pikiran gue waktu liat lu?"     

"Apa?"     

"Rumah."     

"Rumah?" tanya Kimmy keheranan.     

Damar mengangguk pelan. "Gue tahu kemana gue harus pulang. Yang di sana bukan lagi rumah gue karena semuanyaa terasa sangat asing. Di sini lah rumah gue, semua yang gue butuhin ada di sini. Cinta, kasih sayang, semuanya."     

"Good choice," timpal Kimmy. "Rumah adalah tempat dimana lu akan selalu kembali."     

Damar mengangguk pelan. "Dan gue akan selalu kembali sama lu." Damar memejamkan matanya lalu mengecup pelan bahu Kimmy.     

Sebenarnya banyak yang ingin Damar lakukan lebih dari sekedar mencium bahu Kimmy. Namun, ia khawatir Pak Bima akan melihatnya. Damar kemudian kembali memejamkan matanya.     

Kimmy terus menggenggam tangan Damar. Tangannya mulai terasa menghangat berbeda dengan semalam ketika ia memengang tangan Damar yang dingin. Tangan satunya membelai lembut wajah Damar yang sedang bersandar padanya. Kimmy lantas mengecup pelan kening Damar.     

Kimmy membiarkan Damar memejamkan mata di bahunya. Sayup-sayup terdengar bunyi dengkur halus yang terdengar dari Damar. Ia tidak bisa berbuat banyak karena Damar tertidur sambil menyandarkan kepala di bahunya.     

Tiba-tiba saja Pak Bima muncul. Ia berjalan mendekat ke arah Kimmy dan Damar yang ada di ruang keluarga. Kimmy segera memberi isyarat pada Pak Bima untuk tidak berisik. Pak Bima berjalan mengendap-endap dan duduk di kursi kosong yang ada di sebelah sofa yang diduduki Kimmy dan Damar.     

"Gimana?" tanya Pak Bima sambil berbisik pada Kimmy.     

Kimmy menanggapinya dengan sebuah anggukan. "Kayanya udah baikan."     

Wajah Pak Bima terlihat lega. "Dia tidur?"     

Kimmy tersenyum pasrah menjawab pertanyaan Pak Bima. "Ngga apa-apa, kok. Ngga usah dibangunin."     

Damar tiba-tiba saja melenguh pelan. Membuat Pak Bima dan Kimmy mendadak diam dan memperhatikannya. Dengan mata yang masih tertutup, Damar memindahkan kepalanya dari bahu Kimmy ke paha Kimmy.     

"Seenggaknya kalo di paha, ngga terlalu pegal kaya tadi," bisik Kimmy sembari nyengir pada Pak Bima.     

Pak Bima lantas memperhatikan Damar yang kini tertidur di paha Kimmy. Wajah Damar terlihat jauh lebih tenang saat ini.     

----     

Bara menelpon Adrian untuk memberitahunya perihal apa yang dilihat Damar ketika Hanggono membawanya. Ia berharap Adrian memiliki informasi lagi terkait keberadaan ladang ganja milik Hanggono.     

"Gue ngga punya informasi lagi tentang itu," ujar Adrian. "Gue juga baru tahu kalau ternyata dia punya ladang disana."     

"Gue punya rencana buat kesana. Mungkin lu mau ikut." Bara mencoba menawari Adrian untuk ikut bersamanya menyelidiki tentang ladang milik Hanggono.     

"Ngga perlu, gue udah punya rencana buat kesana sama temen gue. Diantara anak-anak yang lain, dia yang paling sering datang kesana."     

Bara memicingkan matanya. "Kalau boleh tahu apa profesinya?"     

"Entahlah, dia yang paling santai kita semua. Hanggono selalu nyuruh dia buat ngelakuin hal yang beda."     

"Kapan kalian berangkat?"     

"Minggu depan."     

"Terus kabarin gue," pinta Bara pada Adrian.     

"Oke," sahut Adrian kemudian mematikan sambungan telponnya.     

----     

Adrian terdiam setelah mematikan sambungan telponnya dengan Bara.     

"Kenapa? Kok diem?" tanya Hazel yang keheranan karena Adrian tiba-tiba terdiam. Padahal sedari tadi ia terus bermain-main dengan rambut panjang milih Hazel.     

Adrian melirik pada Hazel. "Aneh ngga, sih, kalo lu punya temen yang ngga pernah keliatan ngapa-ngapain, kerjaannya cuma keluar masuk hutan, tapi gaya hidupnya sama kaya gaya hidup lu. Malahan dia keliatan lebih makmur daripada lu."     

"Ha?" Hazel mengernyitkan dahinya. "Lu random banget."     

"Serius, gue lagi mikirin temen gue yang kaya gitu," sahut Adrian.     

"Ya, mungkin aja temen lu itu punya investasi dimana-mana. Jadi tiap bulan dia tinggal kipas-kipas."     

"Lu tahu, barusan Bara ngasih tahu apa ke gue?"     

"Ya mana gue tahu kalo lu ngga ngasih tahu," jawab Hazel.     

"Bara bilang, Hanggono punya ladang ganja."     

Hazel hanya bisa melongo mendengar ucapan Adrian. "Pastinya duit dia ngga berseri karena dia pasti bandar besar," seloroh Hazel.     

"Nah, temen gue selalu disuruh pergi ke tempat kita dulu sama Hanggono." Adrian berhenti sejenak. "Gue jadi mikir, jangan-jangan temen gue itu kesana buat ngurusin ladangnya Hanggono."     

"Emangnya tiap berapa bulan sekali dia kesana?" tanya Hazel.     

"Kayanya sekitar tiga sampai empat bulan sekali."     

Hazel berpikir sejenak. "Kayanya sih cocok."     

"Cocok sama apa?" Adrian balik bertanya pada Hazel.     

"Cocok sama masa panen ganja."     

"Kok, lu bisa tahu?"     

Hazel menyipitkan matanya pada Adrian. "Please deh, coba aja lu cari di Google." Hazel menunjukkan hasil pencarian pada ponselnya.     

Adrian mendekatkan wajahnya pada ponsel Hazel. "Wah, diem-diem lu browsing ternyata."     

"Sekali lagi gue ingetin kalo otak gue masih berfungsi dan bukan sekedar pajangan."     

Adrian tertawa. "Coba gue kenal lu dari dulu. Gue agak nyesel telat kenal sama lu." Adrian kembali memuntir-muntir rambut panjang Hazel yang sedang tergerai.     

Hazel menoleh pada Adrian. "Apa enaknya sih mainin rambut orang."     

Adrian mengangkat bahunya. "I don't know. Enak aja gitu. Coba lu mau tidur bareng di kamar gue, pasti sebelum tidur gue bakal mainin rambut lu."     

Hazel tertawa. "Mau ngajak tidur bareng aja pake alesan mau mainin rambut."     

Adrian nyengir pada Hazel. "Namanya juga usaha."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.