Bara

Into The Woods 2



Into The Woods 2

0Kimmy menghubungi Bara untuk menanyakan keberadaan Damar. Sudah semalam Damar tidak pulang. Nomor ponselnya pun tidak dapat dihubungi. Mendengar berita tersebut, Bara segera menghubungi Ben untuk melacak keberadaanya.     

"Ada yang aneh," ucap Ben begitu dia melacak ponsel Damar. "Sinyalnya masih ada di rumah Hanggono. Tapi dari percakapan yang gue denger, kayanya terjadi sesuatu."     

"Ada apa?" tanya Bara.     

"Gue juga ngga tahu pasti ada apa. Tapi kedengerannya Hanggono berniat membawa Damar ke suatu tempat."     

"Jadi, sekarang Hanggono menculik Damar?" seru Bara.     

"Kayanya begitu. Gue bakal cek CCTV di sekitar rumah Hanggono, lu bisa cek orang-orang yang lu suruh buat mengintai rumah Hanggono."     

"Ah, shit Hanggono," teriak Bara kesal.     

----     

Hanggono memerintahkan dua orang pengawalnya memindahkan tubuh Damar yang tergeletak ke dalam rumah.     

Tatapan mata Pria tua itu terus mengikuti Damar yang kini sedang dipapah masuk ke dalam rumahnya. "Kenapa dia jadi anak kurang ajar seperti itu?" tanya pria tua itu sembari menatap Hanggono.     

Hanggono tersenyum simpul menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh pria tua tersebut. "Mungkin karena cara saya membawanya kesini salah, makanya dia jadi kesal seperti itu. Jangan diambil hati." Hanggono menepuk pelan lengan pria tua tersebut.     

"Saya kesini juga sekalian mau lihat-lihat kebun. Semuanya baik, kan?" lanjut Hanggono.     

"Semuanya baik-baik saja. Sebentar lagi, kamu bisa memanennya."     

"Kalau begitu, saya akan siapkan beberapa orang dari Jakarta untuk menemani kamu disini."     

Pria tua itu mengangguk cepat. "Ya sudah, masuk dahulu. Perjalanan kamu pasti melelahkan." Pria tua itu kemudian masuk ke dalam rumah kayunya dan Hanggono segera menyusul di belakangnya.     

----     

Damar kembali tersadar dan memijat-mijat kepalanya. Hanggono sudah duduk di kursi yang berada tidak jauh dari dipan tempatnya berbaring.     

"Sebaiknya kamu perbaiki sikap kamu sebelum si tua itu membunuh kamu dengan satu jarinya," ujar Hanggono.     

Damar seketika menoleh pada Hanggono dan langsung terduduk di dipan tersebut. Ia masih memandang Hanggono dengan kesal.     

"Ayo, kita cari udara segar," ajak Hanggono.     

Damar agak sangsi melihat sikap Hanggono yang tiba-tiba berubah baik. Ia berdecak pelan. "Tempat yang sangat sempurna untuk membunuh seseorang dan menutupi jejaknya."     

"Kalau saya mau membunuh seseorang, saya ngga bakal repot bawa dia jauh-jauh kemari," sahut Hanggono. "Kalau kamu penasaran kenapa saya membawa kamu jauh-jauh kemari, lebih baik kamu cepat bangun dan ikut saya."     

Hanggono kemudian bangkit dari tempat duduknya dan segera berjalan keluar. Damar masih tidak bisa percaya dengan semua kata-kata Hanggono. Namun pada akhirnya ia menurut. Ini bisa jadi peluang baginya untuk tahu lebih banyak tentang rencana Hanggono. Sambil memegangi perutnya yang masih terasa sedikit nyeri, Damar turun dari dipannya dan berjalan menyusul Hanggono.     

Hanggono dan Damar berjalan-jalan di sekitar desa yang sudah tidak berpenghuni itu. Hanggono belum memulai satu pembicaraan pun. Ia hanya berkeliling sembari melihat-lihat rumah yang sudah kosong melompong dan ditumbuhi lumut di sana sini.     

"Desa inilah awal mula ambisi saya untuk jadi seperti sekarang." Hanggono akhirnya mulai membuka pembicaraan. Ia menatap Damar. "Kamu benar-benar tidak ingat apa pun tentang desa ini?"     

Damar segera menggeleng.     

Hanggono berdecak pelan. "Entah kamu berbohong atau kamu memang benar-benar sudah melupakan tempat asal kamu."     

"Apa untungnya saya berbohong untuk sesuatu yang memang benar-benar saya tidak ingat bahkan tidak tahu," sahut Damar.     

"Saya pun lupa, tahun berapa saya datang ke tempat ini. Yang saya ingat, ketika saya datang kemari, desa ini sudah porak poranda dan banyak anak-anak yang terlantar. Anak-anak itu dikumpulkan dan dirawat oleh Pak tua yang kamu lihat tadi."     

"Memangnya kemana orang tua anak-anak itu?"     

Hanggono menoleh pada Damar. "Kamu mulai tertarik?"     

"Apa salahnya mencari tahu," jawab Damar.     

"Mereka rata-rata mati kelaparan. Bayangkan saja, di negara yang tanahnya sangat subur ini, mereka kelaparan. Mereka kesulitan untuk keluar dari desa tempat mereka tinggal. Untuk menuju kota terdekat mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya."     

Damar diam mendengarkan cerita Hanggono.     

"Ditambah kondisi tanah mereka yang agak sulit untuk ditanami tanaman konsumsi, membuat kondisi desa ini makin terpuruk dari hari ke hari. Saya dan pasukan saya kebetulan menemukan desa ini. Melihat keadaan desa yang sangat memprihatinkan ini, kami akhirnya membantu ala kadarnya dengan membawa bahan makanan dari markas."     

Keduanya terus berjalan-jalan di sekitar desa. Damar tidak banyak bicara. Ia lebih banyak mendengarkan apa yang Hanggono sampaikan. Bagiamana ia dan pasukannya keluar masuk hutan untuk mencapai desa terpencil ini dengan membawa bahan-bahan makanan. Tetapi, itu tetap tidak bisa membantu warga desa yang sudah terlanjur mengalami malnutrisi sejak lama.     

Hanggono berpikir ia tidak mungkin bisa memenuhi semua kebutuhan penduduk desa hanya dengan mengandalkan persediaan yang ada di markas. Ia harus mencari jalan lain. Tetua desa kemudian memberitahu Hanggono bahwa ada tanaman yang mampu tumbuh subur di tanah mereka.     

"Inilah tanaman yang dikatakan tetua desa," terang Hanggono begitu ia dan Damar tiba di tepian desa. Sebuah ladang yang luas membentang di hadapan mereka.     

Mata Damar seketika membulat begitu ia melihat tanaman tersebut dari dekat. "Ganja?"     

Hanggono tertawa pelan. "Ironi memang. Ganja tumbuh sangat subur disini."     

"Tebakan saya, akhirnya Bapak dan penduduk yang tersisa menanam ganja-ganja ini untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang lain. Begitu?"     

"Kurang lebih begitu. Tapi tetap tidak bisa membantu banyak. Karena dari pertama kita mulai menanamnya sampai ini semua dipanen butuh waktu hingga akhirnya siap dijual ke pengedar-pengedar. Penduduk desa yang sudah krisis akhirnya tetap tidak bisa bertahan. Keadaan diperparah dengan wabah penyakit. Semakin banyak orang meninggal. Beberapa akhirnya memutuskan untuk keluar dari desa. Hingga yang tersisa tinggal anak-anak tanpa orang tua yang bahkan tidak tahu bagaimana mereka akan melanjutkan hidup."     

"Lantas Bapak membawa semua anak-anak itu?" tanya Damar.     

"Saya tidak bisa membawa semuanya, sebagian saya titipkan ke panti asuhan. Uang saya tidak cukup untuk menghidupi mereka semua."     

"Lantas bagaimana Bapak menghidupi anak-anak yang Bapak bawa?"     

"Ya, dengan semua ini. Tetua tadi yang menjaga ladang ini. Pada saat panen saya kirim orang-orang dari Jakarta untuk memanennya."     

Damar terdiam tidak percaya. "Kenapa Bapak menceritakan ini semua?"     

"Kamu perlu tahu, ada alasan kuat bagi saya untuk jadi seperti sekarang ini. Saya ingin lebih banyak membantu desa yang bernasib serupa. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya menyaksikan sebuah desa perlahan hancur hanya karena mereka tidak mendapat makanan yang cukup. Melihat anak-anak dengan tubuh kering kerontang kekurangan nutrisi."     

"Alasan Bapak memang kuat. Tapi, saya rasa keinginan tersebut semakin lama semakin meninggalkan Bapak dan berganti dengan nafsu Bapak sendiri untuk berkuasa."     

"Kalau saya tidak berkuasa, apa yang saya lakukan hanya seperti lari di tempat. Tidak akan maju kemana-mana," sahut Hanggono.     

"Bapak sudah terlalu melenceng dari tujuan awal Bapak," timpal Damar.     

"Terserah kamu mau bilang apa. Yang, jelas sudah banyak anak-anak yang terbantu dengan apa yang saya lakukan. Jalan saya memang salah, tapi itu semua demi kebaikan orang-orang yang tidak seberuntung keluarga Pradana dan keluarga-keluarga kaya lainnya."     

Damar hanya menghela napasnya begitu Hanggono menyebut nama keluarga Pradana.     

"Oh, saya lupa. Ada anggota keluarga Pradana di sini," sindir Hanggono.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.