Bara

Lets Go Home



Lets Go Home

0Damar kembali mendapat panggilan dari Hanggono untuk berkunjung ke kediamannya. Entah apa yang akan dibicarakan Hanggono kali ini padanya. Ia merasa sedikit jengah berkunjung ke kediaman Hanggono setelah kunjungannya yang terakhir waktu itu. Sesuatu telah mengusiknya dan ia tidak tahu harus berbicara dengan siapa tentang hal tersebut.     

Bara terus memperhatikan Damar yang terlihat tidak tenang selama rapat bulanan. Jelas sekali ada yang sedang mengusiknya. Damar terlihat gusar. Bara pun sebenarnya sedikit gusar setelah mendengarkan ucapan Adrian tentang seseorang yang diyakini Hanggono adalah anak yang seharusnya ada di sisinya seperti Adrian.     

Sambil mendengarkan laporan yang sedang dijelaskan, Bara curi-curi kesempatan untuk mengirim pesan pada Damar. "Kayanya gue harus ngasih tahu sesuatu sama lu," tulis Bara pada pesan yang ia kirimkan pada Damar.     

Damar melirik pada Bara begitu menerima pesan darinya. Matanya seolah bertanya apa yang hendak Bara beri tahu padanya. Damar lalu mengetikkan pesan balasan untuk Bara. "Hanggono ngundang gue lagi buat dateng ke rumahnya sore ini. Jadi, kalo ada yang mau diomongin, mending kita omongin setelah rapat."     

Mata Bara sedikit membulat begitu membaca pesan balasan dari Damar. Bara lalu mengangguk pada Damar.     

----     

Beberapa waktu yang lalu, Dirga kembali mendapat tugas dari Hanggono untuk kembali menyelidiki Damar. Hanggono membawakan foto miliknya sebagai perbandingan untuk Dirga ketika ia menyelidiki masa kecil Damar. Hanggono ingin memastikan apakah Damar memang anak kecil yang pernah ia adopsi atau bukan.     

"Gimana bisa." Dirga menatap nanar pada foto masa kecil milik Damar yang ia lihat dari album foto milik Pak Haryo.     

Di foto itu Damar sedang bersama dengan Bara dan Kimmy. Foto itu sepertinya diambil pada saat ulang tahun Bara. Foto kedua anak kecil tersebut sangat mirip.     

Dirga menatap sekeliling ruang kerja Pak Haryo dan mencari foto lain yang ada Damar di dalamnya. Ia menemukan beberapa foto lain dari album-album milik Pak Haryo. Dirga menghela napas pasrah begitu membandingkan semua foto tersebut.     

"Ada apa?" tanya Pak Haryo yang masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia memperhatikan foto-foto lama miliknya yang terserak di atas meja kerjanya.     

"Saya ngga tahu harus ngomong apa. Foto anak kecil yang diberikan Hanggono sangat mirip dengan Damar saat kecil," jawab Dirga.     

Pak Haryo segera ikut membandingkan foto-foto tersebut.     

"Takdir aneh macam apa ini?" gumam Pak Haryo.     

"Kalau Hanggono memang benar mengadopsi semua anak yang ada di dalam foto tersebut, itu artinya Damar juga adalah anak adopsi Hanggono. Terlebih kalau dia memiliki dokumen adopsi terhadap anak-anak itu," terang Dirga.     

"Apa Hanggono memiliki dokumen sah terkait adopsinya terhadap anak-anak yang ada di foto itu?"     

"Saya belum tahu. Tapi, saya pasti akan cari tahu."     

"Segera kamu cari tahu. Saya takut nantinya Hanggono akan menggunakan hal ini untuk menyerang Bima dan menuduh Bima macam-macam. Meskipun hal ini sudah terjadi lama sekali, tapi tidak menutup kemungkinan Hanggono akan mengambil kesempatan."     

Dirga segera menganggukkan kepalanya.     

----     

"Apa yang mau lu omongin?" tanya Damar.     

Ia dan Bara kini sedang duduk berdua di kedai kopi yang ada di dalam gedung kantor mereka.     

"Gue punya satu lagi informan yang cukup dekat sama Hanggono," ujar Bara.     

"Terus."     

"Dia sempet ngasih warning ke gue."     

"Warning tentang apa?"     

Bara diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Damar. "Gue rasa ini ada kaitannya sama latar belakang lu."     

"Oh," gumam Damar. "Emangnya orang itu ngomong apa sama lu?"     

"Dia bilang, mungkin kalian berdua itu berasal dari kampung halaman yang sama. Hanggono yang udah bawa kalian ke sini."     

"Gue tebak, informan lu pasti salah satu anak-anak yang pernah gue kasih tahu itu."     

Bara menganggukkan kepalanya. "Adrian, dia yang ngasih tahu gue."     

Damar seketika melotot begitu mendengar nama Adrian. "Dia yang ngasih tahu lu?"     

"Iya."     

"Lu percaya gitu aja sama kata-katanya?"     

"Ya, gue masih berusaha cari tahu. Tapi, gue rasa lu harus tahu soal ini."     

"Karena Adrian bilang, Hanggono ngga akan melepaskan sesuatu yang ia anggap sebagai miliknya."     

Damar berdecak pelan mendengar perkataan Bara. "Emang dia pikir kita ini barang."     

Bara seketika menatap Damar. "Maksudnya kita?"     

"Ha?" Damar terdiam. Ia keceplosan. "Kita apa?"     

"Lu tahu sesuatu?"     

Damar tampak sedikit gelagapan. "Ngga bukan apa-apa."     

"Jujur aja, lu pasti tahu sesuatu, kan?"     

Damar hanya bisa terdiam menatap Bara yang kini seperti orang yang menunggu pengakuan Damar.     

"Tell me, Damar," desak Bara.     

Damar tidak bisa menghindar lagi. Ia lalu menghela napas pasrah. "Gue menemukan foto di rumah Hanggono. Surprisingly, di foto itu ada gue sama anak-anak lain yang katanya merupakan cikal bakal yayasan pendidikan milik Hanggoni."     

"Kapan lu liat foto itu?"     

"Waktu gue masangin penyadap di rumah Hanggono."     

"Kenapa lu ngga langsung kasih tahu gue. Kalau kita semua tahu dari awal, kita bisa mulai penyelidikannya lebih awal."     

"Itu bener-bener ganggu gue. Gimana kalo seandainya Hanggono itu punya dokumen adopsi gue dan anak-anak yang lain? Itu artinya secara hukum gue itu anaknya Hanggono," aku Damar.     

"Om Bima pasti punya dokumen tentang lu, kan?"     

"It's all fake," jawab Damar cepat. "Ya, sebenernya ngga sepenuhnya palsu juga. Cuma dia bayar orang dalam buat bikinin dokumen sah buat gue."     

"Tapi ngomong-ngomong, kok, lu bisa kepisah dari anak-anak yang lain?" tanya Bara penasaran.     

Damar mengangkat bahunya. "Gue ngga terlalu inget. Waktu itu, kan, umur gue masih kecil. Kalau pun gue inget itu cuma sedikit-sedikit. Yang paling gue inget cuma pas gue ketemu sama Papa. Beda sama lu yang bener-bener lupa sama latar belakang lu setelah kecelakaan itu."     

"Ya udah kalo gitu. Yang penting gue udah ngasih tahu lu. Lu juga harus kasih tahu gue tentang hal itu. Gue akan cari cara untuk membuktikan sebaliknya."     

"Gue berasa lagi dipermainkan sama takdir," gumam Damar sembari tertawa.     

----     

Malam harinya, Damar tiba di kediaman Hanggono. Seperti biasa, Hanggono sudah menyambutnya. Tapi, sepertinya kali ada yang sedikit berbeda. Ada dua orang yang pengawal yang menemani Hanggono. Damar berusaha bersikap santai dan menyapa Hanggono seperti biasanya.     

"Ada apa Bapak memanggil saya ke sini?" tanya Damar mencoba untuk berbasa-basi.     

Hanggono tersenyum pada Damar. "Saya mau mengajak kamu untuk sedikit berjalan-jalan."     

Damar mengerutkan dahinya. "Jalan-jalan?"     

"Tapi sebelum itu, saya mau memastikan tidak ada yang mengikuti saya." Hanggono kemudian memberikan isyarat pada pengawalnya untuk mendekati Damar.     

Damar sontak mundur begitu kedua pengawal Hanggono datang menghampirinya. Kedua anak buah Hanggono dengan sigap menggeledah Damar. Mereka mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam saku celana dan saku jas yang Damar kenakan dan menyerahkannya pada Hanggono.     

Selesai menggeledah Damar, keduanya segera memegangi Damar.     

"Apa ini?" Damar memelotot pada Hanggono.     

Dengan tenang Hanggono berjalan menghampiri Damar. "Bukan apa-apa. Seperti yang saya bilang, saya cuma mau ajak kamu jalan-jalan." Hanggono kemudian mengangguk pelan pada kedua pengawalnya yang sedang memegangi Damar.     

Salah seorang diantara mereka mengeluarkan sebuah pen injeksi dari dalam saku celananya. Damar berusaha melawan ketika pengawal tersebut mecoba mendekatkan ujung pen injeksi ke lehernya. Tetapi karena ia dipegangi dengan sangat kuat oleh kedua orang pengawal tersebut, ujung pen injeksi itu akhirnya menyentuh leher Damar. Setelah ujung dari pen injeksi itu menyentuh leher Damar, pengawal tersebut mulai melonggarkan pegangannya pada kedua tangan Damar.     

Seketika Damar melorot bersimpuh di lantai. Hanggono kembali mendekati Damar dan mengangkat wajah Damar yang sedang tertunduk. "Kamu akan pulang ke rumah."     

Damar mengerjap-ngerjapkan matanya untuk melihat apa yang Hanggono katakan padanya karena telinganya sudah tidak bisa mendengar apa pun selain suara desing yang membuat telinganya pengang. Pandangannya pun semakin lama semakin mengabur, tepat setelah Hanggono menyelesaikan kata-katanya, mata Damar terpejam dan ia pun tersungkur di lantai tanpa tahu apa yang Hanggono ucapkan.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.