Bara

Hidden Truths 6



Hidden Truths 6

0"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" tanya Axel.     

"Kita pindah ke ruang kerja saya," ujar Papanya. Tanpa menunggu persetujuan Axel, papanya segera melangkah pergi meninggalkan ruang makan.     

Axel berdecak pelan melihat sikap papanya, namun pada akhirnya ia berjalan mengikutinya.     

Begitu Axel masuk ke ruang kerjanya, papanya segera mengunci pintu ruang kerja tersebut.     

"Apa maksud perkataan Papa tadi?" Axel kembali bertanya.     

Papanya memejamkan mata sambil menghela napasnya. Seolah ia akan melakukan sebuah pengakuan dosa pada Axel. Pengakuan yang akan membuat pandangan Axel akan papanya berubah untuk selamanya.     

"Papa gagal melindungi mamamu waktu itu."     

Axel mengernyitkan dahinya. "Maksudnya?"     

"Kamu tahu, apa yang kamu lihat waktu pertama kali kamu menginjakkan kaki di rumah ini, itu sebenarnya sandiwara yang Papa mainkan bersama Ibu Kasmira."     

Axel menatap papanya tidak percaya. "Apa? Papa kenal Ibu Kasmira?"     

"Menurut kamu, siapa yang membayarnya?"     

"Jadi, sebenarnya Papa udah tahu kalau aku ini anak Papa sebelum aku dibawa kesini?"     

Papanya mengangguk pelan. "Papa sendiri yang menyembunyikan kalian agar Bapak tidak bisa mengejar mamamu lagi. Papa juga baru tahu kalau ternyata kematian mamamu bukan karena penyakit."     

Axel diam terpaku. Ucapan papanya benar-benar sudah di luar dugaannya.     

Melihat reaksi Axel, papanya justru tersenyum menggodanya. "Kamu pasti ngga percaya, kan?"     

"Ya, jelas ngga percaya," sergah Axel. "Aku masih ingat jelas perlakuan Papa waktu pertama kali aku dibawa kesini. Kalau itu ternyata cuma akting--" Axel mendengus kesal. "Selamat, Papa baru aja menang Golden Globe kategori aktor terbaik." Napas Axel naik turun begitu menyesaikan kalimatnya.     

Papanya hanya tertawa pelan. "Kamu kesal karena saya bohongi atau kesal karena selama ini kamu sudah salah menilai saya?"     

"Dua-duanya," jawab Axel kesal. Ia kemudian melirik kesal pada papanya. "Kenapa Papa sampai menyembunyikan kami berdua?"     

"Eyangmu mengincar bukti yang dimiliki mamamu. Pada awalnya mamamu bekerjasama dengan eyangmu untuk mewujudkan keadilan untuk teman-temannya yang terlibat dalam pesta itu. Tapi, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh."     

"Apa yang aneh?"     

"Satu per satu teman-temannya memutuskan untuk menerima uang kompensasi. Sebagian yang menolak tiba-tiba menghilang. Mamamu mengira, pasti Bapak sudah bekerjasama dengan Pejabat-pejabat itu untuk melindungi anak mereka."     

"Dan?"     

Papanya menghela napas panjang. "Dan dugaannya benar. Suatu malam dia datang dengan penuh ketakutan mengatakan bahwa ada orang yang menerobos masuk ke dalam rumahnya dan mengancamnya. Saat itu dia sedang mengandung kamu."     

"What the hell?" gumam Axel.     

"Karena tidak mau kalian berdua ada dalam bahaya, akhirnya Papa memutuskan untuk menyembunyikan kalian."     

Axel geleng-geleng kepala mendengarkan semua penjelasan Papanya. "Is that real?"     

"Of course, kalau kamu ngga percaya, kamu tanyakan saja sama Ibu Kasmira. Tapi, pasti saat ini dia sudah kembali bersembunyi."     

"Darimana Papa tahu?"     

"Pasti dia cuma meminta nomor kamu, dan mengatakan dia yang akan menghubungi kamu, kan?"     

Axel mengernyitkan dahinya sambil mengangguk pelan.     

Papanya tersenyum. "Itu sudah kebiasaan Ibu Kasmira. Asal kamu tahu, dia bukan sembarang Penjaga yang Papa yang bayar untuk menjaga kalian. Dia itu mantan Intelijen."     

Tanpa sadar Axel melongo sambil membuka mulutnya. Tidak ada dalam bayangannya bahwa Ibu Kasmira seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sudah hampir memutih semuanya itu adalah seorang mantan Intelijen.     

"Apa dia memberikan sesuatu untuk kamu?" tanya papanya.     

Axel langsung melirik curiga pada papanya.     

"Dari ekspresi kamu, Papa menebak bahwa dia pasti memberikan sesuatu untuk kamu. Tenang saja, Papa ngga berniat mengambil apapun yang dia berikan untuk kamu. Tapi, kamu harus berhati-hati jangan sampai eyangmu tahu kalau kamu mempunyai itu."     

"Sampai sekarang Eyang masih mencari bukti tentang pesta itu?"     

"Dia akan terus mencarinya. Kamu pikir, kenapa Bapak sama sekali tidak tersentuh?"     

"Karena posisinya di Kemiliteran?" sahut Axel.     

"Itu cuma salah satunya. Yang lainnya, karena para Pejabat yang anaknya terlibat dalam pesta itu semuanya adalah penguasa pada masanya dan sampai saat ini masih memiliki pengaruh. Bapak berhasil mengendalikan mereka berkat jerih payah mamamu."     

"Wow, harusnya Mama yang sekarang ditakuti. Bukannya malah Eyang."     

"Ya begitulah permainan mereka. Akhirnya Mamamu malah ikut menjadi korban."     

"Apa yang akan terjadi kalau mereka tahu Eyang ngga punya bukti apa-apa?"     

"Yang pasti mereka akan menyerang balik eyangmu."     

"Papa ngga masalah, kan, kalau terjadi sesuatu sama Eyang?" tanya Axel tiba-tiba.     

"Pasti keluarga kita akan sedikit terguncang. Tapi, itu ngga akan lama. Semuanya pasti akan ditutupi oleh berita yang lain," jawab papanya santai.     

"Baiklah kalau begitu. Kebetulan saya juga ngga terlalu masalah kalau keluarga ini sedikit terguncang." Axel kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kerja papanya. Ia membuka kunci pintu ruangan tersebut dan menoleh pada papanya. "Thanks, Pa." Ia kemudian keluar dari ruang kerja papanya.     

----     

Axel kembali ke kamarnya. Ia akhirnya mendapat cerita lengkap tentang peristiwa yang diceritakan Ibu Kasmira. Ia memejamkan matanya sebelum memutuskan untuk membuka amplop pemberian Ibu Kasmira. Sepertinya ia butuh keberanian lebih untuk melihat isi amplop tersebut.     

Sambil tetap menutup matanya. Axel perlahan membuka amplop tersebut dan memasukkan tangannya ke dalam amplop tersebut. Tangannya meraba beberapa lembar foto yang ada di dalamnya dan mengeluarkannya. Ia membuka matanya perlahan dan melihat foto yang saat ini sedang ia pegang.     

Tangannya bergetar begitu melihat foto yang ada di tangannya. Ia lantas mengeluarkan seluruh foto dari dalam amplop tersebut dan melihatnya satu per satu. Semakin ia melihat foto-foto tersebut, perutnya terasa semakin bergejolak. Bagaimana mungkin manusia bisa memperlakukan manusia lainnya dengan tidak beradab seperti itu.     

Axel tiba-tiba meletakkan kembali foto yang saat ini sedang ia pegang dan berlari ke kamar mandinya. Seluruh makan malamnya ia muntahkan ke dalam toilet. Foto-foto pemberian Ibu Kasmira sukses membuat isi perutnya keluar. Pantas saja Ibu Kasmira memperingatkannya setelah ia menerima amplop tersebut. Ternyata isinya bisa sangat menjijikkan sampai-sampai ia tidak sanggup menahannya.     

----     

Kimmy memandangi Damar yang masih terbaring di ruang ICU. Belum ada tanda-tanda Damar akan segera sadar. Dengan izin khusus Kimmy bisa masuk ke dalam kamar yang ditempati Damar dengan mengenakan pakaian khusus. Ia menggenggam tangan Damar.     

"Kita sekarang bisa melanjutkan hubungan kita tanpa rasa takut lagi," ujar Kimmy pelan. "Papa juga ngga masalah sama hubungan kita."     

Sambil terus menggenggam tangan Damar, Kimmy menghela napasnya,ia sungguh merasa tidak berdaya melihat Damar yang masih memejamkan matanya. Ia meletakkan keningnya di punggung tangan Damar. "Please, bangun."     

Ruangan tempat Damar berbaring terasa sangat sunyi. Satu-satunya yang berbunyi hanyalah suara monitor yang memantau detak jantung Damar. Waktu seakan berjalan lambat di ruangan tersebut. Kimmy bahkan sudah tidak tahu sudah berapa lama ia menunggui Damar di dalan ruangan tersebut.     

Tiba-tiba Kimmy mendengar bunyi hembusan napas. Ia segera mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Damar. Matanya membulat tidak percaya.     

"Damar," gumam Kimmy pelan.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.