Bara

Gesture of Resistance 6



Gesture of Resistance 6

0Tanpa Pak Bima dan Damar sadari, Pak Angga ternyata mendengarkan apa yang keduanya bicarakan di dalam paviliun tersebut.     

"Memuakkan," rutuk Pak Angga. "Semuanya memuakkan." Ia pun akhirnya memutuskan untuk masuk kembali ke dalam paviliun tersebut.     

Ia semakin murka melihat Pak Bima yang justru memeluk Damar dan berjalan menghampirinya. Ia lantas mendorong tubuh Pak Bima untuk menjauh.     

"Bukan begitu cara kamu untuk memberi pelajaran pada pengkhianat seperti dia." Pak Angga membentak Pak Bima sambil menunjuk ke arah Damar. "Kenapa kamu masih bersikap lunak padanya padahal dia jelas-jelas sudah menikam kamu dari belakang. Dia sudah mempermalukan keluarga kita. Biar saya perlihatkan apa yang seharusnya kamu lakukan."     

Pak Angga menatap Damar penuh amarah. Ia mengedarkan pandangannya pada paviliun tersebut untuk mencari sesuatu yang bisa gunakan. Pandangannya kemudian tertuju pada sebuah stik golf usang miliknya yang ada di ruangan tersebut. Pak Angga meraihnya dan mulai mengayunkannya ke arah Damar.     

Pak Bima segera bangkit berdiri dan menghalangi Pak Angga. "Jangan, Pa."     

Melihat sikap Pak Bima, emosi Pak Angga semakin tersulut. Ia memanggil Pengawal yang berjaga di depan untuk memegangi Pak Bima. Dua orang Pengawal tersebut masuk dan segera memegangi Pak Bima.     

"Bawa dia keluar," ujar Pak Angga pada dua orang Pengawal tersebut. "Biar saya yang memberinya hukuman." Mata Pak Angga sudah berkilat penuh amarah menatap Damar.     

Sementara itu, kedua Pengawal Pak Angga segera membawa Pak Bima keluar. Pak Angga kemudian mengunci pintu paviliun tersebut dari dalam. Sementara Pak Bima terus menggedor pintu tersebut dan berusaha untuk kembali masuk ke dalam.     

"Tadi kamu bilang, kamu tidak akan melawan, kan?" Pak Angga berjalan menghampiri Damar sambil mengayunkan stik golfnya.     

Damar menatap pasrah Pak Angga. Ia sudah seperti orang yang kerasukan. Damar memejamkan matanya begitu Pak Angga kembali mengayunkan stik golfnya.     

"Buuugh." Stik golf Pak Angga mengenai punggung Damar.     

Damar mengaduh kesakitan sambil meraba punggungnya. Napas Pak Angga terdengar naik turun dan ia kembali mengayunkan stik golfnya ke arah Damar.     

----     

Bara yang merasa tidak tenang, akhirnya meminta Pak Haryo untuk mengalihkan tujuan mereka ke kediaman Pak Angga. Pak Haryo menyetujuinya dan kini mereka akhirnya tiba di kediaman Pak Angga.     

Asisten rumah tangga Pak Angga menyambut mereka.     

"Angga dimana?" tanya Pak Haryo pada Asisten rumah tangga tersebut.     

"Sepertinya Bapak sedang ada di paviliun belakang. Tadi saya lihat dia kesana sama Pak Bima."     

"Dimana paviliunnya?" sela Bara.     

"Mari saya tunjukkan." Asisten rumah tangga itu akhirnya menunjukkan jalan menuju paviliun yang ada di belakang rumah utama Pak Angga kepada Pak Haryo dan Bara.     

Bara dan Pak Haryo berjalan cepat mengikuti Asisten rumah tangga itu.     

Bara setengah berlari mendahului Asisten rumah tangga itu begitu ia melihat Pak Bima yan sedang dijaga oleh dua orang Pengawal di depan sebuah bangunan kecil yang ia anggap itu adalah paviliun yang dimaksud oleh Asisten rumah tangga Pak Angga.     

"Om, Damar mana?" tanya Bara begitu ia menghampiri Pak Bima.     

Pak Bima menatap Bara panik. "Kita harus segera menolong Damar."     

Bara kemudian memandangi dua orang Pengawal yang berdiri di depan pintu. "Minggir."     

Pengawal itu tetap diam di tempatnya.     

Bara melepaskan jas yang ia kenakan. Lalu menggulung lengan kemejanya. "Minggir, atau--"     

Satu orang Pengawal maju dan menyerang Bara. Bara akhirnya mau tidak mau melawannya. Ia langsung menangkap tangan orang yang menyerangnya dan memutar tangan orang itu ke belakang kepalanya. Orang itu menjadi kesulitan menyerang Bara karena Bara kini ada di belakang tubuhnya dan mengunci lengannya. Bara memutar tubuhnya, lalu mengangkat tubuh orang tersebut ke punggungnya kemudian membantingnya ke tanah.     

Melihat rekannya mengaduh kesakitan di tanah, Pengawal satunya maju menyerang Bara. Tangan Pengawal tersebut berhasil ditangkap oleh Bara. Bara langsung memelintir tangan Pengawal tersebut ke belakang punggungnya dan mendorong tubuhnya ke tembok. Ia lantas menyikut kepala Pengawal tersebut hingga membentur tembok.     

Melihat dua orang Pengawal tersebut sedang dihajar oleh Bara, Pak Bima segera berusaha untuk mendobrak pintu tersebut. Pak Haryo segera ikut membantu Pak Bima untuk mendobrak pintu tersebut.     

Mata keduanya membelalak begitu pintu tersebut akhirnya terbuka. Pak Angga hendak kembali mengayunkan stik golfnya ke arah Damar yang sudah meringkuk di sudut ruangan. Dengan cepat Pak Bima berlari dan meraih lengan Pak Angga. Sementara itu, Pak Haryo segera memeriksa keadaan Damar.     

"Damar, Damar," Pak Haryo memanggil nama Damar sambil menggoyang-goyangkan bahunya.     

Damar melenguh pelan.     

Pak Haryo menghela napas lega karena Damar masih meresponnya.     

"Lepaskan." Pak Angga mendorong tubuh Pak Bima yang berusaha menghalanginya.     

Bara menyusul masuk ke dalam. Di belakangnya Pak Agus juga ikut menyusul masuk ke dalam paviliun. Keduanya tidak ambil diam dan segera memegangi Pak Angga. Pak Agus merebut paksa stik golf yang dipegang Pak Angga dan melemparkannya.     

"Bima, cepat telpon ambulance," perintah Pak Haryo pada Pak Bima.     

Pak Bima dengan sigap menelpon ambulance sembari berjalan menghampiri Pak Haryo dan melihat keadaan Damar. Melihat Pak Bima yang bergetar menyaksikan keadaan Damar, Pak Haryo lantas merebut ponsel Pak Bima dan berbicara dengan petugas ambulance.     

Pak Bima tidak dapat menahan air matanya melihat Damar yang sudah terkapar di lantai. "Damar, kamu masih dengar suara Papa, kan?"     

Damar membuka sedikit matanya. Pak Bima sedikit bernapas lega melihat Damar yang kini sedang menatap lemah kearahnya. Ia kemudian menggenggam tangan Damar. "Stay with me. Sebentar lagi ambulance datang."     

Selesai menelpon ambulance, Pak Haryo berjalan menghampiri Pak Angga yang sedang dipegangi oleh Pak Agus dan Bara. Ia lantas menampar keras pipi Pak Angga. "Keterlaluan kamu."     

Pak Angga menyeringai mendapat tamparan dari Pak Haryo.     

"Kamu benar-benar sudah gila," gumam Pak Haryo. "Orang waras mana yang tega memukuli cucunya sampai seperti itu."     

"Saya tidak punya cucu seperti dia. Lagipula dia bukan anggota keluarga ini."     

Pak Haryo kembali menampar pipi Pak Angga. "Hentikan ucapan kamu itu."     

Pak Angga kembali menyeringai. "Kalian semua memuakkan. Anak dan Cucu sama-sama tidak tahu diuntung. Sama-sama tidak berguna. Lepaskan saya." Ia meronta agar Bara dan Pak Agus untuk melepaskan pegangannya.     

"Kamu benar-benar sudah membuat saya kehabisan kesabaran Angga," ujar Pak Haryo. "Mulai sekarang, kamu bukan lagi bagian dari keluarga saya."     

Mendengar ucapan Pak Haryo, Pak Angga justru tertawa kencang. "Saya juga tidak pernah merasa Mas adalah keluarga saya. Sejak Mas meninggalkan saya dan Ibu, saya sudah anggap Mas mati."     

Pak Haryo mengepalkan tangannya mendengar ucapan Pak Angga. Ia menoleh pada Pak Agus. "Pastikan segala sesuatu yang masih menggunakan nama Angga, dialihkan ke orang lain."     

Pak Agus mengangguk pelan. Tatapan mata Pak Haryo mengatakan ia tidak main-main dengan ucapannya.     

Pak Angga semakin tertawa kencang setelah mendengar apa yang diperintahkan Pak Haryo pada Pak Agus. Sementara itu, Pak Haryo mendekatkan wajahnya pada Pak Angga. "Kamu tidak akan memiliki apa-apa lagi. Semua yang kamu miliki, itu semua adalah milik saya. Dan saya akan mengambilnya kembali."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.